Tanggul Buatan tahun 1788-1820, “Dijebol” Luapan Bengawan Sala Maret 1966
IMNEWS.ID – PENGAGENG Sasana Wilapa yang dijabat GKR Wandansari Koes Moertiyah sejak “Kabinet 2004” terbentuk, merupakan otoritas Kraton Mataram Surakarta yang menerima porsi paling banyak dalam forum dialog, diskusi dan komunikasi antara berbagai elemen warga, para pamong wilayah Kelurahan Baluwarti dengan otoritas kraton selaku nara sumber yang juga tuan rumah RW I. Karena, forum komunikasi yang formatnya sarasehan “Selapanan RW” tiap Selasa Wage itu, sejak awal sudah dirancang untuk menjadi sarana komunikasi sekaligus kesempatan semua tamu yang hadir untuk mendapatkan referensi pengetahuan tentang sejarah kraton dan budaya Jawa yang bersumber dari kraton.
Seperti diungkapkan MNg Suparno selaku MC forum sarasehan sekaligus penghubung warga dan pamong wilayah dengan kraton disamping KRMH Suryo Kusumo Wibowo, bahwa “Selapan RW” yang meminta kraton mewakili RW I sebagai tuan rumah pertemuan karena ada kebutuhan mendesak yang perlu segera solusi. Kebutuhan itu adalah dialog, mencari solusi atas berbagai masalah warga Baluwarti dan terakhir sangat penting adalah kebutuhan bekal referensi pengetahuan warga, tentang latarbelakang sejarah lokasi dan wilayah yang dihuni serta kraton yang menjadi tema besar, termasuk pula budaya Jawa yang bersumber dari kraton.
Karena memahami kebutuhan yang terakhir itulah, maka Pengageng Sasana Wilapa yang akrab disapa Gusti Moeng meminta alokasi waktu yang cukup untuk menguraikan berbagai hal tentang latarbelakang sejarah kraton, sistem tata nilai adat, budaya Jawa dan berbagai hal yang berkait dengan itu, yang masih dan akan terus dibutuhkan dalam kehidupan secara luas, khususnya bagi warga Baluwarti. Meski begitu, tampilnya Gusti Moeng di antara beberapa nara sumber dan adanya sesi tanya-jawab yang kesemuanya terjadi hanya dalam durasi dua jam lebih mulai pukul 20.00 WIB, tentu terpaksa hanya bisa disebut Gusti Moeng sepotong-sepotong mengenai referensi pengetahuan yang dibutuhkan begitu luas dan banyak itu.
Meski sepotong-sepotong, hampir semua informasi data latar belakang sejarah tentang kraton, sistem tata nilai adat dan budaya Jawa yang diungkapkan, sangat bermanfaat bagi semua yang hadir. Karena, senyatanya informasi mengenai banjir-bandang yang melanda Kota Sala dan daerah sekitarnya mulai 16 Maret 1966, meskipun hanya disinggung sekilas tetapi tidak banyak dipahami secara benar apa hubungannya dengan kraton? Bagaimana mungkin bisa terjadi, mengingat Kota Surakarta sudah dikelilingi tanggul tebal yang rata-rata setinggi ujung atas atap rumah satu lantai, waktu itu.
Banjir bandang akibat luapan Bengawan Sala yang menjebol beberapa titik lokasi tanggul itu, begitu pula soal sebab dan akibatnya memang tidak dibahas secara khusus di forum itu, karena jelas alokasi waktu tidak memungkinkan. Gusti Moeng hanya menjelaskan, bahwa tanggul yang mengelilingi hampir separo Kota Surakarta terutama di wilayah timur dan selatan kota, pembangunannya dimulai saat Sinuhun Paku Buwana (IV) jumeneng nata (1788-1820). Selama PB IV jumeneng, tanggul yang lebar permukaannya bisa dilewati mobil ukuran kecil dua arah itu, membujur dari kawasan Silir atau Plalan (kini Semanggi Kidul-Red) hingga kawasan kampung Ngepung atau Ndadapan (kini Semanggi Lor-Red).
“Teman-teman sudah pada paham Kampung Silir ta…? Dulu, Sinuhun PB IV membangun tanggul dari dekat kawasan itu. Lalu diteruskan ke utara hingga Kampung Sewu (kini Kelurahan Sewu-Red) oleh Sinuhun PB VII. Tujuannya untuk menghindari luapan Bengawan Sala. Sinuhun PB IV itu pula yang mulai membangun kompleks-kompleks ndalem Pangeran, seperti yang masih banyak kita jumpai sekarang. Tetapi, bagunan yang paling dulu dibangun dan bisa difungsikan sepenuhnya, adalah sarana ibadah, kagungandalem Masjid Agung. Karena, Sinuhun (II, III dan IV-Red) mendahulukan kepentingan publik yaitu kebutuhan beribadah rakyatnya. Karena, Kraton Mataram adalah kraton Islam yang meneruskan Sultan Agung,” jelas Gusti Moeng yang sempat berkelakar menggoda.
Gusti Moeng juga menyebut, Sinuhun PB II memindahkan Ibu Kota “negara” dari Kartasura ke Surakarta, melalui prosedur yang bermartabat, yaitu membeli sebuah desa yang sebagian permukaannya rawa-rawa, yang waktu itu di bawah otoritas seorang Demang dari bekas Kraton Pajang, bernama Kyai (Gede) Sala. Desa itu dibeli Sinuhun 25 ribu Ringgit, lalu sebagian yang berawa-rawa termasuk di Kedung Lumbu (kini wilayah kelurahan-Red), diurug. Selama 3 tahun antara 1742-1745 semua rawa-rawa itu bisa diurug dan pada 17 Sura tahun Je 1670 atau 20 Februari 1745, Sinuhun mendeklarasikan lahirnya “nagari” Surakarta untuk menggantikan nama Desa Sala.
“Tetapi, Sinuhun PB II hanya bertahan 4 tahun setelah mendeklarasikan ‘nagari’ Surakarta. Beliau wafat dan di tahun 1745 itu digantikan puteranya, jumeneng sebagai Sinuhun PB III. Nah, di sini saya ingin sedikit menambahkan, sekaligus meluruskan apa yang selama ini terjadi upaya menyimpangkan fakta sejarah. Informasi yang selalu digembar-gemborkan setiap bulan Februari, adalah tentahg Perjanjian Giyanti, yang selalu disebut sebagai ‘Palihan nagari’, Sinuhun PB III menandatangani perjanjian dengan Pangeran Mangkubumi, bahwa separo wilayahnya diberikan pamannya itu. Ini salah besar. Ini tidak benar. Sinuhun PB III tidak pernah menandatangani dan hadir pada Perjanjian Giyanti, 13 Februari 1755. Yang benar, Pangeran Mangkubumi ‘dipinjami’ tanah ‘lungguh’, statusnya hanggaduh,” tandas Gusti Moeng.
Referensi pengetahuan soal sejarah “Perjanjian Giyanti” pada 13 Februari di wilayah Desa Kerten Jantiharjo, kini masuk wilayah Kecamatan Matesih, Kabupaten Karanganyar yang notabene menjadi sejarah awal mula berdirinya Kraton Jogja itu sangat bermanfaat bagi warga Baluwarti dan publik secara luas yang selama ini “teracuni” oleh informasi medsos dari pihak-pihak yang “dibiayai dengan dana istimewa Jogja”. Menurut Gusti Moeng, Sinuhun PB III baru mau menemui Pangeran Mangkubumi beberapa waktu setelah 13 Februari 1755, pertemuan terjadi di Desa Jantisari yang kini masuk wilayah Kecamatan Mojolaban (Kabupaten Sukoharjo), atas desakan Belanda yang terus memintakan wilayah untuk calon Sultan HB I itu.
Selain tanah “lungguh” yang statusnya “hanggaduh” di lokasi yang kini berdiri Kraton Jogja itu, Sinuhun PB III juga memberikan “piandel” atau semacam pusaka bernama “Ki Kopek”, yang status level derajat kekeramatannya di bawah “Kia” (K), bahkan jauh di bawah “Kanjeng Kiai” (KK). Kata “Kopek” disebutkan sinonim dengan “disusui” atau “dalam asuhan”, yang makna luasnya Pangeran Mangkubumi yang akan mendirikan Kraton Jogja itu berada dalam asuhan atau pemeliharaan Kraton Surakarta, karena masih “disusui” Raja Mataram Surakarta. Kebenaran sejarah memang sulit berlaku mutlak. Tergantung temuan penelitian yang bisa muncul dari waktu ke waktu. (Won Poerwono-habis/i1)