Pakasa Memiliki Multi Peran dalam Pelestarian Adat, Seni dan Budaya di Jepara
IMNEWS.ID – KINI, walau lokasinya terpisah oleh jarak geografis yang jauhnya ratusan kilometer, suasana zaman sudah terpaut sekitar 200 tahun sejak tokoh Ratu Kalinyamat berperan menjadi salah satu leluhur Mataram, rasanya sudah kembali dekat. Bahkan nyaris tanpa jarak, sejak Kabupaten Jepara memiliki kepengurusan Pakasa Cabang dengan ratusan anggota abdidalem, terlebih ketika menyaksikan peristiwa yang terjadi di pendapa kabupaten, Minggu (20/2) itu (iMNews.id, 22/2).
Momentum-momentum kembali tersambungnya tali silaturahmi antara Mataram Surakarta dengan masyarakat di berbagai daerah tempat asal-usul para leluhur leluhur Mataram itu, mirip yang terjadi beberapa daerah yang dicatat iMNews.id. Mulai dari sejumlah daerah yang tersebar di wilayah Provinsi Jatim seperti Kabupaten Malang, Sidoarjo, Nganjuk, Trenggalek dan Kabupaten Ponorogo yang mulai membentuk wadah kekerabatan dan pelestarian adat, seni-budaya berupa Pakasa, satu demisatu.
Begitu pula yang terjadi di beberapa daerah di Jateng seperti Banjarnegara, Kebumen, Grobogan, Blora dan Jepara hingga di wilayah terdekat Surakarta, kini seakan tak ada lagi sekat kedaerahan, tak ada lagi jarak di hati masyarakat adat warga peradaban yang pernah terjalin kuat selama 200 tahun ”nagari” Mataram berdiri (1745-1945). Ikatan emosional, ikatan kultural dan ikatan historikal, jelas menjadi potensi penguatan ciri kebhinekaan, yang sejak NKRI merdeka menjadi ikrar bersama untuk hidup sebagai bangsa yang berketahanan budaya ”majemuk”.
Seperjuangan dalam Melestarikan
”Yang diwisuda tadi latarbelakangnya sangat bervariasi. Ada yang mahasiswa, Pepadi (dalang) dan kuncen (juru kunci). Ada santrinya, kiai dan ulamanya juga ada. Yang lain rata-rata dari kalangan seniman dan penggiat seni budaya. Karena jumlahnya dibatasi sesuai prokes, 200-an kuncen (juru kunci makam/petilasan) yang sudah masuk ke pengurus Pakasa, kami agendakan diwisuda beberapa bulan lagi. Mudah-mudahan, suasananya (Covid 19) juga semakin reda. Jadsi, lebih leluasa penyelenggaraan upacaranya,” jelas KRA Bambang Setiawan Adiningrat, Ketua Pakasa Jepara, menjawab pertanyaan iMNews.id di sela-sela upacara di pendapa kabupaten, siang itu.
Dari penjelasan Ketua Pakasa Jepara itu, tersirat makna bahwa kembali terjalinnya ikatan persaudaraan dan kekerabatan antara masyarakat Kabupaten Jepara dengan Keraton Mataram Surakarta yang diinisiasi Lembaga Dewan Adat (LDA) yang diketuai Gusti Moeng, jelas berada dalam suasana yang sudah sangat jauh berbeda dengan yang terjadi selama 200 tahun (1745-1945), apalagi zaman-zaman sebelum itu. Kini, ikatan persaudaraan dan kekerabatan tidak lagi terbatasi oleh segmentasi sosial atau kelas/golongan masyarakat, melainkan semakin terbuka menjadi sederajat, setara bahkan ”seperjuangan” dalam upaya melestarikan budaya Jawa dan peradaban Mataram.
Karena sifat-sifat keterbukaan seperti itulah, KRA Bambang Setiawan Adiningrat berencana meningkatkan kualitas dan kuantitas Pakasa Jepara dari waktu ke waktu, yang dimulai dengan pembentukan kepengurusan di tingkat anak cabang hingga tuntas di 16 kecamatan se-Kabupaten Jepara. Sedang peningkatan kualitas, antara lain diagendakan menginisiasi berbagai kegiatan edukasi tentang adat-istiadat, sejarah, seni, budaya seperti yang diajarkan di Sanggar Pasinaon Pambiwara di Keraton Mataram Surakarta.
Yang Konvensional Harus Dijaga
”Kalau Pakasa Cabang memiliki kemampuan dalam bidang-bidang itu setingkat empu, bukan tidak mungkin Pakasa akan menjadi rujukan atau tempat bertanya bagi paguyuban-paguyuban seni-budaya yang ada Jepara. Yang jelas, kalau ada keseimbangan kehidupan, pasti harmonis. Pasti kondusif suasananya. Kegiatan spiritual religi sebagai pengamalan Ketuhanan Yang Maha Esa (Pancasila), tiap malam Sabtu Kliwon kami gelar di Pendapa Hadipuran. Sebagai imbangannya, kegiatan seni-budaya juga perlu dilakukan. Karena, seni budaya Jawa itu peninggalan leluhur kita semua, yang harus kita jaga,” tunjuk KRA Bambang.
Merujuk pada posisi Keraton Mataram Surakarta sebagai sumber budaya Jawa, memang sangat tepat ketika Pakasa Jepara membutuhkan bimbingan edukasi teknis pelatihan untuk melahirkan tenaga-tenaga penyuluh yang akan bertugas di daerah masing-masing. Penguasaan pengetahuan dan ketrampilan mirip ”empu” yang masih diperlukan untuk merawat dan melestarikan seni rias penganten, tata busana, tata sarira, kemampuan di bidang pambiwara, seni karawitan, pedalangan, tari dan berbagai bidang seni yang tumbuh di daerah setempat, bisa menjadi cakupan tugas LDA Keraton Mataram Surakarta dengan elemen-elemen yang diperlukan.
Banyak seniman lulusan ISI memang bisa diajak bersinergi untuk transfer knowledge tentang kesenian agar lahir tenaga-tenaga penyuluh yang bisa meningkatkan diri keempuannya secara spesifik di daerah itu. Namun, sinergi dengan keraton melalui jalur Pakasa diharapkan bisa menjadi kendali mutu yang tepat dan strategis, agar ketika seni budaya setempat tumbuh berkembang dan eksis, tetap bisa dikenali dan dijaga (dikonservasi) mana yang benar-benar konvensional tradisional sebagai gaya setempat (Jepara), dan mana yang berkembang menjadi kontemporer, serta sama-sama mendapat ruang hidup yang setara.
Tak Perlu Meniadakan
Sanggar Seni ”Loka Budaya” yang memiliki habitat seni-budaya Pendapa Joglo Hadipuran di Desa Sukodono, Kecamatan Tahunan, Kabupaten Jepara, bisa menjadi dorongan semangat masyarakat kabupaten untuk kembali mengenal nilai-nilai luhur peninggalan para leluhur, kemudian merawatnya dengan mencintai dan menjaganya sebagai ikatan silaturahmi dan kekerabatan masyarakat peradaban secara luas. Terlebih, setiap malam Sabtu Kliwon, tuan rumah yang juga Ketua Pakasa Cabang, menggelar berbagai seni tradisional dan seni religi seperti ”syiir” yang menghadirkan tembang-tembang Islami dengan iringan musik karawitan dan terbangan/samroh.
Sanggar seni Loka Budaya dan ”panggung” seni Pendapa Joglo Hadipuran sudah bukan tempat asing bagi masyarakat Kabupaten Jepara, karena di luar pentas-pentas seni tradisi dan religi (pengajian akbar), juga menggelar diskusi/sarasehan/dialog budaya seperti yang diberi tajuk ”Ngopi” (ngobrol Pintar) yang digelar bersama beberapa pihak lain. Sebagai tokoh Ketua Pakasa, KRA Bambang Setiawan Adiningrat bersama istri KMT Susanti Hadiningrum-pun tak canggung memberi contoh langsung, ketika ”didapuk” menjadi Raden Werkudara dalam pergelaran wayang wong mengambil lakon Bima Suci yang digelar di padepokannya, Pendapa Joglo Hadipuran.
”Pembelajaran dan sosialisasi tentang nilai-nilai budaya dan peradaban memang perlu terus digencarkan. Mudah-mudahan, Loka Budaya dan Pendapa Joglo Hadipuran bisa menjadi ajang dan habitat masyarakat Jepara dan luas lagi, untuk bersama-sama lebih mencintai dan melestarikan budayanya. Melihat semangat kekerabatan dalam rangka pelestarian budaya Jawa, saya kira tidak perlu meniadakan (mengharamkan), kalau arah tujuannya hanya untuk mengangungkan asma Allah SWT,” jelas KRA Bambang. (Won Poerwono-habis)