Karena tak Pahami Tembang Macapat, Menetapkan Hari Jadi Surakarta Salah (6-habis)

  • Post author:
  • Post published:May 11, 2022
  • Post category:Budaya
  • Reading time:10 mins read

Surakarta Juga Punya Pujangga Wanita Bergelar Kanjeng Ratu Paku Buwana I

IMNEWS.ID – HUKUM sebab-akibat dalam kehidupan sebuah peradaban yang terus berjalan hingga saling kait-mengkait satu sama lain, ditambah berbagai faktor lain yang bisa menghasilkan sebuah keputusan salah seperti dalam menentukan hari jadi Kota Surakarta, sedikit demi sedikit sudah terjawab.  Begitu pula contoh-contoh lain yang mencerminkan sebuah warga peradaban yang “lali purwa duksina” atau “ora dunung” seperti  narasi sebuah banner yang menimbulkan multi tafsir, pelan-pelan semakin terbuka karena masih ada warga peradaban yang merasakan  ada bagian yang hilang dari realitas kehidupannya kemudian berusaha mencari.

Dalam pencarian itu, di episode sebelumnya (iMNews.id, 9/5) didapati  sederet nama Pujangga Besar Mataram atau Jawa bahkan bisa disebut  Pujangga Surakarta, dengan sejumlah karya-karyanya yang berisi ajaran nilai-nilai yang bermanfaat untuk kehidupan ini, bahkan yang bernuansa spiritual religi yang bisa menuntun manusia kepada kebajikan menuju penciptaNya. Namun, itu baru separo, karena KRRA Budayaningrat masih mempunyai separo lagi jumlah nama-nama Pujangga Besar Surakarta, termasuk RNg Ronggawarsita (RNg Ranggawarsita-Red), bahkan KRT Ahmad Faruq Reksobudoyo (dosen IAIN Ponorogo) menilai Kanjeng Ratu Mas Balitar atau Kanjeng Ratu Paku Buwana I juga layak dinobatkan sebagai Pujangga Surakarta, bahkan “Ratu Sufi”.

Masih ada  Pujangga RNg Yasadipura I yang menulis 13 karya paling populer yaitu Serat Cebolek, Babad Pakepung, Babad Giyanti, Serat Rama, Serat Dewaruci, Serat Ambiya, Serat Tajusalatin, Serat Menak, Serat Johar Manik, Serat Namawi, Wulang Sewaka, Serat Pantisastra dan Serat Lokapala. Sedang Pujangga Yasadipura II menulis  dua karya populer yaitu, Serat Sasana Sunu dan Serat Wicara Keras.  Kemudian Pujangga RNg Sindusastra, menulis karya Serat Harjuna Sasrabahu, Serat Partakrama/Partayagnya, Serat Srikandi Meguru Manah dan serat Sembadra larung.

Punya Kemampuan “Sambegana”

SIFAT KAPUJANGGAN : Sinuhun Paku Buwana XII (1945-2004) adalah Raja terakhir di Keraton Mataram Surakarta yang masih memiliki sifat-sifat “kapujanggan” dan memegang teguh nilai-nilai kepujanggaan yang menjadi teladan bagi kehidupan warga peradaban secara luas. (foto : iMNews.id/dok)

Sama seperti dua raja dan permaisuri Sinuhun Paku Buwana I yang bergelar Kanjeng Ratu Paku Buwana I, seorang Adipati dari Kadipaten atau Pura Mangkunegaran, juga sudah memiliki kapasitas sebagai Pujangga Surakarta. Dia adalah KGPAA Mangkunagara IV (1850-1881) yang menulis karya Serat Wedhatama, Serat Buratwangi, Serat Sendon Langen Swara, Panembrama, Salokatama dan Rerepen. Pujangga RNg Ranggawarsita, merupakan salah satu dari 12 pujangga yang sudah dinobatkan warga peradaban, memiliki karya populer yang paling banyak, yaitu 34 karya sastra dan hampir semuanya menunjukkan kapasitasnya sebagai seorang filosof yang punya kemampuan melihat masa depan yang jauh atau “sambegana”.

Karya-karya Pujangga Surakarta ini menyentuh berbagai bidang kehidupan, mulai dari pengetahuan bidang edukasi, puisi, nilai-nilai kautaman (perilaku keutamaan),  pengetahuan tembang, jenis-jenis tembang Macapat, sumber referensi lakon-lakon seni pedalangan wayang purwa-madya dan tuntunan  arah menuju Sang Pencipta yang dikenal dengan pengetahuan tentang “kasampurnaning ngaurip” ( kesempurnaan hidup). Serat Hidayat Jati, Serat Jayabaya, Serat Pustaka Raja Purwa, Serat Pustaka Raja Madya, Serat Kalatidha, Serat Cemporet, Serat Wirid, Serat Jaka Lodang dan Serat Sabdajati, adalah beberapa karyanya yang sering menjadi bahan diskusi dan kajian ilmiah masyarakat kampus di sejumlah universitas.

Dalam daftar KRRA Budayaningrat, pujangga terakhir yang dicatat adalah Pangeran Kusumadilaga yang memiliki karya Bale Sigala-gala, Jagal Abilawa, Kartapiyoga, Jaladara Rabi, Kurupati Krama, Sastra Mirudha dan Parta Dewa. Sedangkan KRT Ahmad Faruq  Reksobudoyo mengusulkan agar garwa prameswaridalem Sinuhun Paku Buwana I ing Karaton Mataram Kartasura yaitu Kanjeng Ratu Mas Balitar yang bergelar Kanjeng Ratu  Paku Buwana I, layak dinobatkan menjadi Pujangga Mataram atau Pujangga Surakarta, karena karya-karyanya yang  
banyak mengangkat tema-tema religi seperti Serat Yusuf, Serat Iskandar, Serat Usulbiyah dan banyak lagi yang masih sangat relevan menjadi tuntunan spiritual religi warga peradaban segala zaman.

Bukan Kanjeng Ratu “Abal-abal”

SANGAT JAUH : Keluarga kecil ini dipimpin oleh seorang “sinuhun” yang nyaris tak memiliki sifat-sifat “kapujanggan”   dan sangat jauh dari nilai-nilai kepujanggaan dalam memimpin masyarakat adat Keraton Mataram Surakarta. Padahal, seharusnya menjadi teladan bagi warga peradaban secara luas. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

“Di antara yang paling sering menjadi bahan kajian di lingkungan perguruan tinggi Islam tiga karya itu. Hebatnya, beliau adalah sosok wanita. Padahal, tokoh-tokoh menonjol sepanjang sejarah Islam adalah  lelaki. Maka tidak salah kalau Kanjeng Ratu Mas Balitar, menjadi sosok wanita yang patut dikagumi karena kapasitasnya sebagai filsuf atau sufi yang dimiliki Mataram, bahkan milik bangsa Indonesia. Putri Bupati Madiun ke-9  itu pantas dimasukkan dalam daftar Pujangga Surakarta. Beliau adalah benar-benar Kanjeng Ratu Paku Buwana yang hebat.  Permaisuri Sinuhun PB I (1660-1705) itu, bukan sembarang Kanjeng Ratu Paku Buwana. Dan jelas bukan kanjeng ratu abal-abal……,” tandas KRT Ahmad Faruq, salah seorang abdidalem kanca kaji Karaton Mataram Surakarta yang didihubungi iMNews.id di tempat terpisah, kemarin.  

Usulan KRT Ahmad Faruq itu jelas akan menambah referensi dan keragaman pengetahuan spiritual religi keislaman sekaligus menambah jumlah tokoh Pujangga Surakarta yang notabene Pujangga Mataram dan Jawa, dan bersamaan dengan itu tentu akan semakin meyakinkan bagi Surakarta sebagai Kota Literasi Dunia yang sudah dideklarasikan Dr Purwadi. Bersamaan itu pula, seharusnya menjadi daya tarik kajian keilmuan dari sisi kesusastraan bagi FIB UNS, sebagai nilai tambah untuk memudahkan mengaktualisasi predikat Surakarta, serta menjadikannya basis fundamental cirikhas lembaga pendidikan tinggi yang berada di lingkungan masyarakat peradaban Jawa/Mataram itu.

Sebuah diskusi kecil di kalangan beberapa anggota Komunitas “Angkringan Ilmu” yang berlangsung di sebuah kawasan di Sukoharjo, belum lama ini, seakan memberi garis besar terhadap peran lingkungan dunia pendidikan di Tanah Air mulai rezim Orde Baru yang diteruskan rezim-rezim pemerintahan berikutnya, yang dianalisis menjadi “mesin” pemutus memori publik terhadap nilai-nilai kearifan peninggalan para leluhur bangsa ini, khususnya leluhur Mataram. Analisisnya bahkan terarah pada lingkungan dunia pendidikan yang “mendapatkan tugas” menjalankan skenario besar untuk memutus sejarah sekaligus mata rantai nilai-nilai kearifan peninggalan para leluhur, karena nelalui dunia pendidikan di berbagai jenjang merupakan sebuah  sistem terbaik untuk melakukan proses dekulturisasi dan memutus memori publik yang jitu, pelan-pelan tapi pasti.

Menghargai Para Leluhurnya

MENCETAK PEMIMPIN : Seandainya lingkungan masyarakat kampus UNS selalu “dekat” dengan habitat awalnya seperti saat dilahirkan di tahun 1975 lalu, pasti bisa mencetak calon-calon pemimpin yang sangat menghargai nilai-nilai “kapujanggan” dan punya sifat-sifat kepujanggaan, karena basis fundamentalnya sesuai dengan cirikhas peradaban sosio kultural di sekitarnya.  (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Berdasar analisis itu,  ketika ada kesadaran kolektif mulai bermunculan di kalangan publik di mana-mana karena merasa ada sesuatu yang hilang,  maka salah satu solusi paling jitu atau terbaik untuk mengembalikan keasdaran publik dan memori publik terhadap pentingnya nilai-nilai kearifan peninggalan para leluhur adalah melalui lingkungan dunia pendidikan, dari jenjang terendah hingga paling atas. Karena dari lingkungan dunia pendidikan yang sudah punya sistem baik di Tanah Air, bisa menghasilkan insan-insan yang memiliki kelengkapan bekal lengkap antara ilmu pengetahuan, kepribadian dan punya cirikhas kearifan budayanya, termasuk pula calon-calon pendidik yang berkapasitas lengkap sebagai agen perubahan untuk menghasilkan generasi yang punya bekal kemampuan lengkap pula.

Produk lingkungan dunia pendidikan yang sudah punya bekal lengkap, tentu diharapkan menjadi insan agen perubahan dan  memberi warna bercirikhas di lingkungan masing-masing, baik di  tempatnya bekerja, beraktivitas dan bermasyarakat. Termasuk, ketika mereka memasuki dunia politik praktis,  yang dalam dekade terakhir ini menjadi mesin politik untuk melakukan perubahan,  yaitu partai politik (Parpol) dan lembaga Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) di semua tingkatan, juga DPD serta para pemimpin yang dihasilkan dari Pilkada, juga termasuk pula di  lembaga-lembaga penegak hukum dan TNI. Mereka semua ini, merupakan satu-kesatuan dalam menghasilkan political will, yang bisa bergerak sesuai dinamika yang diinginkan untuk berbagai kebijakan nasional, termasuk membangun peradaban bangsa yang unggul tetapi memiliki ciri kepribadian kuat, yang antara lain selalu peduli dan menghargai jasa-jasa para leluhurnya.

Proses politik yang sedang trend berlaku di tanah Air ketika negara ini menghendaki kebijakan sesuai yang diinginkan, bila di dalamnya terdiri dari orang-orang atau pemimpin yang dihasilkan dari proses di lingkungan dunia pendidikan dengan kelengkapan bekal seperti di atas, tentu akan mempercepat proses pengembalian kesadaran publik dan memori publik terhadap pentingnya nilai-nilai kearifan dan jasa-jasa para leluhur untuk membangun bangsa yang unggul dan berciri kepribadian Indonesia. Sebab itu, nilai keteladanan pemimpin juga akan sangat menentukan keberhasilan proses politik guna menghasilkan political will untuk menghasilkan generasi bangsa yang bisa menjamin utuhnya NKRI, kebhinekaan bangsa, tegaknya UUD 45 dan Pancasila, karena bangsanya punya kepribadian budaya yang kuat. (Won Poerwono-habis/i1)