Seandainya Meneladani Kawicaksanan Sinuhun PB IX, Kenapa Tidak?
IMNEWS.ID – GENERASI penerus Dinasti Mataram di lingkungan masyarakat adat Surakarta Hadiningrat, memang benar-benar sudah berganti. Seandainya masih ada yang tersisa, tetapi justru menjadi hambatan atau malah menjadi kontra produktif bagi proses perjalanan sejarah untuk eksis dan lestari sepanjang zaman, inilah yang menjadi ”pekerjaan rumah” (PR) besar warga dinasti dan masyarakat adatnya, untuk segera dikerjakan dan diselesaikan tuntas.
Tahun 2004, Sang Pemimpin Dinasti yaitu Sinuhun Paku Buwono (PB) XII sudah wafat. Kerabat yang kurang lebih segenerasi dan punya peran penting bagi Keraton Mataram Surakarta ketika memasuki zaman republik seperti GPH Djatikusumo, GPH Haryo Mataram, BKPH Prabuwinoto, sudah pula tiada. Begitu pula, enam garwa ampilnya yaitu KRAy Pradapaningrum, KRAy Mandayaningrum, KRAy Kusumaningrum, KRAy Rogasmara, KRAy Pujaningrum dan KRAy Retnodiningrum yang terakhir meninggal Kamis, 13/5 (iMNews.id, 16/5).
Dari keenam garwa ampildalem, Sinuhun PB XII memiliki 35 putra-putridalem yang kini jumlahnya kurang dari 30 orang. Di antara putri-putridalem yang sudah meninggal adalah GKR Galuh Kencana, GKR Sekar Kencana dan KGPH Kusumoyudo yang seibu dengan Sinuhun PB XIII, dan juga GKR Wandansari Koes Moertiyah atau Gusti Moeng (anak ke-25), yang lahir dari KRAy Pradapaningrum.
Dari satu ibu, KRAy Pradapaningrum, terlahir 10 anak yang tertua KGPH Hangabehi dan menjadi anak tertua dari 35 putra/putri dalem. Karena itu, pada tahun 2004 didukung kalangan adik-adiknya seibu plus GPH Nur Cahyaningrat (lain ibu), ditambah dukungan semua trah darahdalem keturunan Sinuhun Amangkurat hingga keturunan KGPH Hangabehi sendiri yang terwadahi dalam LDA, KGPH Hangabehi diantar untuk jumeneng nata sebagai Sinuhun PB XIII pada tahun 2004 hingga sekarang.
Sebelum peristiwa insiden 2017, GRAy Koes Sapardiyah yang merupakan adik KGPH Hadi Prabowo dari ibu KRAy Rogasmara sempat bergabung dengan 10 putra-putri KRAy Pradapaningrum untuk mendukung KGPH Hangabehi menjadi Sinuhun PB XIII. Satu-satunya putradalem bernama GPH Nur Cahyaningrat, dari 12 bersaudara yang lahir dari garwa ampildalem KRAy Pujaningrum, adalah pendukung setia Sinuhun PB XIII yang memilih mengikuti jejak Gusti Moeng akibat insiden 2017, sampai tutup akhir hayat di usia 60-an di akhir tahun 2020 lalu.
Selain dari KRAy Pradapaningrum dan KRAy Pujaningrum, garwa ampildalem yang memiliki keturunan hampir sama banyaknya adalah KRAy Retnodiningrum yang meninggal beberapa hari lalu dalam usia 93 tahun. Garwa Sinuhun PB XII yang paling akhir meninggal ini, memiliki putra/putri 8 orang, di antaranya adalah KGPHP Tedjowulan dan adiknya, KGPHA Dipokusumo. Di tahun 2004, di Keraton Mataram Surakarta ada ”ontran-ontran Raja kembar”, karena beberapa hari sebelum KGPH Hangabehi jumeneng nata sebagai Sinuhun PB XIII, KGPH Tedjowulan lebih dulu dinobatkan oleh Pengageng Parentah Keraton, Pengageng Keputren dan Pengageng Kusuma Wandawa sebagai Sinuhun PB XIII di Sasana Purnama/Sasono Purnomo, Badran, Banjarsari.

Kini, generasi Sinuhun PB XII beserta enam garwadalem dan tokoh-tokoh ”pepunden” yang dekat usia di atas dan di bawahnya benar-benar (nyaris) habis, menyusul kalangan generasi kedua atau kalangan putra/putrinya yang juga sudah mulai berkurang jumlahnya, karena rentang usianya sudah di atas 50-an hingga 70-an tahun. Dalam rentang usia itu, tentu mengalami siklus alami yaitu semakin menurun produktivitasnya, termasuk Sinuhun PB XIII sendiri yang sudah dalam kondisi sangat tidak sehat, termasuk dalam soal berkomunikasi/berbicara.
”Saya menyaksikan sendiri kondisi itu. Sinuhun hanya bisa menangis (meneteskan air mata), saat disungkemi KGPHP Tedjowulan. Dari dekat selama beberapa menit, saya (nyaris) tidak mendengar sepatah katapun diucapkan. Tapi bisa juga, itu karena rasa haru. Tetapi, saya setuju dengan pernyataan kalangan kerabat termasuk sederekdalem, utamanya Gusti Moeng. Bahwa Sinuhun memang benar sudah tidak produktif akibat sakit yang diderita di usia 70-an. Kondisi rata-rata manusia di usai 70-an memang begitu. Itu sangat alami,” tutur KRT Hendri Rosyad Wrekso Puspito (62), seorang abdidalem pemerhati budaya Jawa dan keraton dari sisi spiritual menceritakan pertemuannya dengan Sinuhun PB XIII saat melayat KRAy Retnodiningrum (iMNews.id, 16/5), yang dihubungi iMNews.id, kemarin.
KRT Hendri Rosyad tidak hafal sejumlah tokoh lain yang memang belum pernah ditemuinya sejak ”suwita” di Keraton Mataram Surakarta tahun 2001, terutama saat ada pisowanan menjelang ritual kirab pusaka di malam menyambut Tahun Baru Jawa yang jatuh tepat malam tanggal 1 Sura. Tetapi, melihat usia rata-rata para tokoh yang utamanya generasi kedua setelah Sinuhun PB XII, sudah sulit diharapkan produktivitasnya dalam upaya mengembalikan kewibawaan keraton dan menjaga harkat dan martabat keraton agar lestari sampai akhir zaman.
Produktivitas yang jauh menurun akibat siklus alami yang dialami rata-rata di usia di atas 50 tahun itu, kekuatannya juga berkurang karena meninggalnya sejumlah tokoh seperti GKR Galuh, GKR Sekar, KGPH Kusumoyudo dan GPH Nur Cahyaningrat. Selain itu, kekuatan yang terpecah-belah akibat konflik baik yang terjadi di tahun 2004 dan diperparah oleh insiden di tahun 2017, menurut KRT Hendri Rosyad Wrekso Puspito sangat memperlemah posisi Keraton Mataram Surakarta, baik secara internal, apalagi secara eksternal, dari sisi pisik maupun sisi spiritual kebatinan atau nonpisik.

Melihat kualitas spirit materi SDM, terutama dalam situasi dan kondisi seperti itu, kini sudah saatnya mulai mencermati potensi generasi ketiga atau para wayahdalem yang jumlanya sekitar 60 orang itu. Para wayahdalem ini, bahkan juga sudah terwadahi dalam Paguyuban Sawo Kecik, yang salah satu kegiatannya adalah menggelar forum terbatas untuk belajar tentang segala hal yang menyangkut keraton dengan segala produk peradabannya. Paguyuban Sawo Kecik yang memiliki makna filosofi mendambakan yang ”sarwa becik” (penuh kebajikan), diketuai putri tertua Sinuhun PB XIII bernama GKR Timoer Rumbai Kusumodewayani, yang belakangan selalu tampil bersama sang putra mahkota, KGPH Mangkubumi.
Dengan segala kelebihan dan kekurangannya, GKR Wandansari Koes Moertiyah selaku Ketua Lembaga Dewan Adat (LDA) sudah mempersiapkan generasi ketiga, yang diupayakan menjalani tahap dan proses sesuai tatanilai paugeran adat seperti yang selama ini diperjuangkan mati-matian. Ini semua, dimaksudkan agar proses transisi antar generasi tidak mandeg atau tersendat-sendat atau stagnasi di posisi tidak produktif, karena tujuan utamanya mengembalikan kewibawaan keraton yang berharkat dan bermartabat sudah tidak bisa ditawar lagi, hingga Gusti Moeng mendeklarasikan Gerakan Penyelamatan Keraton.
Terlebih dengan melihat kondisi figur ”Kepala Keluarga Besar” yang tak lain adalah Sinuhun PB XIII yang sudah sangat tidak produktif, jelas makin memperparah posisi kelembagaan keraton, karena mirip kapal yang berjalan tanpa arah bahkan terombang-ambing, akibat nahkodanya sudah tak mampu menjalankan tugasnya. Dalam posisi stagnasi dan tidak produktif seperti ini, justru bisa memberi peluang bagi oknum-oknum petualang untuk memanfaatkan ketidakmampuan sang nahkoda, seperti dugaan-dugaan penyimpangan konsep kagungandalem dan dugaan penyalahgunaan kewenangan dengan mencatut nama yang belakangan banyak terjadi.
”Dalam situasi dan kondisi seperti itu, sebaiknya semua berfikir jernih, realistik. Karena, kalau diterus-teruskan atau dibiarkan seperti ini, sangat tidak baik bagi keraton. Tetapi, yang rugi bukan hanya keraton, melainkan warga peradaban secara luas. Kita bisa berkaca pada pengalaman masa lalu, yang bisa menjadi guru bijak. Kalau ada riwayat Sinuhun PB IX menobatkan putra mahkotanya untuk jumeneng menjadi Sinuhun PB X, menggantikan kedudukannya, mengapa kita semua tidak meneladani kawicaksanan itu? Sinuhun PB IX memilih mundur dan dihormati sebagai Sinuhun ‘Sepuh’, tujuannya agar kapal Keraton Mataram Surakarta berjalan lancar, dengan arah jelas dan bisa menghadapi topan-badai di hadapannya. Bukankah sekarang ini sebaiknya begitu?,” jela KRT Hendri Wrekso Puspito dalam nada bertanya. (Won Poerwono-habis)