Karena tak Pahami Tembang Macapat, Menetapkan Hari Jadi Surakarta Salah (5-bersambung)

  • Post author:
  • Post published:May 10, 2022
  • Post category:Budaya
  • Reading time:7 mins read

Seharusnya UNS Mengktualisasi Surakarta Sebagai Kota Literasi Dunia  

IMNEWS.ID – MASYARAKAT kampus seperti yang ada di Universitas Negeri Surakarta (UNS) Sebelas Maret memang memiliki otonomi untuk mengurus rumah-tangga kelembagaannya. Mereka juga punya kebebasan untuk menentukan cirikhas “kepribadiannya” sendiri, sesuai yang disepakati bersama oleh para pendirinya. Tetapi, berkait dengan cirikhas kepribadiannya dan dalam waktu yang sama, lembaga pendidikan tinggi ini tentu tidak bisa melepaskan diri dari ciri-ciri kehidupan sosial budaya masyarakat yang menjadi akarnya, bahkan tidak boleh menjadi “menara gading” bagi lingkungan yang telah melahirkan dan membesarkannya.

Tetapi, mungkin saja harapan itu menjadi kurang tepat karena tak jelas apakah ada kesepakatan mengenai basis yang menjadi fundamen ketika mendirikan lembaga pendidikan tinggi itu. Kalaulah tidak punya basis fundamental untuk mendirikan sebuah lembaga pendidikan tinggi, tentu tidak mungkin ditempuh pemerintah (Orde Baru) waktu itu. Tetapi kalaulah punya basis fundamental dan yang dijadikan garis besar landasan utamanya adalah sosio kultural Jawa dan nilai-nilai kesejarahan Surakarta yang begitu urgen itu, seharusnya tidak seperti sekarang ini “kejadiannya”.

Mengenai basis fundamental, memang bisa berakar dari realitas sosio kultural masyarakat Surakarta atau tidak, tetapi UNS berdiri di tahun 1975 yang embrionya dimulai dari Universitas Gabungan Surakarta (UGS) dan banyak difasilitasi Karaton Mataram Surakarta sebagai kampus pusat untuk pusat perkantoran dan aktivitas perkuliahan, tentu sudah jelas maknanya. Apalagi, salah seorang putradalem Sinuhun Paku Buwana (PB) X yang bernama GPH Haryo Mataram SH dipercaya menjabat sebagai Rektor yang pertama saat UNS diresmikan di Pendapa Pagelaran Sasanasumewa, tentu semakin jelas maknanya.

“Dikubur Hidup-hidup”

REKTOR PERTAMA : Tak hanya fasilitas perkantoran dan kampus, Karaton Mataram Surakarta juga mengizinkan putra terbaiknya yaitu GPH Haryo Mataram SH (almarhum putradalem PB X), ketika diminta pemerintah Orde Baru untuk duduk sebagai Rektor I UNS pada peresmian universitas negeri itu di tahun 1975. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Kini, perjalanan UNS sudah jauh, yang berarti sudah jauh pula perjalanan Fakultas Sastra dan Seni Rupa yang kemudian berubah menjadi Fakultas Ilmu Budaya, yang di dalamnya memiliki jurusan sastra daerah (Jawa). Sementara, perkembangan zaman yang membawa warga peradaban Jawa/Mataram juga sudah semakin jauh, bahkan sampai memasuki pintu gerbang milenium 2, yang di dalamnya tentu ikut terbawa nilai-nilai kearifan sosio kultural Jawa, bahkan seharusnya tetap terpelihara dengan baik.

Tetapi, faktanya memang tidak seideal itu, karena perkembangan dan perubahan berjalan semau zaman, tak peduli apa saja yang ada di dalamnya bisa terbawa utuh atau tidak, bisa terjaga baik atau tidak, bisa terpelihara dan lestari atau tidak. Eksistensi Karaton Mataram Surakarta juga berjalan mengikuti perubahan zaman, “Nut jaman kelakone”, dengan segala rupa dan kondisinya, sedang terkoyak-koyak oleh berbagai peristiwa dan situasi dalam lima tahun terakhir ini.

Yang paling membuat sedih, ketika Sasana Pustaka yang sebelumnya diandalkan originalitas dan kelengkapan koleksi data kesejarahannya, tiba-tiba “dikubur hidup-hidup” oleh sebuah kekuatan yang “lali purwa-duksina” (lupa asal-usulnya) atau tidak paham “ngelmu sangkan-paraning dumadi” atau tidak “dunung”. Padahal, perpustakaan itu menjadi benteng terakhir di Tanah Air, setelah para peneliti tidak menemukan data yang dicari di Museum Radya Pustaka Taman Sriwedari dan Reksa Pustaka Pura Mangkunegaran.

Kota Literasi Dunia

KOTA LITERASI : Ketua Lokantara Pusat Dr Purwadi ketika berbicara di forum sarasehan memperingati Hari Pahlawan, mendeklarasikan “Surakarta Kota Literasi Dunia” di sela-sela diskusi yang digelar DPD Partai Golkar Surakarta itu, akhir November 2021. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Sebelumnya KRRA Budayaningrat menyebut, kondisi riil masyarakat peradaban khususnya di lingkungan dunia pendidikan hanya mengenal tembang macapat saat ada lomba macapat, itu sungguh menyedihkan. Itu berarti tak banyak kalangan dunia pendidikan, apalagi masyarakat luas yang awam dan asing, kecil kemungkinannya mengenal karya-karya Pujangga Jawa yang notabene Pujangga Surakarta, yang salah satu karyanya tertulis dalam banner yang dipajang di sebuah kantor kampus universitas di Jogja itu (iMNews.id, 26/4).

Melihat peta permasalahannya, karena melalui dunia pendidikan terutama di zaman Orde Baru  diduga telah menjadikan warga peradaban dan warga bangsa ini begitu awam dan asing terhadap karya-karya leluhur dan asal-mulanya. Oleh sebab itu, melalui kalangan dunia pendidikan pula yang paling strategis sebagai solusinya, yaitu harus menjadi lokomotif sekaligus daya dorong untuk menjaga, memelihara dan melestarikan nilai-nilai peninggalan leluhur tempat peradaban ini berasal.

Melihat peran penting dunia pendidikan dalam menjalankan solusi itu, maka eksistensi FIB UNS seharusnya mengambil porsi tanggungjawab lebih besar untuk membawa masyarakat peradaban Jawa khususnya, kembali pada nilai-nilai luhur peninggalan para leluhur dengan menggali dan mengeksplorasi semua yang tersimpan dalam karya-karya para Pujangga Surakarta. Sebagai lembaga perguruan tinggi yang lahir dari tengah-tengah “Kota Literasi Dunia” seharusnya UNS bisa menjadi besar karena kekayaan literasi itu dan bisa mengaktualisasi predikat itu sehingga menjadi cirikhas dan kebanggaan bersama, agar memberi manfaat terhadap publik secara luas, khususnya Keraton Mataram Surakarta sebagai induk basis fundamennya.

Punya 12 Pujangga

PUNYA KEBANGGAAN : Pemerhati budaya Jawa dan kraton KRAT Hendri Rosyad Wrekso Puspito punya banyak kebanggaan saat berada di Pendapa Pagelaran Sasana Sumewa, selain pernah berkuliah di bekas kampus pusat UNS di Fakultas Hukum itu, Karaton Mataram Surakarta tempatnya mengabdi juga kaya tokoh pujangga dan karya-karyanya.  (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

“Kota Literasi Dunia” walau secara terang-terangan baru dideklarasikan Ketua Lokantara Pusat di Jogja Dr Purwadi di forum Sarasehan Hari Pahlawan yang digelar DPD Partai Golkar Surakarta, akhir November 2021 (iMNews.id, 1/12/2021), tetapi sangat meyakinkan dalam kapasitasnya sudah sejak lama. Dalam buku “Sejarah Budaya Kabupaten Klaten” yang sedang disusunnya, Dr Purwadi bisa melukiskan begitu banyak nama leluhur peradaban Jawa/Mataram, banyak nama tokoh Pujangga Surakarta dan karya-karyanya yang telah membentuk dan mewarnai cirikhas kehidupan masyarakat di wilayah Klaten dan warga peradaban lebih luas lagi.

KRRA Budayaningrat bahkan mencatat ada 12 nama tokoh filsof Jawa yang sudah masuk katagori Pujangga Jawa atau Mataram yang mewariskan kepada Surakarta sebagai penerus Karaton Mataram, sehingga Surakarta sangat layak menyandang atau dinobatkan sebagai “Kota Literasi Dunia”. Mereka adalah pendiri Karaton Mataram Islam, yaitu Sultan Agung Prabu Hanyakrakusuma dengan karyanya berjudul “Serat Nitipraja” dan “serat Sastra Gendhing”. Kemudian Pangeran Kadilangu, memiliki karya “Babad Pajajaran”, “Babad Majapahit”, “Babad Pajang” dan “Babad Mataram”.

Carik Braja juga layak disebut pujangga  dengan karyanya berupa tembang berjudul “Damarwulan” dan “Babad Kartasura”. Sedang Tangga Janur, juga memenuhi syarat sebagai pujangga karena karyanya berjudul “Pranacitra” dan “Dewi Rengganis”. Sedangkan pujangga yang juga raja, adalah Sinuhun PB IV yang menulis karya “Serat Wulangreh” dan “Serat Wulang Sunu” serta Sinuhun PB V menulis “Serat Centhini” yang banyak mengambil sari-sari Alqur’an dan menjelaskannya dalam aksara dan bahasa Jawa. (Won Poerwono-bersambung/i1)