Sekaten Garebeg Mulud 2024 Menjadi Momentum Penting Perubahan Status Kelembagaan (Seri  5 – bersambung)

  • Post author:
  • Post published:September 24, 2024
  • Post category:Budaya
  • Reading time:6 mins read
You are currently viewing Sekaten Garebeg Mulud 2024 Menjadi Momentum Penting Perubahan Status Kelembagaan (Seri  5 – bersambung)
PEGANG KOMANDO : Gusti Moeng (Pengageng Sasana Wilapa/Pangarsa LDA) sangat menguasai detil-detil persoalan prosesi upacara adat apa saja, termasuk puncah Gunungan Garebeg Mulud, Senin (16/9) lalu. Pelepasan prosesi tertunda sampai lebih sejam karena menunggu komando dari Gusti Moeng. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Gusti Moeng : “…Yang Saya Takuti dan Waspadai, Kami Dipancing untuk Melakukan Kesalahan..”.

IMNEWS.ID – HAMPIR semua peristiwa upacara adat yang digelar Kraton Mataram Surakarta sebagai agenda rutin dan baku, telah menjadi momentum penting untuk melihat setiap perkembangan dan perubahan yang terjadi. Khususnya sejak peristiwa “insiden Gusti Moeng Kondur Ngedhaton” pada 17 Desember 2022, lalu berlanjut adanya peristiwa “damai” 3 Januari 2023.

Agenda upacara adat baku yang rutin digelar tiap tahun itu, antara lain “Malem Selikuran” (bulan puasa), Garebeg Syawal (Idhul Fitri), Garebeg Besar (Idhul Adha), kirab pusaka (Tahun Baru Jawa 1 Sura), Garebeg Mulud (Sekaten), berdirinya Mataram Surakarta dan sebagainya yang digelar selama tahun 2023, bisa dibandingkan yang digelar selama tahun 2024 ini.

Dari tiap jenis upacara adat yang digelar, bisa dilihat kualitas penyelenggaraan dan pelaksanaannya selama setahun untuk sejumlah jenis upacara adat baku tersebut, khususnya dari sisi proporsionalitasnya. Kemudian, bisa dibandingkan antara satu jenis yang digelar di tahun 2023, dengan jenis yang sama yang digelar di tahun 2024 ini.

SARAN KOMANDO : Kepada para prajurit yang setia pada “Bebadan Kabinet 2004”, Gusti Moeng memberi “saran komando” untuk batal berangkat mengawal prosesi Gunungan sebagai kebijakan “setengah kopling”, Senin (16/9) untuk mengukur kesiapan “pihak seberang” menggelar puncak ritual itu ideal sesuai harapan. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Upaya melihat kualitas penyelenggaraan dan pelaksanaan tiap jenis upacara adat dalam dua tahun terakhir, yaitu 2023 dan 2024, bukan ingin mengevaluasi baik atau buruk kualitas penyelenggaraan dan pelaksanaannya. Tetapi, dengan melihat sajian upacara adatnya, bisa dilihat kualitas legitimasi kelembagaan selama proses “damai” berjalan dalam 2 tahun itu.

Artinya, korelasi antara kualitas legitimasi kelembagaan dalam penyelenggaraan dan pelaksanaan, jelas ada dan berkait erat dengan kualitas proses perdamaiaan selama 2 tahun itu. Yaitu sejak 3 Januari 2023 hingga terakhir Senin (16/9) 2024 lalu, khususnya pada ritual ungeling gangsa sepisanan, Senin (9/9) dan puncak hajad-dalem Garebeg Mulud, Senin (16/9).

Adanya korelasi itu jelas penting untuk diketahui publik, yang selama ini hanya mendapatkan informasi dari pihak-pihak yang “diasumsikan” mendapat “dukungan” kekuasaan karena diasumsikan “selalu menurut” kemauan kekuasaan. Opini yang terbentuk seperti ini sangat menyesatkan, karena publik meyakininya sebagai sebuah kebenaran dan kewajaran.

MENUNGGU KOMANDO : Barisan kirab yang sebagian besar abdi-dalem Pakasa yang mengusung beberapa jenis uba-rampe hajad-dalem Gunungan Garebeg Mulud, Senin (16/9), juga tampak menunggu aba-aba komando dari KRMH Suryo Kusumo Wibowo (Wakil Pengageng Sasana Prabu) yang sedang berkosultasi dengan KPH Edy Wirabhumi. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Opini dan konstruksi penalaran publik yang “liar” seperti inilah, yang dibangun pihak-pihak yang kini makin tersisih oleh putusan Mahkamah Agung (MA) No 87/Pdt.G/2019/PN.Skt (Ska-Red), 29 Agustus 2022. Juga karena makin tersudut karena “kedoknya terbongkar” oleh peristiwa eksekusi putusan MA dari Pengadilan Negeri (PN) Surakarta, 8 Agustus 2024.  

“Dari proses hukum dengan putusan terakhir, final dan mengikat seperti itulah, yang sebenarnya harus mereka pahami. Karena hukum yang berlaku adalah hukum tertinggi di negara kita, mereka seharusnya patuh, tunduk dan menjalankan putusan Mahkakah Agung itu. Tetapi, ya sudahlah, mereka itu adalah orang-orang bebal yang tidak mau tahu adanya tata aturan”.

“Negara kita punya aturan hukum positif yang berlaku secara nasional. Semua warga negara termasuk kita keluarga besar kraton, harus taat, patuh dan tunduk, menghormati serta menjalankan. Bahkan seharusnya kita ikut menjadi contoh warga yang taat, patuh, dan menghormati hukum,” ujar Gusti Moeng menjawab pertanyaan iMNews.id, belum lama ini.

“IKUT PARKIR” : Sepasang abdi-dalem yang berdandan “Canthang-Balung” dalam ritual puncak hajad-dalem Gunungan Garebeg Mulud, Senin (16/9), juga terpaksa “ikut parkir” menunggu aba-aba komando berangkat dari pemegang kendali yang tak lain dari Gusti Moeng. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Saat dimintai konfirmasi dan pandangannya tentang kasus insiden terakhir di Bangsal Pradangga Masjid Agung, Senin (9/9) dan kasus “setengah kopling” puncak Gunungan Garebeg Mulud (16/9), GKR Wandansari Koes Moertiyah (Pengageng Sasana Wilapa/Pangarsa LDA) tampak berat hati memberikan penilaiannya terhadap pihak-pihak yang dianggap tidak taat hukum itu.

Dengan kesal dia hanya bisa mengucapkan bahwa pihaknya hanya bisa menunggu, sampai kapan pihak-pihak yang sudah dinyatakan bersalah karena terbukti melakukan perbuatan melawan hukum itu, bisa sadar dan mau mengerti proses hukum itu sudah berjalan dan selesai, ada keputusan yang mengikat dan harus dihormati serta dijalankan dengan taat dan patuh.

“Tetapi yang selalu sangat saya khawatirkan, yaitu seperti peristiwa yang terjadi kemarin itu. Kita akan dijebak untuk mengikuti pancingan-pancingan (emosi), agar kita melakukan kesalahan, lalu kita yang disalahkan publik,” ujar Gusti Moeng. Pancingan emosi yang dimaksud, diduga datang dari figur oknum yang membawa SK dan mengaku “utusan-dalem”.

“ANGKAT BERAT” : Para atlet cabang angkat berat mungkin bisa mencoba mengusung gamelan Sekaten milik Kraton mataram Surakarta ini. Karena, soal “angkat berat gamelan” sudah jadi tugas biasa ketika mengusungnya ke Masjid Agung pada puncak hajad-dalem Gunungan Sekaten, Senin (16/9) yang sedang beristirahat menunggu aba-aba ini. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Dengan terjadinya insiden Senin (9/9) saat gamelan Sekaten ditabuh kali pertama (iMNews.id, 9/9), maka Pengageng Sasana Wilapa sebagai pimpinan “Bebadan Kabinet 2004” mengevaluasi kebijakannya saat itu. Kebijakan “setengah kopling” untuk meningkatkan kewaspadaan ditempuh saat puncak ritual hajad-dalem Gunungan, Senin (16/9), hingga prosesi terlambat sejam.  
“Bebadan Kabinet 2004” mengulur waktu tidak segera memberi “dhawuh” untuk melepas prosesi Gunungan ke Masjid Agung, karena ingin membuktikan kesiapan “pihak seberang”, dalam melakukan setiap lini kerja adat secara sporadis, serentak dan kompak seperti sebelum 2017. Tetapi ternyata benar, hasil yang diharapkan bisa diwujudkan pihak seberang, “nol” besar.

“Untuk mengusung berbagai uba-rampe prosesi Gunungan, ‘kan butuh tenaga yang begitu banyak. Padahal, 60-70 persen tenaganya adalah warga Pakasa yang pakai samir. Bukan abdi-dalem yang pakai ID card. Jadi jelas, sebagian besar yang mengusung itu abdi-dalem Pakasa. Di antaranya dari Ringin Putih. Peringatan ini perlu dipahami,” ujar Gusti Moeng lagi. (Won Poerwono-bersambung/i1)