“… Wiwit Dina Iki, Desa Sala Ingsun Alih Surakarta Hadiningrat…”

  • Post author:
  • Post published:August 16, 2022
  • Post category:Regional
  • Reading time:5 mins read

Lembaga Dewan Adat Ada Karena Menyesuaikan Sistem Hukum yang Ada

SURAKARTA, iMNews.id – Nama Desa Sala yang identik dengan nama tokoh penguasa sebuah wilayah desa berawa, bernama Ki Gedhe Sala, mulai hari Rabu Pahing, bulan Sura tanggal 17, Tahun Je 1670 atau 20 Februari 1745, secara resmi sudah berubah menjadi “Nagari”  (juga diidentikkan kota) Surakarta Hadiningrat. Yang mendeklarasikan dan mengumumkan pergantian nama itu, tak lain adalah SISKS atau Sinuhun Paku Buwana (PB II), raja di “Nagari” (Kraton) Mataram yang baru saja mengumumkan perpindahan (Ibu Kota)nya dari Kartasura ke Surakarta.

“….Wiwit dina iki, Desa Sala Ingsun Alih (Ingelih) Surakarta Hadiningrat…..”. Demikian bunyi sepenggal kalimat yang menjadi syair tembang macapat Dhandhanggula, yang secara bergantian didendangkan oleh KMAy Madu Retnaningrum dan KP Husadanagara di sela-sela upacara adat memperingati berdirinya Kraton Mataram Surakarta atau pengetan adeging “Nagari” Mataram Surakarta, yang dilaksanakan Lembaga Dewan Adat (LDA) di Pendapa Pagelaran Sasana Sumewa, tadi siang. Sedangkan KP Puspitadiningrat mendapat tugas membaca narasi syair tembang macapat tersebut, yang duduk berdampingan dengan KP Siswantodiningrat selaku juru pranatcara.

“Betul. Jadi, pada hari Rabu Pahing, 20 Februari 1745 itu, nama Desa Sala sudah tidak ada. Karena, tanah berawa dekat Kedung Lumbu dan Sitinggil itu, sudah dibeli Sinuhun PB II dan di atasnya sudah dibangun segala bentuk bangunan fasilitas Ibu Kota negara Mataram, yang bernama Surakarta Hadiningrat. Sebagai kenangan, boleh disebut Sala dan dialihbahasakan menjadi Solo. Tetapi, nama resmi sudah berganti menjadi Surakarta, pada hari Rabu Pahing, tanggal 17 Sura Tahun Je 1670 (kalender Jawa) atau 20 Februari 1745 (kalender Masehi) itu,” tegas KP Budayaningrat yang dimintai konfirmasi iMNews.id di tempat terpisah, sore tadi.

TEMBANG DHANDHANGGULA : Abdidalem karawitan KMAy Madu Retnaningrum, membacakan riwayat berdirinya “Negara” Mataram Surakarta pada 20 Februari 1745 dalam tembang macapat Dhandhanggula, yang menandai upacara adat yang digelar LDA di Pendapa Pagelaran Sasana Sumewa, siang tadi. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Ada 30 “pada” atau bait tembang macapat Dhandanggula dari Serat Pindhah Kedhaton yang dikumandangkan pada upacara adat pengetan adeging “Nagari” Mataram Surakarta, siang tadi. Bunyi kalimat syair yang menjadi fakta sejarah tertulis dalam aksara dan bahasa  Jawa itu, juga dipertegas GKR Wandansari Koes Moertiyah selaku Ketua LDA sekaligus Pengageng Sasana Wilapa Kraton Mataram Surakarta.

Menurutnya, begitu jelas fakta sejarah yang menyebut bahwa Mataram Surakarta (1745-1945) meneruskan Mataram Kartasura (1703-1745), yang juga meneruskan Mataram Islam yang didirikan Sultan Agung Prabu Hanyakrakusuma (1613-1645). Itu berarti, sudah jelas pula bahwa Mataram Surakarta adalah “negara” (monarki) Mataram terakhir yang ber-Ibu Kota di Surakarta Hadiningrat sampai berusia  200 tahun. Dan sudah jelas pula, bahwa Kraton Mataram Surakarta menjadi kraton pertama yang menyatakan mendukung berdirinya NKRI.

“Ini yang perlu diingat kembali dan selalu diingatkan. Bahwa Kraton Surakarta adalah kraton pertama yang mendukung NKRI. Tetapi sepertinya, sudah tidak dihargai, dihormati dan tidak diinginkan. Kondisi kraton dan sekelilingnya, sudah tidak terawat dengan baik, karena tidak diperhatikan negara. Padahal, struktur bangunan kraton dari Gapura Gladag hingga Gapura Gading, penuh dengan makna dan kaya tuntunan hidup bagi warga peradaban”.

BANGSAL PANGRAWIT : Pisowanan khusus dalam upacara adat memperingati lahirnya nama Kota Surakarta Hadiningrat pada Rabu Pahing 17 Sura Tahun Je 1670 atau 20 Februari 1745, digelar LDA di  Pendapa Pagelaran Sasana Sumewa, siang tadi, hampir memenuhi ruang depan Bangsal Pangrawit. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

“Sekarang,  kok malah  LDA dituding ilegal dan harus dibubarkan. Tiap warga yang berKTP NKRI, wajib menghormati sistem hukum yang berlaku di negara ini. Begitu pula, harus menghormati keputusan hukum tentang adanya LDA. Lembaga ini penting bagi kraton, di mata siapapun, secara hukum dan sudut pandang lain. kalau ada yang berani bilang begitu, brarti memenuhi unsur perbuatan makar!,” tandas GKR Wandansari Koes Moertiyah yang akrab disapa Gusti Moeng, dalam sambutan tunggalnya, siang tadi.  

Jalannya upacara adat yang hanya berlangsung sekitar 90 menit sejak dimulai pukul 12.30 WIB, diisi tahlil dan dzikir yang dipimpin abdidalem jurusuranata KRT Sugiyanto Projidipuro dan diteruskan dengan doa wilujengan yang dipimpin RNg Irawan Wijaya Pujodiprojo. Sehabis itu, baru dibagikan “Jenang Suran” atau bubur gurih khas yang bermakna kenangan atas nikmat yang diberikan Allah SWT hingga Mataram Surakarta masih eksis hingga kini. Jenag Suran juga dimaknai Gusti Moeng sebagai doa penyuwunan agar krisis pangan yang mulai dirasakan beberapa negara, tidak meluas menjadi krisis dunia.

Upacara wilujengan “nagari” di Pendapa pagelaran kali ini, dihadiri peserta tidak sebanyak tahun lalu yang sampai ribuan jumlahnya, meski dari kemasan jenang Suran yang dibagikan sudah mencapai angka seribuan. Ini disebabkan, hari saat berlangsung upacara adat bukan hari libur, bahkan banyak kegiatan menjelang acara 17-an. Kalangan pengurus Pakasa cabang yang biasanya berdatangan dari Jateng, Jatim dan DIY yang sebelumnya datang ratusan orang /cabang, tadi hanya kelihatan perwakilan dari  Kabupaten Ponorogo (Jatim) belasan orang, Jepara 20 orang, Klaten 50-an orang, Kabupaten Grobogan seorang dan cabang-cabang lain yang rata-rata hanya 20-an. (won-i1)