Prinsip yang Perlu Dikedepankan, Makam Tokoh Leluhur Harus Memberi Manfaat Seluas-luasnya
IMNEWS.ID – MASYARAKAT Kabupaten Pati diberi banyak manfaat dengan banyaknya makam tokoh leluhur Dinasti Mataram yang tersebar hampir di semua wilayahnya. Ketika mereka masih hidup, bimbingan/keteladanan secara langsung bisa dirasakan, dan ketika mereka sudah tiada, ajaran/ilmu/pengetahuan/pengalaman dan petuahnya adalah warisan yang sangat berharga.
Warisan yang bisa menjadi tuntunan dan panduan hidup itu, ada yang diberikan secara lisan (tutur) maupun tertulis (naskah). Warisan yang berupa lisan dan tertulis, banyak yang terus menjadi pengetahuan dan ajaran, tetapi banyak juga berupa rumusan teknis yang bisa diwujudkan dalam bentuk fisik baik bangunan, benda pusaka, simbol-simbol dan atribut.
Manfaat berikut yang bisa dirasakan setelah ratusan tahun para tokoh itu tiada, selain ajaran dan ilmu pengetahuan adalah wujud fisik bangunan makam atau pusaranya. Ajaran berdasarkan pengalaman yang diwariskan, bisa berupa tatacara yang bijak dan beretika untuk melakukan penghormatan seperti upacara adat haul, ziarah, nyadran, nyekar dan sebagainya.
Seiring perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi dan kecerdasan serta kreativitas manusia, kini juga lahir beberapa inovasi yang menggabungkan antara satu elemen dengan elemen lain yang serupa atau sejenis, yang tujuannya melengkapi format tatacara yang sudah ada. Inovasi itu sudah terjadi di tiap lokasi makam di Kabupaten Pati yang menggelar haul.
Kehadiran organisasi Pakasa cabang pada tatalaksana ritual itu sudah disinggung pada tulisan terdaulu (iMNews.id, 27/9), yang intinya bisa memperkuat tata-laksana, melengkapi uba-rampe dan berbagai daya dukung untuk pengembangannya. Sedang posisi Kraton Mataram Surakarta adalah payung induk, memberi elemen estetika dan etika untuk melengkapi dan memantabkan.
Karena menjadi elemen pendukung, bahkan bisa berada pada posisi pengorganisasi ritual haul, maka Pakasa cabang perlu terbuka menerima pengurus dan anggota dari semua kalangan multi profesi. Karena, kebutuhan kerjasama dalam mengemban tugas pelestarian budaya Jawa, contohnya ritual haul yang disertai kirab, butuh pemikiran luas lintas bidang/profesi.
Walaupun Pakasa menjadi organisasi terbuka yang peduli dan konsisten dalam pelestarian budaya Jawa, tetapi perlu menjaga jangan sampai dijadikan kancah berpolitik, berkembangnya anasir negatif/perusak dan tidak dijadikan tempat mencari keutungan pribadi/kelompok, khususnya secara ekonomis. Pakasa harus menjadi organisasi pelopor pelestari budaya Jawa.
Selain elemen Pakasa, elemen pamong makam yang berupa yayasan trah, pengurus dan panitia tetap, juga bisa bersikap arif dan bijaksana, yang tetap memandang positif dan konstruktif terhadap segala pemikiran dan perubahan ke depan. Apalagi, makam sudah dimaknai sebagai warisan yang multi fungsi dan manfaatnya, termasuk bermanfaat di bidang ekonomi.
Salah satu fungsi makam yang diwariskan para leluhur, adalah harus dikelola sebaik-baiknya dan dimanfaatkan seluas-luasnya untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, bukan hanya untuk keluarga trah dan kelompoknya. Fungsi peningkatan kesejahteraan inilah, sebenarnya termasuk untuk masyarakat di sekitar makam dan semua yang bekerja di situ.
Semua yang bekerja di situ tidak hanya para pamong makam, pengurus (yayasan) dan panitia tetap, tetapi juga pihak-pihak yang ikut bekerjasama mengelola makam dan berbagai kegiatannya dalam rangka meningkatkan posisi makam sebagai objek wisata spirirtual religi sekaligus destinasi wisata yang memperkaya aset-aset wilayah, dalam hal ini Kabupaten Pati.
Sampai pada tahap fungsi yang sejauh dan seideal itu, maka peran Pakasa cabang sangat penting dan perlu diposisikan secara proporsional. Tetapi sebaliknya, Pakasa cabang juga harus memenuhi berbagai kesiapan, baik siap kualitas SDM misalnya jiwa kepemimpinan, keteladanan di jalur budaya Jawa, kemampuan SDA (potensi objek makam), SDK dan sebagainya.
Kemampuan sumber daya keuangan (SDK), juga kurang tepat kalau yang dijadikan contoh ideal partisipasi beberapa pengusaha kapal/perahu nelayan penangkap ikan yang menyumbang kirab haul Ki Ageng Ngerang, Minggu (22/9). Sumbangan itu terdengar menggembirakan dan membanggakan, tetapi mungkin perlu dikaji dan dibahas lagi untuk memilih jenis sajiannya tepat.
Karena, berpartisipasi menyumbang kirab ritual haul Ki Ageng Ngerang sampai keluar uang Rp 15-an juta bahkan lebih, tetapi diwujudkan dengan truk penuh berisi 1 set perangkat sound system, itu bentuk sumbangan belum tentu tepat, bahkan bisa mengundang asumsi negatif terhadap terhadap acara itu dan semua pihak yang terkait dengan upacara adat itu.
Aapalagi, suara yang dihasilkan “sound-system berjalan” itu menggelegar dan menggetarkan kaca-kaca gedung bertingkat dan keca kendaraan roda 4 yang lewat, tidak hanya berasal dari satu truk yag mengandeng unit genset saja. Tetapi dari sejumlah truk yang diikuti masing-masing kelompoknya, yang berjoget-joget mengikuti irama musik dari sound-systemnya.
Ragam dukungan kirab semacam itu, agaknya lebih tepat diarahkan untuk kirab bersifat umum, riang dan senang, misalnya merayakan peringatan 17-an. Kalau untuk mendukung ritual religi macam haul, apalagi peringatan Maulud Nabi Muhammad SAW, sepertinya bisa merusak kekhidmatan yang sedang berdoa, menjadikan buruk citra estetika dan etika ritual adat budaya. (Won Poerwono-bersambung/i1)