Setiap Datang Bulan Februari, Selalu Heboh Soal Perjanjian Giyanti
SUKOHARJO, iMNews.id – Perjanjian Giyanti yang terjadi antara Pangeran Mangkubumi dengan pihak VOC di Desa Jantiharjo, (kini masuk) Kecamatan Matesih, Karanganyar pada tanggal 13 Februari tahun 1755, seperti sudah menjadi menu informasi ”rutin tahunan” yang menghebohkan publik dan ”dimunculkan” di jagat maya tiap datang bulan Februari dalam beberapa tahun terakhir. Tadi siang, Lembaga Dewan Adat (LDA) melakukan kegiatan investigasi sejarah pertemuan Pangeran Mangkubumi (Sultan HB I) dengan Sinuhun Paku Buwono (PB) III di Dukuh (Dusun) Jatisari, Desa Sapen, Kecamatan Mojolaban, Kabupaten Sukoharjo, untuk mengumpulkan bukti-bukti baru bahwa Perjanjian Giyanti itu tidak pernah melibatkan Sinuhun PB III.
”Dalam beberapa tahun terakhir, rasanya seperti sudah menjadi menu informasi tahunan. Kalau datang bulan Februari, mesti heboh soal Perjanjian Giyanti di media sosial. Terutama sejak DIY ditetapkan dengan UU keistimewaannya di tahun 2012. Karena punya dana yang besar, hampir tiap tahun membiayai kegiatan untuk mengungkit Perjanjian Giyanti,” jelas Gusti Moeng menjawab pertanyaan sejumlah wartawan di halaman Balai Desa Sapen, Kecamatan Mojolaban, Kabupaten Sukoharjo, tadi siang sambil menyinggung kegiatan webminar di UNS Solo yang menghadirkan GKR Mangkubumi bertema soal Perjanjian Giyanti, Sabtu (12/2).
Karena forum (webminar) yang menghadirkan ”putri mahkota” Keraton Jogja dalam diskusi dan tanya-jawabnya terkesan selalu memojokkan Keraton Mataram Surakarta, lanjut Gusti Moeng selaku Ketua Lembaga Dewan Adat (LDA) sekaligus Pengageng Sasana Wilapa, maka pihaknya tidak bisa tinggal diam. Bersama rombongan sentanadalem dan kerabat dekat dari Keraton Mataram Surakarta seperti GKR Timoer Rumbai Kusumadewayani, tadi siang dilakukan kegiatan bernuansa ”napak tilas” yang disebut investigasi sejarah peristiwa pertemuan Jatisari.
”Karena, dalam Babad Giyanti yang ditulis Pujangga Jasadipura dan naskahnya tersimpan di Museum Radya Pustaka Surakarta, disebut ada pertemuan antara Pangeran Mangkubumi dan Sinuhun PB III setelah Perjanjian Giyanti. Lokasinya disebut di Dusun Jatisari. Padahal, lokasi antara Dusun Jatisari dan Desa Jantiharjo (tempat Perjanjian Giyanti), lumayan jauh. Waktunya juga tidak sama. Yang jelas, perjanjian di Jantiharjo, Sinuhun PB III tidak ada. Karena, itu perjanjiannya antara Pangeran Mangkubumi dengan Nikolas Hartings (utusan VOC),” tegas pemerhati sejarah RM Restu Setiawan bergantian dengan Gusti Moeng, saat sama-sama menjadi pembicara dalam sarasehan di Balai Desa Sapen, tadi siang.
Jadi Landasan Pot
Forum sarasehan yang juga menghadirkan Kusno S Utomo dari lembaga Pusat Studi Daerah Istimewa (Pusadi) Jogja berlangsung sekitar 90 menit dari pukul 10.30 WIB, lalu bersama-sama menuju lokasi sekitar 300 meter di selatan kantor Desa Sapen, Kecamatan Mojolaban. Karena, Supardi selaku Bayan Dukuh Jatisari menunjuk ada semacam batu berjumlah 4 buah yang diidentifikasi semacam prasasti, berada di dekat rumahnya yang disebutkan sebagai sisa pemindahan sebuah masjid.
Setelah dilakukan tanya-jawab dengan warga yang rumahnya berhias batu segi empat itu, baik RM Restu Setiawan, Gusti Moeng, KPH Edy Wirabhumi dan Bajank Sukarmo selaku Kepala Desa Sapen serta rombongan menyepakati akan melibatkan pihak BP3 Jateng untuk meneliti lebih lanjut kemungkinan empat batu itu adalah Benda Cagar Budaya (BCB). Tetapi untuk sementara, berdasarkan bukti fisik empat batu itu disebut ”ompak” bekas landasan masjid yang disebutkan dipindah ke Desa Jatisobo, Kecamatan Polokarto, Sukoharjo, yang jaraknya sekitar 3 KM dari Dusun Jatisari.
”Kalau di sini ada benda-benda semacam itu, sangat dimungkinkan merupakan jejak sejarah masa lalu. Apalagi ada ‘punden’ mbah Nyai yang tidak jauh dari empat batu tadi, masih dirawat warga. Dan melihat jarak antara Keraton Mataram Surakarta dengan Desa Jantiharjo (Perjanjian Giyanti) serta nama Dukuh Jatisari, sangat menguatkan dugaan kita sebagai tempat pertemuan Pangeran Mangkubumi dengan Sinuhun PB III setelah Perjanjian Giyanti. Nanti kita telusuri lagi,” jelas Gusti Moeng menjawab pertanyaan para wartawan di depan sejumlah pihak, di halaman belakang seorang warga di Dukuh Jatisari, tempat punden berada.
Investigasi sejarah peristiwa pertemuan Jatisari harus berakhir siang itu, karena perlu waktu dan kehadiran para ahli purbakala dari BP3 Jateng untuk menggali informasi dan berbagai petunjuk sejarah lainnya. Tetapi karena Bayan Supardi menyebut ada masjid yang pernah dipindah ke Desa Jatisobo, maka rombongan bergegas menuju lokasi dan mendapati Masjid Agung Jatisobo masih berdiri kokoh, yang sebagian struktur bangunannya masih kuat dan secara arsitektural mirip bangunan Masjid Agung Keraton Mataram SWurakarta. (won-i1)