KRMT Wuryaningrat yang Mengusulkan Pembekuan “Daerah Istimewa Surakarta”
IMNEWS.ID – AKUMULASI kekuatan kiri yang dipimpin Muso menjadi bagian dari oposisi terhadap pemerintah pimpinan pasangan Presiden Soekarno – Wapres Moh Hatta, telah memilih Kota Surakarta yang menjadi basis untuk menyusun kekuatan dan gerakannya, terlebih karena tokoh oposisi Tan Malaka juga bergabung di situ. Meski masing-masing punya misi pribadi dan organisasi secara terpisah, tetapi gerakan yang dipimpin keduanya sangat mengganggu jalannya pemerintahan yang dipimpin PM Sutan Syahrir, begitu pula merusak proses kerja konsolidasi seluruh elemen bangsa yang dilakukan Presiden Soekarno-Wapres Moh Hatta.
Berbagai sumber yang dihimpun iMNews.id menyebutkan, apabila tentara Belanda berusaha merebut kembali wilayah-wilayah jajahannya termasuk di Jogja, itu karena Belanda “meragukan” kebenaran peristiwa Proklamasi Kemerdekaan RI 17 Agustus 1945 yang dilakukan Soekarno-Hatta. Sedangkan kalangan oposisi dianggap “merusak” dan “mengganggu” pemerintahan yang sudah pindah di Jogja, itu karena ingin menyebarkan pengaruh ideologi kiri untuk membangun kekuatan merebut kekuasaan pemerintah. Fakta dan data itu ketika dianalisis, menunjukkan bahwa Surakarta tidak dipilih sebagai Ibu Kota “kedua” setelah Jakarta, karena Surakarta bukan termasuk wilayah “jajahan” Belanda.
Kolaborasi kekuatan kiri yang antara lain dipimpin Muso di satu sisi dan dipimpin Tan Malaka di sisi lain, telah menggunakan isu anti swapraja dan anti feodalisme yang berujung pada anti status Provinsi Daerah Istimewa Surakarta. Dan karena Kraton Mataram Surakarta mereka pandang sebagai “pencetus” gagasan Provinsi Daerah Istimewa Surakarta seperti disebut dalam “Piagam Kedudukan” Presiden Soekarno dan “Maklumat” Sinuhun PB XII, maka kratonlah yang dijadikan target operasi (TO) utama untuk dihancurkan, dan status Provinsi Daerah Istimewa Surakarta berusaha digagalkan.
Kraton Mataram Surakarta berusaha dihancurkan, karena eksistensinya seperti disebut dalam dua peristiwa penting di awal berdirinya NKRI itu, dianggap kaum kiri kolaborasi antara Muso dan Tan Malaka “yang bergerak terpisah” itu sebagai “kelanjutan” kraton yang akan tetap “melanggengkan” pemerintahan swapraja dan feodalisme. Dan karena hanya kekuatan pemerintahan administratif di Kepatihan yang mendukung Sinuhun PB XII, maka tidak aneh apabila Sinuhun PB XII, Patih KRMA Sosrodiningrat dan para pejabat patih penggantinya sampai berjumlah 9 orang diculik gerombolan kiri itu.
Buku “Suara Nurani Kraton Surakarta” yang ditulis Dr Sri Juari Santosa (FMIPA UGM) dan kajian sejarah yang dilakukan peneliti dari Lokantara Pusat (Jogja) Dr Purwadi, menyebutkan data dan fakta tentang penculikan dan Kraton Mataram Surakarta menjadi “TO” kalangan kiri atau PKI, sehingga mengalami kerugian yang paling besar saat Ibu Kota “pindah” ke Jogja. Kesaksian KP Wiradiningrat (Pengageng Parentah Kraton Surakarta-alm) yang ditulis salah seorang putranya yang bernama Dr Sri Juari Santosa dalam bukunya itu menyebut, bahwa begitu besarnya tekanan dan “teror” penculikan dari kekuatan kiri, membuat Wakil Patih KRMT Wuryaningrat “terpaksa” mengambil sikap.
Wakil Patih yang menjadi pengganti karena sejumlah Patih-dalem yang bertugas berturut-turut diculik “PKI”, terpaksa mengusulkan untuk “menitipkan” atau menyerahkan kekuasaan Daerah Surakarta kepada pemerintah pusat. Menurut versi Julianto Ibrahim SS MHum dalam bukunya “Propinsi Daerah Istimewa Surakarta”, pemerintah pusat yang repot dalam persoalan revolusi kemerdekaan di tahun 1945, sampai belum sempat membuat undang-undang yang mengatur keistimewaan Surakarta seperti yang diamanatkan Pasal 18 UUD 45. Tetapi baru di tahun 1946, pemerintah mengeluarkan PP No 16/SD/1946 tentang pemerintahan di Daerah Istimewa Surakarta dan Jogja.
“Belanda tetap berusaha merebut kembali, karena tidak percaya ada Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus itu. Alasan yang lebih penting lagi, karena tanah yang disewa 30 tahun dari ‘negari’ Mataram Surakarta, kontraknya belum habis. Di sisi lain, kalangan kiri juga terus merongrong pemerintah dan Kraton Surakarta. Dan karena Kepatihan yang dianggap pendukung Sinuhun PB XII, maka Kepatihan ‘dihabisi’, tokoh-tokohnya diculik. Sementara, di internal kraton sendiri ada perpecahan, sehingga posisi Sinuhun PB XII menjadi lemah. Bahkan diam saat Daerah Istimewa Surakarta ditentang”, sebut RM Restu Budi Setiawan.
Sinuhun PB XII seakan “diam saja” menghadapi aksi-aksi penolakan atau anti swapraja, feodalisme dan Daerah Istimewa Surakarta, selain posisi di internalnya lemah, juga karena pertimbangan kemanusian. Dia tidak melawan karena menghindari pertumpahan darah yang bisa terjadi jika menghadapi kalangan yang menentang/menolak dari kekuatan kiri. Maka, diambil jalan terbaik dengan ririko terburuk, yaitu status Daerah Istimewa Surakarta “dibekukan” dengan PP No 16/SD/1946, yang oleh Dani Saptoni SS MHum selaku Koordinator Komunitas Societeit Surakarta (KSS) disebut sebagai pengorbanan besar Sinuhun PB XII.
Meski sudah “mengalah” dengan diam sampai keluarnya PP No 16/SD/1946, bukan berarti ambisi golongan kiri untuk merebut kekuasaan dengan berbagai cara tetap dilakukan, karena aksi propaganda hitam dan teror penculikan terus saja terjadi. Selain Sinuhun PB XII sendiri diculik, PM Sutan Syahrir juga diculik karena dianggap orang pemerintah tetapi bagian dari keluarga kraton. PM Sutan Syahrir memimpin kabinet pemerintahan ikut menyelamatkan diri ke Surakarta dan berkantor di Javasche Bank (kini kantor BI-Red) untuk menjalankan roda pemerintahan, selama Presiden Soekarno pindah kantor/istana/Ibu Kota di Jogja.
“PM Sutan Syahrir itu menantu dr Saleh Mangundiningrat, seorang dokter pribadi Sinuhun PB XI. Putri dokter yang diperistri Sutan Syahrir bernama Siti Wahyunah. Jadi, PM Sutan Syahrir itu bagian dari keluarga besar kraton. Dia banyak mendapat pengaruh pergerakan dari KRMT Wuryaningrat selaku Ketua Budi Utomo yang juga Parindra. Dia juga banyak dibimbing Patih-dalem KRMH Sosrodiningrat tentang kenegaraan dan ketatanegaraan. Jadi, selama ini yang banyak diungkap hanya tentang Presiden Seokarno pindah ke Jogja. Tetapi tidak pernah mengungkap kabinetnya dipimpin PM Sutan Syahrir pindah ke Surakarta,” tunjuk Dr Purwadi membandingkan. (Won Poerwono-bersambung/i1).