Hari Jadi Surakarta Hadiningrat 17 Sura atau 20 Februari
IMNEWS.ID – ADA dua buah realita peristiwa yang terus bergulir tiap tahun, setidaknya sudah terjadi dalam 22 tahun ini di Kota Surakarta. Realitas peristiwa pertama terjadi setiap datang tanggal 17 Sura dalam kalender Jawa, yang sudah bergulir sejak “negara” (monarki) Mataram Surakarta berdiri selama 200 tahun (1745-1945), bahkan selama menjadi bagian dari NKRI sejak 1945 hingga sekarang. Sedang realitas peristiwa kedua, terjadi setiap datang tanggal 17 Februari sejak awal tahun 2000 atau setidaknya sudah bergulir selama 22 tahun ini, yang oleh lingkungan Pemkot Surakarta dianggap sebagai Hari Jadi Kota Surakarta.
Dua buah peristiwa itu terus bergulir tiap tahun dan seakan bersaing di mata publik masyarakat Kota Surakarta khususnya, juga publik secara luas, entah hingga kapan suasana “bersaing” itu akan terjadi. Suasana yang terkesan bersaing itu, terjadi sejak ada Peraturan Daerah (Perda) tentang Hari Jadi Kota Surakarta yang dihasilkan DPRD Kota Surakarta di awal tahun 2000, beberapa saat setelah memasuki era reformasi. Sebelum ada Perda tentang itu, Pemkot hanya mengenal tanggal 16 Juni, sebagai hari jadi atau hari lahir satuan pemerintahan kota (Pemkot) Surakarta.
Realitas peristiwa pertama, berupa sebuah upacara adat yang berlangsung tiap tanggal 17 Sura, dan sudah berjalan di Kraton Mataram Surakarta sejak lama, seperti yang dilaksanakan Lembaga Dewan Adat (LDA) pada hari Senin (15/8) di Pendapa Pagelaran Sasana Sumewa. Berkumpulnya sekitar seribu masyarakat adat Kraton Mataram Surakarta itu, melakukan upacara adat untuk memperingati saat dideklarasikannya nama “negara” Mataram Surakarta, sekaligus nama Ibu Kota Surakarta Hadiningrat, pada tanggal 17 Februari Tahun Je 1670 (Kalender Jawa), yang di dalam dokumen manuskrip tercatat terjadi pada tanggal 20 Februari 1745 (kalender Masehi).
Tak Jelas Dasarnya
Tanggal 17 Sura yang diperingati warga masyarakat adat Kraton Mataram Surakarta yang terwadahi dalam LDA itu, selama ini memang hanya populer di lingkungan internal masyarakat adat setempat. Situasi dan kondisi sosial di luar masyarakat adat, jelas kurang mengenal makna atau apa sebenarnya yang ada di balik tanggal 17 Sura itu. Posisi yang nyaris tidak nyambung antara internal masyarakat adat dan publik secara luas di luar masyarakat adat, sepertinya terus-menerus tak terurus dari waktu ke waktu, seakan tak ada yang menjembatani untuk dipahami bersama sebagai fakta sejarah milik bersama.
Satu sisi atau satu masalah potret sosial hubungan antara internal masyarakat adat dan dunia eksternal di dekatnya, menjadi sebuah realitas tersendiri yang jelas tidak menguntungkan kedua pihak, bahkan banyak pihak, padahal peran keduanya sangat dibutuhkan dalam masa-masa sulit seperti sekarang ini. Sampai batas itu, upacara adat tiap 17 Sura yang dikenal dengan ritual “Jenang Suran” hanya dikenal oleh internal masyarakat itu sendiri, bahkan dari gelagatnya banyak di antara generasi mudanya nyaris tidak mengetahui latar belakang peristiwa 17 Sura yang jatuh Rabu Pahing Tahun Je 1670 atau 286 tahun silam (kalender Jawa), atau 20 Februari 1745 atau 277 tahun lalu (kalender Masehi).
“Yang jelas, sejak saat itu nama Sala sudah dinyatakan Sinuhun PB II diganti nama Surakarta Hadiningrat. Kata Sala hanya nama sebuah Desa, sedangkan Surakarta yang menggantikannya adalah nama Ibu Kota nagari (Negara) Mataram Surakarta. Desa Sala sudah ditiadakan, karena wilayah desa itu sudah dibeli Sinuhun PB II dengan harga 3.000 gulden. Sejak Rabu Pahing tanggal 17 Sura Tahun Je 1670 atau 20 Februari 1745 itu, menjadi saat nama Surakarta resmi sebagai nama Ibu Kota yang lengkapnya Surakarta Hadiningrat. Nama Sala sudah tidak ada. Apalagi Solo, ketika Belanda mengalihbahasakan kata Sala. Jadi, yang genap berusia 277 tahun itu Surakarta, bukan Sala. Tanggal hari jadinya, kalau ingin dijadikan agenda nasional atau internasional, ya 20 Februari. Bukan 17 Februari, karena tak jelas dasar penentuannya,” tandas KP Budayaningrat, seorang dwija Sanggar Pasinaon Pambiwara Kraton Mataram Surakarta menuturkan kepada iMNews.id, kemarin.
“Berani Berkarya”
“Wiwit dina iki, Desa Sala Ingsun alih nama Surakarta”, begitu sepenggal narasi dari Serat Pindhah Kedhaton yang dibacakan KP Puspitadiningrat saat berlangsung ritual “Jenang Suran” 17 Sura yang dilaksanakan LDA di Pendapa Pagelaran Sasana Sumewa, Senin (15/8). Narasi yang dibaca, adalah ringkasan riwayat pindahnya Kraton Mataram dari Kartasura ke Surakarta, atau berdirinya “nagari” Mataram Surakarta. Sedangkan data aslinya, berasal dari manuskrip Serat Pindhah Kedhaton dalam bentuk tembang macapat Dhandhanggula yang dialihbahasakan dari bahasa dan aksara Jawa, yang diambil dari kagungandalem Sasana Pustaka atau perpustakaan kraton.
Data yang berasal dari catatan Carikdalem atau abdidalem yang khusus bertugas mencatat apa saja saat mengikuti Sinuhun PB II bertugas, jelas tidak bisa diragukan lagi atau tak terbantahkan. Artinya, hari Rabu Pahing tanggal 17 Sura yang kebetulan berada di tahun Je 1670 (Jawa) atau 20 Februari tahun 1745 (M), jelas meyakinkan sebagai hari jadi Surakarta menurut kalender Jawa, juga sangat meyakinkan ketika diambil fakta kalender Masehinya. Yang hingga kini menjadi persoalan, adalah masyarakat adat selama ini merasa lebih nyaman dengan 17 Sura, tetapi agaknya terlupakan bahwa publik di eksternal masyarakat adat hanya bisa memahami kalender Masehi tetapi bukan 20 Februari, melainkan 17 Februari seperti bunyi Perda tentang hari jadi kota.
Ketua Lokantara Pusat (Jogja) Dr Purwadi yang selangkah lagi akan dinobatkan sebagai guru besar di sebuah universitas di Jogja, dalam penelitiannya yang dibukukan dengan judul Babad Surakarta dan Sejarah Surakarta Hadiningrat pernah menyebutkan, nama Surakarta yang dijadikan nama Ibu Kota sekaligus melengkapi nama keberlanjutan Mataram, berasal dari dua kata yaitu “Sura” dan “Karta”. Ketika menjadi pembicara dalam sarasehan yang digelar DPD Partai Golkar Surakarta, Februari 2022 lalu ditegaskan, bahwa “Sura” berarti “wani” (berani) dan “Karta” berarti tumindak/tumandang yang maknanya berbuat, bertindak atau berkarya.
Mempertajam Jurang Pemisah
“Ketika kata Surakarta itu disebut, memang tidak sesederhana menyebut kata Jogja. Karena, banyak yang tidak tahu maknanya, apalagi latar belakang sejarahnya secara benar. Dari kata Surakarta, saya lebih suka melihat makna berkarya itu. Karena, Surakarta sudah terbukti menyimpan karya-karya peninggalan sejarah yang luar biasa. Selain karya peradaban bekas Ibu Kota negara selama 200 tahun (1745-1945), ada karya sastra yang jumlahnya luar biasa hingga Surakarta layak disebut Kota Literasi Terlengkap di Dunia se-Asia Tenggara. Surakarta juga punya pujangga, tidak hanya satu, tetapi banyak. Masyarakat Surakarta seharusnya bangga dengan kekayaan ini,” tandas kandidat guru besar yang banyak meneliti tentang Surakarta, hingga menghasilkan ratusan buku itu, menjawab pertanyaan iMNews.id, tadi siang.
Fakta-fakta sejarah tentang Surakarta yang sudah diungkap Dr Purwadi melalui berbagai forum itu, secara tidak langsung bisa dipandang sebagai cara menjembatani bertemunya semangat pelestarian antara internal masyarakat adat Kraton Mataram Surakarta dengan masyarakat eksternal atau publik secara luas. Langkah-langkah seperti ini mudah-mudahan bisa dilakukan banyak pihak, terlebih dalam situasi sekarang ini yang terasa menjadi masa-masa sulit bangsa dan negara menghadapi dinamika sosial kemasyarakatannya dan politik yang makin mengkhawatirkan bagi keutuhan bangsa dan negara.
Dinamika sosial, budaya dan politik selepas 17 Agustus 1945 memang sudah terbukti tidak menguntungkan khususnya bagi Kraton Mataram Surakarta, atau umumnya bagi sisa dari 250-an kraton anggota MAKN dan FKIKN yang menyatakan mendukung berdirinya NKRI. Karena, tumbuh-kembangnya NKRI tidak paralel bahkan tampak “njomplang” bila melihat nasib dan kondisi Kraton Mataram Surakarta, apalagi ketika melihat kesan seakan “bersaing” antara kraton dengan Pemkot Surakarta dalam mengadopsi hari jadi kota, yang malah menimbulkan kesan mempertajam jurang pemisah antara kraton dan NKRI. (Won Poerwono-bersambung/i1)