Bisa Meruntuhkan Kepercayaan Publik Terhadap Kraton Sebagai Pusat dan Sumber Budaya Jawa
IMNEWS.ID – BAHASA publikasi atau komunikasi publik atau “public speaking”, semakin perlu dipahami urgensinya dan sangat perlu dikuasai di zaman yang semakin global dan semuanya terarah pada penggunaan teknologi digital ini. Bangsa-bangsa di belahan dunia manapun, mau atau tidak harus ikut arus perkembangan teknologi dan perubahan sosial seperti ini, tak terkecuali bangsa Indonesia, dan lebih khusus lagi masyarakat adat Dinasti Mataram Surakarta. Karena, bagaimanapun ada platform yang berlaku umum dan harus digunakan, ketika harus berhubungan dengan pihak lain yang berada di luar entitas masyarakat adat.
Salah satu platform yang berlaku umum dan harus digunakan sebagai media “public speaking”, adalah papan publikasi yang bernama baliho, spanduk dan sejenisnya yang biasanya dipasang di tempat-tempat publik yang strategis, misalnya di pojok perempatan. Media “public speaking” seperti itulah yang mau atau tidak, harus digunakan masyarakat adat Mataram Surakarta ketika hendak berkomunikasi dalam bentuk publikasi dengan masyarakat luas atau publik secara umum. Selama 5 tahun sejak 2017, media komunikasi ini sudah dimanfaatkan Kraton Mataram Surakarta, untuk mempublikasikan beberapa kegiatan upacara adatnya.

Sebagai ilustrasi, sebelum 2017 pihak otoritas di Kraton Mataram Surakarta yaitu “Bebadan Kabinet 2004” yang dipimpin GKR Wandansari Koes Moertiyah selaku Pengageng sasana Wilapa/Pangarsa Lembaga Dewan Adat sudah sering memanfaatkan sarana publikasi yang dikategorikan “outdoor” itu untuk berkomunikasi dengan publik. Berbagai kegiatan di kraton terutama upacara adat yang dikomunikasi melali platform media tersebut, meskipun ukuran dan formatnya lebih kecil dan sederhana. Namun pada intinya, keasadaran untuk memanfaatkan teknologi komunikasi itu sudah dilakukan dan terjaga benar kredibilitas esensi materi pesan yang disampaikan.
Perkembangan penggunaan platform media publikasi itu mulai meningkat sejak 2017, saat kraton ditutup dan hanya dijalankan oleh sekelompok orang di sekitar Sinuhun PB XIII. Ketika ada upacara adat yang hendak dijalankan, media publikasi dalam bentuk baliho dan spanduk banyak dipasang di sejumlah titik lokasi, yang rata-rata dalam ukuran yang lebih besar dari yang dipasang sebelum 2017. Menjelang dan sejak 2017, hubungan sekelompok orang di sekitar Sinuhun PB XIII dengan pemerintah terutama Pemkot Surakarta, semakin intensif, sehingga setiap kegiatannya didukung APBD, termasuk di dalamnya kebutuhan publikasi.

Tetapi sayang, dukungan pemerintah baik atas relasi pribadi pejabat dengan orang-orang di sekitar Sinuhun PB XIII maupun secara kelembagaan terhadap hampir setiap kegiatan di kraton yang digelar sejak 2017, tak disadari banyak kecacatannya yang menyangkut berbagai hal. Selain legal standing kelompok yang diduga tidak punya badan hukum untuk pengaliran dana APBD yang seharusnya butuh kejelasan kedududukan dan pertanggungjawaban secara hukum, bahasa publikasi yang digunakan juga sering mengalami kesalahan fatal, sehingga bisa mengundang salah persepsi publik tentang kredibilitas lembaga kraton.
Kraton Mataram Surakarta yang selama ini diyakini publik peradaban Jawa sebagai pusat rujukan dan sumber budaya Jawa, bisa runtuh gara-gara kecerobohan atau “kesengajaan” yang diduga bisa terjadi dalam kasus salah fatal bahasa publikasi yang digunakan dalam media komunikasi yang dipasa di beberapa titik ruang publik. Kesalahan itu bukan hanya soal karena “gagal paham” soal logika bahasa “Mangayubagya” atau “Mahargya”, tetapi juga pencantuman waktu yang keliru fatal. Maulud atau kelahiran Nabi Muhammad yang seharusnya dipakai kalender baku, 12 Mulud (Jawa) tahun Jimawal 1957, tetapi ditulis 11 Mulud.

“Kita selama ini memilih lebih baik diam. Karena, selain menyangkut nama baik lembaga Kraton Mataram Surakarta, kesalahan yang terjadi bisa dikatakan juga melibatkan unsur pemerintah. Sekarang, walau kita semua sudah kembali bekerja di dalam (kraton), tetap saja bisa mengimbas ke sana. Tetapi, risiko harus diambil. Karena kesalahan fatal seperti itu tidak bisa dibiarkan. Ini menyangkut kredibilitas publik terhadap kraton sebagai pusatnya peradaban Jawa dan sumber budaya Jawa. Mosok, kita yang punya karena meneruskan kalender Sultan Agung, malah membuat kesalahan menulis?,” keluh KP Budayaningrat.
Selaku salah seorang “dwija” (guru) di Sanggar Pasinaon Pambiwara Kraton Mataram Surakarta, KP Budayaningrat yang dimintai konfirmasi iMNews.id kemarin, juga seorang Ketua MGMP Bahasa Jawa SMS se-Jateng dan pengurus Paguyuban Pambiwara Indonesia. Dia sangat menyayangkan kesalahan dalam bahasa komunikasi publik yang selama ini dilakukan kraton, khususnya sejak 2017, karena kesalahan terjadi sebagai produk kelompok orang-orang di sekitar Sinuhun PB XIII yang sangat jauh dari jangkauan tokoh-tokoh cerdik-pandai di bidang budaya dan sebagainya yang memilih bergabung dengan Gusti Moeng di Sanggar Pasinaon Pambiwara dan sebagainya.

Kesalahan yang sudah dianggap keterlaluan itu, sempat ditegur Gusti Moeng saat baliho publikasi sudah berdiri di titik lokasi, yaitu pojok perempatan Gladag, ujung timur halaman Kamandungan dan depan kompleks Pendapa Sitinggil Kidul. Dalam baliho berukuran sekitar 3×5 meter itu selain gambar Sinuhun PB XIII, ada tulisan “Mangayubagya” dan pencantuman tanggal prosesi hajad-dalem Gunungan Garebeg Mulud pada “11 Mulud tahun Jimawal 1957, 27 September 2023”. Tiga baliho yang berisikan pesan yang yang salah itu, sudah terpasang beberapa hari dan sejak Kamis malam (7/9) serentak diganti baru dengan isi pesan baru dan sesuai kaidah yang benar.
“Kami sudah lama tahu itu, tetapi ‘kan baru mulai Januari 2023 lalu ‘Bebadan Kabinet 2004’ yang dipimpin Gusti Wandan bekerja kembali di dalam kraton. Kami tidak berani menegur, karena kami tidak punya kapasitas seperti itu. Kami hanya memberi masukan kepada Pengageng Sasana Wilapa, biar Gusti Wandan yang menegur. Bahasa publikasi seperti itu, jelas sangat tidak memahami logika bahasa komunikasi. La wong yang punya hajad kok malah hanya ‘Mangayubagya’ atau ‘mahargya’. Ini kesalahan besar dan fatal. Karena kraton dianggap sebagai pusat dan sumbernya budaya Jawa, termasuk bahasa Jawa,” tandas KP Budayaningrat. (Won Poerwono-i1).