Dua Kesatuan Prajurit Sudah “Berkolaborasi”, Menjadi 100-an Orang
IMNEWS.ID – UPACARA adat hajad-dalem Garebeg Sawal “perdana” yang juga bisa disebut “Garebeg Sawal Perdamaian” (iMNews.id, 23/4), menjadi peristiwa ketiga dari ritual katagori besar dan penting yaitu tingalan jumenengan (iMNews.id, 16/2) pada 16 Februari dan hajad-dalem Malem Selikuran (iMNews.id, 11/4). Tiga ritual itu digelar di Kraton Mataram Surakarta, pasca-“perdamaian” sudah dicapai antara Sinuhun PB XIII dengan sang adik kandung, GKR Wandansari Koes Moertiyah atau Gusti Moeng (iMNews.id, 3/1/2023).
Meskipun ritual gladen tari Bedaya Ketawang dan ngesis wayang sudah dua kali digelar tiap datang hari weton pasaran Selasa Kliwon atau Anggara Kasih sejak peristiwa 17 Desember 2022, tetapi ritual tingalan jumenengan, Malem Selikuran dan Garebeg Sawal menjadi tiga ritual besar yang bisa dibaca publik karena ada prosesi keluar kraton menuju Masjid Agung. Sementara, ritual gladen Bedaya Ketawang, ngesis wayang dan ritual “Wuku Dhukut” atau “Dhukutan”, belum banyak disaksikan publik karena sifatnya masih “setengah tertutup”.
Semua ritual kategori besar dan penting yang sudah terlaksana sejak tingalan jumenengan, bahkan sejak gladen tari Bedaya Ketawang karena berkait dengan upacara ulang tahta itu, bisa menjadi objek untuk melihat terjadinya proses perubahan dan penyesuaian akibat adanya peristiwa “perdamaian”. Tetapi sekali lagi, terjadinya proses perubahan dan penyesuaian itu hanya bisa dilihat oleh kalangan internal yang memang ingin mencermati itu, karena prosesnya terjadi di balik peristiwa yang tampak dan tidak semua kalangan internal memahami yang sedang terjadi.
Sebagai contoh, pemandangan barisan kirab sembilan Bregada Prajurit kraton yang saat berlangsung ritual hajad-dalam Garebeg Sawal terlihat lengkap sekali. Mungkin hanya kesan warna-warni kostum, unik, indah dan menarik terkait aktivitas dan keperluannya yang secara visual bisa ditangkap publik secara luas. Karena, prosesi kirab dalam ritual ini, berangkat dari ruang kawasan kedhaton yang terbatas, lalu keluar di ruang publik mulai di halaman Kamandungan, berjalan berarak-arak menuju Masjid Agung, begitu juga sekembalinya masuk kraton.
Kesan-kesan atraktif, banyak pesona, ada unsur eksotisme dan simbol-simbol adat tradisi yang penuh nilai estetika menjadi suguhan yang mudah ditangkap secara visual oleh publik secara luas, baik yang menyaksikan langsung “on the spot”, maupun melalui berbagai media informasi publikasi yang menyiarkannya. Tetapi, publik tidak akan bisa memahami bahwa barisan sembilan Bregada Prajurit yang berkirab itu adalah gabungan atau “kolaborasi” dari dua kesatuan prajurit yang sebelumnya menjadi elemen kraton di bawah Gusti Moeng dan elemen kraton yang ditangani organ Sinuhun.
Di balik warna-warni kostum yang dikenakan para prajurit itu, sebenarnya sedang terjadi proses perubahan dan penyesuaian akibat adanya peristiwa “perdamaian”. KRAT Alex Pradnjono Reksoyudo selaku Manggala atau Komandan prajurit yang dimintai konfirmasi iMNews.id menyebutkan, ada 80-an prajurit “pengikut setia” Gusti Moeng sampai 17 Desember 2022 itu, tetapi hanya bisa datang 56 orang yang mendukung prosesi kirab Garebeg Sawal, karena sisanya masih berlebaran dengan keluarga masing-masing.
Sedangkan dari kesatuan yang selama ini digunakan Sinuhun, ada 60-an orang yang ikut bergabung dalam apel dan prosesi kirab ritual Garebeg Sawal, Minggu pagi (iMNews.id, 23/4/2023). Kedua kesatuan itu digabung atau dikolaborasikan, di bawah Manggala KRAT Alex dan bimbingan KRMH Joyo Adilogo selaku penanggungjawab prajurit, di bawah Kantor Pengageng Mandra Budaya (Bebadan Kabinet 2004). Dua “kekuatan” prajurit yang salah satunya lahir akibat insiden “mirip operasi militer” 2017 itu, mulai peristiwa “perdamaian” mulai melakukan rekonsiliasi dan “peleburan”, tetapi gagal.
Gagal pada kesempatan pertama “peleburan” di ritual tingalan jumenengan, 16 Februari, dua “kekuatan” berjalan sendiri-sendiri, termasuk saat pelaksanaan ritual Malem Selikuran. Yang langsung di bawah Pengageng Sasana Wilapa mengikuti ritual Malem Selikuran keliling Baluwarti dan berakhir di Masjid Agung (iMNews, 11/4), sedang satu “kekuatan” prajurit yang di bawah kendali di luar “Bebadan Kabinet 2004”, melakukan kirab yang dibiayai APBD Kota melalui Dinas Pariwisata melakukan kirab ke Taman Sriwedari.
Proses perubahan akibat “perdamaian” yang menuntut penyesuaian dan “peleburan” prajurit baru tampak saat berlangsung pada ritual prosesi kirab hajad-dalem Garebeg Sawal, Minggu (23/4). Pemandangan yang tampak biasa dan tidak ada sesuatu yang tidak lazim tampak di situ, padahal sebenarnya telah ada peristiwa “penggabungan” atau “peleburan”. Lebih dari 100-an prajurit dari “dua kekuatan” atau “dua kesatuan” itu, menjalankan tugas mengarak sepasang Gunungan Garebeg Sawal, di bawah aba-aba KRAT Alex Pradnjono Reksoyudo dan arahan KRMH Joyo Adilogo.
Bila mencermati satu hal itu di balik yang tampak secara visual, bisa diartikan bahwa proses “rekonsiliasi” sedang berjalan ke samping di lingkungan prajurit sebagai bagian perubahan jajaran Bebadan secara vertikal ke bawah. Proses perubahan juga terjadi pada barisan pengisi prosesi kirab, yaitu dengan munculnya kembali Bregada Prajurit Panyutra yang telah lima tahun lebih tidak ikut menghiasi ritual hajad-dalem Garebeg Mulud, Garebeg Sawal dan Garebeg Besar sejak 2017.
Selama lima tahun, Bregada Prajurit Panyutra absen di beberapa “Garebeg”, karena ada SDM dari dua komponen penting yaitu peraga prajurit dan penabuh gamelan Cara Balen, yang tetap setia mengikuti Gusti Moeng. Mereka tidak ikut tampak dalam prosesi kirab, termasuk karena antara 2021-2022 ada ritual yang terpaksa ditiadakan sama sekali. Karena dinilai rentan terjadi kerumunan massa yang bisa memperluas sebaran virus Corona, mengingat tiga jenis “Garebeg” dan kirab pusaka, paling banyak menyedot jumlah manusia, baik sebagai peserta maupun penonton.
Antara Bregada Prajurit Panyutra dengan komponen gamelan Cara Balen, keduanya merupakan satu-kesatuan yang tidak bisa berjalan sendiri-sendiri di dalam setiap jenis ritual yang memerlukan itu, maupun sama sekali di luar ritual. Kedua komponen itu menjadi satu-kesatuan penting yang menghiasi jenis ritual “Garebeg”, bahkan bisa menghidupkan suasana berlangsungnya ritual kirab. Karena bunyi gamelan Cara Balen yang ditabuh secara “live” sambil berjalan, menjadi pemandu langkah Bregada Prajurit Panyutra, bahkan menjadi pedoman langkah peserta kirab lainnya.
“Pernah beberapa kali, prosesi kirab Garebeg, tidak menyertakan Prajurit Panyutra dan gamelan Cara Balen. Rasanya yang ‘anyep’, seperti tak ada yang menyemangati. Tidak setiap abdi-dalem karawitan, bisa menabuh gamelan Cara Balen. Padahal, hampir semua abdi-dalem karawitan ndherek Gusti Moeng (2017-2022). Yang jadi prajurit Panyutra-pun, juga perlu latihan khusus. Karena, selain langkahnya mengikuti suara gamelan, tangannya juga harus melakukan gerak tari yang serempak dan beraturan,” jelas KRMH Suryo Kusumo Wibowo, petugas “Korlap” berbagai kirab ritual di kraton.
Suara gamelan Cara Balen atau “Cara Bali-an” yang punya kemiripan dengan gamelan di Bali, punya ciri khusus dari susunan nada-nadanya yang terkesan tidak beraturan mirip gamelan Sekaten (Kiai Guntur Sari dan Kiai Guntur Madu), yang ketika ditabuh memberi kesan suara aneh tetapi lama-lama “enak didengar” karena punya harmoni. Dan ketika dipadu dengan suara drum band Korsik Bregada Prajurit Tamtama dan gamelan (Pakurmatan) “Kodok Ngorek”, komposisi seluruh iringan prosesi ritual jenis “Garebeg” itu, secara auditif punya sensasi berbeda dan unik. (Won Poerwono-bersambung/i1)