Ritual Ngesis Wayang Menjadi Ajang Studi Para Mahasiswa Sebelum Sasana Pustaka Dibuka (seri 2-bersambung)

  • Post author:
  • Post published:May 23, 2023
  • Post category:Budaya
  • Reading time:7 mins read
You are currently viewing Ritual Ngesis Wayang Menjadi Ajang Studi Para Mahasiswa Sebelum Sasana Pustaka Dibuka (seri 2-bersambung)
PALING PAHAM : Gusti Moeng tergolong paling paham soal wayang kulit hingga mengenal nama-nama tokohnya yang terkenal, di antara para putri-dalem Sinuhun PB XII. Karena, jalan hidup, tugas dan tanggungjawab telah menuntunnya menyatu dengan simbol-simbol kejayaan kraton, budaya Jawa dan peradaban Mataram itu. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Peristiwa Adat Sangat Menarik untuk Wisata Studi dan Bentuk Edukasi Lain

IMNEWS.ID – SAAT berlangsung ritual “ngesis wayang” sekotak Kiai Pramukanya di “gedhong” Sasana Handrawina, Kamis (18/5), Gusti Moeng selaku Pengageng Sasana Wilapa sempat bertutur kepada iMNews.id tentang situasi dan kondisi di dalam ruang perpustakaan Sasana Pustaka yang dibukanya, beberapa hari sebelum Kamis itu. Secara umum disebutkan seisinya “aman” dari berbagai kemungkinan buruk, terutama gangguan air bocor dari berbagai arah ketika hujan tiba. Satu-satunya pekerjaan yang harus dilakukan paling awal, adalah membersihkan debu yang tampak tebal di semua sudut.

“Kalau dari jumlah koleksi, rasanya aman-aman saja. Tapi nanti bisa dicocokkan kembali dengan daftar katalog yang ada. Yang sangat saya khawatirkan sebenarnya kemungkinan rusak akibat rembesan air hujan dari mana saja, terutama dari talang bocor. Karena, kebanyakan kasus rusaknya barang-barang koleksi sejarah terutama yang berupa naskah, karena kena air. Hampir semua bangunan di kraton, paling rawan adalah talang rusak dan bocor ke dalam ruangan yang banyak menyimpan koleksi berbahan kertas,” ujar Gusti Moeng yang menyempatkan ngobrol dengan iMNews.id, Kamis siang itu.

MASIH ADA EMPU : Kepedulian dan kecintaan Gusti Moeng terhadap simbol-simbol kejayaan kraton, budaya Jawa dan peradaban Mataram, karena masih ada empu dalang seperti Ki KRT Dr Bambang Suwarno, yang setiap saat bisa bersinergi dalam upaya pelestariannya, misalnya lewat ritual “ngesis wayang”. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Mengisi jeda waktu dengan duduk di sisi pintu gedhong Sasana Handrawina, setelah berdiri sekitar sejam sambil menguas debu dan menyeka jamur yang menempel anak wayang dengan tisu, siang itu, Gusti Moeng sempat bertutur bahwa dirinya telah membuka pintu ruang Sasana Pustaka. Perpustakaan di dalam Kraton Mataram Surakarta itu kini tinggal satu-satunya tempat yang dianggap paling lengkap menyimpan data dokumen manuskrip tentang perjalanan sejarah terutama Mataram Surakarta, karena perubahan situasi dan kondisi di tanah air selepas 1945, ada koleksinya yang tersebar di tempat lain.

Peristiwa dibukanya kembali Sasana Pustaka akan menjadi tema bahasan pada kesempatan tersendiri yang menarik untuk digali informasi dan diikuti perkembangannya, tetapi ilustrasi itu secara tidak langsung telah menunjukkan bahwa Kraton Mataram Surakarta memiliki banyak potensi menarik untuk disimak yang bisa dimanfaatkan untuk berbagai keperluan. Dan di antara berbagai keperluan itu, kepentingan wisata studi atau edukasi menjadi urutan paling penting dan paling bermanfaat untuk perjalanan kehidupan warga peradaban secara luas.

WILAYAH IDE : Tokoh anak wayang dari kotak Kiai Pramukanya yang sedang dipegang seorang abdi-dalem dalam ritual “ngesis wayang”, Kamis (18/5) lalu, bagi warga peradaban Jawa tak hanya yang sekadar wujud fisik yang tampak. Tetapi di dalamnya terkandung wilayah ide tentang yang sedang dirasakan, dipikirkan dan hendak diungkapkan. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Tetapi, karena selama lima tahun lebih dari 2017 kraton ditutup secara sepihak oleh “gerombolan” orang yang sulit memahami sejumlah nilai manfaat di atas, secara langsung maupun tidak telah merugikan banyak pihak warga peradaban secara luas. Namun, “kesabaran” yang berjalan seiring dengan perjalanan waktu telah “menuntun” Gusti Moeng bisa masuk bekerja kembali di dalam kraton mulai 17 Desember 2022, sedikit demi sedikit mulai membuka kembali beberapa akses yang telah memberi manfaat kepada khalayak luas, yaitu ritual “ngesis wayang”, baik tiap Anggara Kasih maupun tiap Kamis.

Oleh sebab itu, hadirnya 10 mahasiswa Jurusan Bahasa, Sastra dan Budaya Jawa FIB UGM mengadakan studi lapangan untuk mata kuliah “Sastra Wayang” pada pelaksanaan ritual “Ngesis wayang”  itu (iMNews.id, 21/5/2023), di satu sisi menjadi penanda bahwa ritual itu ternyata memiliki kandungan edukasi tentang banyak pengetahuan yang bermanfaat bagi kalangan luas khususnya mahasiswa itu. Di sisi lain, ritual “ngesis wayang” menjadi satu di antara sejumlah peristiwa adat atau ritual yang sangat menarik untuk berbagai keperluan, khususnya wisata studi dan bentuk-bentuk edukasi lainnya.

KAPASITAS PEMIMPIN : Gusti Moeng sangat punya kapasitas sebagai ciri seorang pemimpin pelestarian seni budaya sebagai simbol eksistensi dan kejayaan kraton. Dia selalu terbuka berdiskusi dengan kalngan abdi-dalem, seperti Dr Joko Daryanto dan Kr Rudy Wiratama, kandidat doktor di sela-sela “ngesis wayang”. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

“Hal yang kami jelaskan kepada kalangan mahasiswa dalam studi lapangan itu, bahwa wayang bagi bangsa Indonesia tidak hanya merupakan sebuah pertunjukan kesenian. Tetapi juga menjadi sebuah aktivitas kebudayaan. Dalam jejaring pertunjukan wayang, bisa terlibat banyak aspek yang sifatnya tangible dan intangible. Aspek intangible wayang tidak hanya meliputi tradisi tutur atau lisan yang terkait dengan lakon, antawecana dan sebagainya. Tetapi juga sampai pada wilayah ide. Dunia ide dalam wayang sifatnya sangat kompleks,” tandas Ki Rudy Wiratama, kandidat doktor di FIB UGM.

Dalam perbincangan ringan dengan peneliti sejarah wayang yang juga dalang profesional itu, juga disebutkan, kompleksitas dunia ide dalam wayang, karena tidak hanya menjangkau apa yang tampak dari indera mata, namun juga apa yang dipikirkan, dirasakan dan ingin dijelaskan oleh alam pikir orang Jawa. Dari situlah, kemudian muncul bentuk wayang sebagai fenomena visual ideoplastis, yang maknanya bahwa apa yang tampak dari “bleger” (wujud fisik-Red) wayang bukan hanya mewakili stilasi bentuk, tetapi juga pemikiran dan pandangan orang Jawa tentang bentuk.

BUTUH PRESENTER : Kekayaan seni budaya luar biasa yang dimiliki Kraton Mataram Surakarta, baru akan terasa efektif bermanfaat ketika ada presenter seperti Ki Rudy Wiratama, misalnya saat memandu para mahasiswanya melakukan kuliah lapangan pada peristiwa “ngesis wayang” di Sasana Handrawina, Kamis (18/5) lalu. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Beberapa hal yang dijelaskan Ki Rudy Wiratama kandidat doktor itu, adalah sebagian materi yang diberikan kepada kalangan mahasiswa yang dibimbing dalam studi lapangan mata kuliah “Sastra Wayang”. Kalau dicermati lebih jauh, peristiwa ritual “ngesis wayang padintenan” sekotak anak wayang Kiai Pramukanya, sangat jelas menunjukkan ada nilai manfaat yang luar biasa. Dan Ki Rudy Wiratama punya kapasitas intelektual yang baik untuk menjelaskan, bahwa karya kriya tatah sungging dengan nilai latar belakang sejarah Mataram Kartasura itu, punya nilai pengetahuan tinggi sekali.

Dengan melihat nilai manfaat bagi kepentingan edukasi, kepentingan wisata studi dan keperluan bekal kehidupan warga peradaban secara luas, mulai kini seharusnya banyak pihak tidak mudah berlaku “sembrono” dan “ceroboh”, dengan menutup kraton begitu saja dari kehidupan dunia di luarnya. Karena dengan “kecerobohan” dan perilaku “sembrono” itu, secara tidak langsung menutup kesempatan upaya warga peradaban untuk mendapatkan “tuntunan” dan “pedoman”, yang sangat berguna bagi kehidupan generasi penerus dan pelestari peradaban di kemudian hari. (Won Poerwono-bersambung/i1)