Negara Tidak Mampu Menahan Angin Perubahan Kebebasan
IMNEWS.ID – DALAM sebuah percakapan santai antara penulis dengan KRAT Hendri Rosyad Wrekso Puspito beberapa bertemu terutama belakangan ini, pemerhati budaya Jawa dan keraton dari sisi spiritual kebatinan itu seakan hendak mengungkapkan kegelisahannya. Dirinya mengaku gelisah, ketika mendapat undangan/permintaan dari salah seorang adiknya yang tinggal di Jakarta, agar dirinya datang menyaksikan hajad menantu yang akan digelar dalam waktu dekat.
Sebagai seorang saudara tua atau sosok yang dihormati sebagai seorang ”sesepuh”, KRAT Hendri merasa senang dan bangga, karena merasa ”diuwongke” dan diposisikan sebagai sosok yang dihormati. Tak hanya di situ, KRAT Hendri juga menyebutkan, dalam resepsi/upacara pernikahan yang akan digelar di Jakarta dalam waktu dekat, dirinya juga diposisikan sebagai ”sesepuh” yang akan ”disungkemi” oleh pasangan pengantin.
Namun, di antara rasa senang dan bangga, KRAT Hendri merasakan ada sesuatu yang mengganjal di hati, yang membuatnya sulit bisa memahami setelah mendengar penjelasan bahwa resepsi/upacara pernikahan itu tanpa tatacara pernikahan adat manapun, utamanya adat Jawa. Menurutnya, tak banyak yang bisa ditanyakan atau didapat jawabannya. Yang jelas, resepsi itu tanpa upacara pernikahan adat manapun. Titik.
”Informasi yang saya dapatkan, resepsi ini diserahkan kepada wedding organizing (WO). Tetapi yang akan membayar, ya pasangan pengantinnya sendiri. Saya tidak tahu, apakah pasangan pengantin pasrah segalanya kepada WO?. Atau apakah memang pasangan pengantinnya yang menghendaki itu semua seperti yang diinginkan?. Jadi, saya tidak bisa membayangkan resepsi pengantin itu akan seperti apa? Lalau bagaimana dengan saya yang akan disungkemi?,” ujar KRAT Hendri bertanya-tanya kepada iMNews.id, tadi siang.
Kegelisahan KRAT Hendri Rosyad itu memang sangat beralasan diungkapkan kepada iMNews.id, mengingat dirinya sudah dikenal publik sebagai salah seorang pemerhati budaya Jawa yang bersumber dari Keraton Mataram Surakarta. Dia bahkan memberi label ”Syi’ar budaya” terhadap berbagai aktivitas yang selama ini gencar dilakukan Gusti Moeng bersama Lembaga Dewan Adat (LDA) yang dipimpinnya, baik di lingkungan keraton maupun di berbagai daerah yang luas sampai jauh di luar provinsi.
Kegelisahan yang dialami KRAT Hendri, merupakan potret kegelisahan masyarakat luas warga peradaban yang sudah terjadi dalam beberapa dekade, setidaknya ketika angin perubahan dan kebebasan berhembus kencang setelah runtuhnya rezim pemerintahan di tahun 1998, yang dituduh sebagai rezim ”pengekang kebebasan”. Namun, KRAT Hendri memaknai angin perubahan itu sebagai gempuran budaya asing yang nyaris tidak bisa ditanggulangi/dihadapi, karena masuk ke sendi-sendi kehidupan bangsa hingga mampu merubah sikap kepribadian berbangsa.
Banyak pertanyaan sekaligus jawabannya ketika mempersoalkan bagaimana sendi-sendi kehidupan berbangsa dan sikap kepribadian bangsa bisa berubah? Karena, pertanyaan itu bisa ditujukan kepada negara, pemerintah, pers, partai politik dan semua elemen negara dan bangsa ini. Mereka harus bisa menjawab, bagaimana menjaga komitmen tentang kebhinekaan bangsa? Bagaimana aksi nyata dalam menjaga ketahanan budaya bangsa? Bagaimana hal-hal yang fundamental diatur dalam konsitusi sudah dijalankan?
Persoalan yang dihadapi KRAT Hendri adalah bagian kecil dari pertanyaan-pertanyaan itu, tetapi itulah fakta realitas sosial budaya yang ada di dalam masyarakat bangsa, warga peradaban. Persoalan itu, bisa dirunut datangnya dari sisi ketahanan budaya bangsa ini yang rapuh, karena dibiarkan terkikis oleh perubahan sosial budaya yang dibawa oleh teknologi informasi yang nyaris tanpa terkendali.
Sikap praktis dan pragmatis yang menjadi bagian perubahan yang ikut terbawa masuknya teknologi informasi ke Tanah Air, ketika disandingkan dengan sebuah formalitas upacara adat dengan begitu banyak tahap, perlengkapan dan tatacara yang memakan waktu lumayan lama, akan menjadi pilihan yang ”seolah-olah bijak”. Terlebih, jika yang memilih sedang memiliki dukungan kemampuan keuangan cukup/berlebih, sehingga yang mememnuhi prinsip ekonomi dan bisa diukur praktis bahkan pragmatislah yang menjadi pilihannya. (Won Poerwono-i1)