Sabtu Sore Dilahirkan Induk Nyai Juminten, Minggu Sore Sang Bayi Meninggal
IMNEWS.ID – MENINGGALNYA induk kawanan mahesa keturunan Kiai Slamet yang diberi nama Nyai Apon (lahir Ahad Pon-Red) belum lama ini (iMNews.id, 22/7), Kraton Mataram Surakarta memang kehilangan seekor dari 19 ekor mahesa pusakadalem. Namun, Sabtu sore (23/7), induk yang lain yaitu Nyai Juminten yang sedang hamil tua dalam kondisi pemulihan akibat tertular PMK, melahirkan bayi jantan. Namun sayang, kelahiran “gudel” yang sedianya menjadi pengganti hingga kembali genap 19 ekor itu, Minggu sore (24/7) meninggal karena sama sekali tak mau minum air susu induknya sejak dilahirkan.
“Proses kelahirannya seperti biasa, dibiarkan berjalan secara alami. Beberapa abdidalem srati di kandang, ya hanya menunggui dan membantu sewajarnya. Tetapi karena begitu lahir tidak mau minum air susu induknya, ya jadi lemas dan menyebabkannya meninggal. Soal apa ikut terkena PMK dari induknya atau tidak, belum ada keterangan medis, karena proses kelahirannya dibiarkan alami seperti yang sudah sering terjadi, tanpa perlu mengundang tim dokter untuk mengawasi. Tetapi, induk yang sedang tertular PMK, sudah mendapat perawatan dokter hewan, tinggal menjalani proses pemulihan saja,” tukas GKR Timoer Rumbai Kusumadewayani selaku Ketua Pengelola Alun-alun Kidul (Alkid) yang akrab disapa Gusti Timoer, menjawab pertanyaan iMNews.id, tadi pagi.
Bayi yang meninggal sehari kemudian setelah dilahirkan induk Nyai Juminten, dilaporkan kepada GKR Wandansari Koes Moertiyah selaku Pengageng Sasana Wilapa sekaligus Ketua LDA, melalui Ketua Pengelola Alkid. Minggu sore itu pula, Ketua LDA yang akrab disapa Gusti Moeng lalu meminta Gusti Timoer selaku Ketua Pengelola Alkid untuk menugaskan para abdidalem srati di kandang yang berada di sisi selatan kawasan Alkid untuk mengubur. Kuburan bayi jantan mahesa yang juga berpigmen bule itu, berdekatan dengan kuburan Nyai Apon, di belakang kandang.
“Dilarang” Memberi Pakan
Istana Mataram News.Id yang tadi pagi memantau situasi di sekitar kandang enam ekor mahesa yang sehat dan empat ekor yang menjadi bagian dari 8 ekor yang tertular PMK, di antaranya induk bayi yang meninggal, melihat suasana tenang dan nyaris tak ada orang di dekatnya, kecuali para abdidalem srati yang berjumlah 4 orang. Mungkin ini akibat terpasang spanduk berisi larangan sementara bagi pengunjung untuk memberi pakan kepada satwa jinak kelangenandalem ini, seperti yang disebut Gusti Timoer beberapa hari sebelumnya bahwa pihaknya akan memasang pengumuman yang untuk sementara melarang pengunjung memberi pakan.
“Iya, seperti yang saya ungkapkan sebelumnya, perlu kiranya kami pasang larangan untuk memberi pakan kepada kagungandalem mahesa. Mohon maaf kepada masyarakat luas, untuk sementara kami harus memasang pengumuman tentang adanya ketentuan itu. Ini adalah dari masukan dan saran tim dokter dari Dinas Peternakan Kota. Karena, pakan yang dibawa pengunjung pada beberapa waktu ini, dikhawatirkan membawa wabah PMK. Kita bisa memaklumi, karena wabah PMK yang sudah meluas dan banyak korbannya, belum sepenuhnya hilang,” tandas Gusti Timoer.
Meski hanya seekor dari 8 ekor kawanan mahesa pusakadalem yang meninggal akibat PMK, tetapi jumlah yang tertular termasuk banyak dibanding dalam kurung waktu yang panjang sebelumnya yang nyaris tak ada. Soal kematian satwa ini yang terjadi selama ini, juga tetap wajar-wajar saja, walau penyebabnya oleh faktor yang tak biasa, seperti Kiai Bodong yang meninggal di kawasan pemukiman Solo Baru, Grogol, Sukoharjo akibat perutnya dilukai tombak oleh seseorang “yang tidak suka”. Tetapi, kini memang sudah berbeda dengan satu atau dua dasa warsa silam. Begitu ada hal yang dianggap aneh, masyarakat seakan memiliki kebebasan untuk menyebarluaskan dengan cepat, melalui handphone (HP) di tangannya.
Soal Ketidaksiapan
Hal yang menjadikan tertularnya PMK kawanan dan meninggalnya seekor satwa mahesa milik Kraton Mataram Surakarta cepat tersebar luas beritanya, karena peristiwanya berdekatan dengan menjelang dilaksanakannya upacara adat kirab pusaka menyambut Tahun Baru Jawa 1 Sura, Ehe 1956 atau Tahun Baru Islam, 1 Muharam 1444 Hijriyah. Apalagi, jenis penyakit PMK ini masih berada di penghujung kehebohan, karena menjadi penyebab matinya ternak sapi dan kambing dalam jumlah yang cukup banyak dan hampir merata di Tanah Air. Padahal, penyakit itu meluas di saat-saat yang berdekatan dengan kebutuhan qurban untuk perayaan Hari Besar Idhul Adha.
Karena sudah menjadi bagian dari kewenangannya, Lembaga Dewan Adat (LDA) bergerak cepat setelah mendapat laporan dari abdidalem srati tentang tanda-tanda tertularnya 8 ekor mahesa, apalagi ada seekor induk yang bernama Nyai Apon sampai meninggal. Langkah cepat LDA menugaskan Ketua Pengelola Alkid untuk segera berkoordinasi dengan Dinas Peternakan Kota, mempercepat penanganan segala-sesuatu yang dibutuhkan untuk keperluan upacara adat kirab pusaka malam 1 Sura, antara lain kejelasan soal ketidaksiapan kondisi 7 ekor mahesa yang tertular PMK, padahal merupakan pasukan inti yang sudah terbiasa menjadi “cucuk lampah” kirab.
Tertularnya 8 ekor mahesa yang salah satunya meninggal cepat menjadi berita besar di ruang publik secara luas, juga karena sejak pandemi Corona berlangsung, baru untuk menyambut malam Tahun Baru Jawa 1 Sura di tahun 2022 ini diagendakan akan diadakan upacara adat kirab pusaka. Selama dua tahun berturut-turut, Kraton Mataram Surakarta tidak menggelar upacara adat kirab pusaka malam 1 Sura, juga sejumlah agenda upacara adat lainnya, karena praktik pelaksanaan berbagai jenis upacara adat ini, selalu mengundang kerumunan orang dalam jumlah besar, bahkan sampai belasan ribu orang, yang tentu bertentangan dengan protokol kesehatan penanggulangan Covid 19.
Menjadi Cirikhasnya
Munculnya berita tentang tertularnya 8 ekor dari 19 kawanan mahesa bule keturunan Kiai Slamet, khususnya bagi masyarakat adat trah Dinasti Mataram dan bagi masyarakat etnik Jawa pada umumnya tak sekadar mengundang perbincangan soal satwa kerbau bule yang dikeramatkan. Tetapi, keberadaan kawanan satwa jinak yang dalam bahasa Jawa halus disebut mahesa itu, bahkan dianggap sebagai “pusakadalem” dan “kelangenandalem” yang hanya dimiliki Kraton Mataram Surakarta, sekaligus sebagai salah satu cirikhasnya, karena tidak dimiliki oleh keraton atau kesultanan, kedatuan atau pelingsir adat lain yang tersisa di Nusantara ini.
Oleh sebab itu, berbicara tentang kawanan mahesa keturunan Kiai Slamet yang sekarang ini dikandangkan di dua tempat terpisah di kawasan Alkid, juga sekitar 13 ekor yang dipelihara KRAT Ahmadi di Kecamatan Banyudono, Boyolali, sesudah KRA Marjitodipuro selaku pemelihara sebelumnya meninggal, tentu juga akan menyinggung banyak hal yang berkait. Hal terkait yang utama adalah warga Pakasa Cabang “Gebang Tinatar” Ponorogo (Jatim) yang kini diketuai KRA MN Gendut Wreksodiningrat, karena para abdidalem dan sentana trah Sinuhun PB V serta trah Suradiningrat I di sana yang selama ini merawat makam dua Bupati Ponorogo di zaman Sinuhun PB II ((1727-1749), di satu kompleks makam yang ada di Desa Setono, Kecamatan Jenangan, Kabupaten Ponorogo (Jatim).
“Kalau sudah berbicara soal mahesa keturunan Kiai Slamet. Tentu ingat makam Bupati Ponorogo eyang RT Surabrata, yang jadi satu kompleks makam Bupati Ponorogo eyang Bathara Katong. Itu menjadi tugas dan kewajiban warga Pakasa Gebang Tinatar untuk merawat. Karena, eyang RT Surabrata yang misungsung sepasang mahesa Kiai Slamet kepada Sinuhun PB II. Dan itu direstui ulama besar Pondok Tegalsari Gebang Tinatar, Kyai Khasan Besari, guru spiritual sekaligus besandalem Sinuhun PB II. Bahkan, Suradiningrat I yang tak lain ayah RT Surabrata itu, salah satu trah keturunannya adalah istri saya, Hj Siti Robani SPd. Jadi, pasuwitan warga Pakasa di sini terhadap Kraton Mataram Surakarta, sudah tidak perlu diragukan lagi,” jelas KRA MN Gendut selaku Ketua Pakasa cabang, yang juga salah seorang trah Sinuhun PB V itu. (Won Poerwono-bersambung/i1)