Tampil Perkasa untuk ‘’Ibu Pertiwi’’ Mataram Surakarta
IMNEWS.ID – DALAM skala kewilayahan sejak NKRI lahir 1945, ‘’ibu pertiwi’’ bagi masyarakat Kabupaten Trenggalek (Jatim) dalam konteks budaya dan peradaban, adalah Mataram Surakarta yang selama 200 tahun (1745-1945) pernah mewarnai dan memberi cirikhas kehidupan sosialnya. Dalam konteks itulah, kabupaten di ujung barat Provinsi Jatim itu, tetap disebut sebagai wilayah ‘’Mataraman’’ dan tetap menganggap Mataram Surakarta sebagai ‘’ibu pertiwi’’, meski secara nasional kebangsaan yang dimaksud ‘’ibu pertiwi’’ adalah bumi Nusantara atau NKRI.
Tetapi itulah kurang-lebih gambaran situasi batin rata-rata masyarakat Kabupaten Trenggalek, apalagi sejak ikatan kultural dan historialnya kembali tersambung dengan Keraton Mataram Nusantara, melalui terbentuknya pengurus Pakasa Cabang Tranggalek, beberapa tahun lalu. Ikatan-ikatan yang agak formal ini hanyalah sekadar menegaskan suasana batin masyarakat setempat, yang selalu tersadarkan setiap ada momentum Pilkada, karena bersama sejumlah daerah tetangganya, selalu disebut-sebut para politisi dengan wilayah ‘’Mataraman’’.
Suara nurani dan suasana kebatinan seperti itu, memang tidak bisa dihilangkan atau ditutup-tutupi sampai kapanpun, karena wilayah Kabupaten Trenggalek yang dimekarkan menjadi kabupaten terpisah dari Kabupaten Ponorogo sejak zaman ‘’nagari’’ Mataram Kartasura itu, faktanya adalah bekas wilayah sebaran secara kultural dari sumbernya yaitu Mataram Surakarta sebagai penerus Mataram Kartasura sejak 1745. Sebab itu, ketika Pakasa Cabang Trenggalek hingga kini ‘’belum dilirik’’ pamong wilayahnya yang sedang ‘’kesengsem’’ oleh ‘’keelokan’’ Kasultanan Yogyakarta, sepertinya tidak perlu dijadikan masalah.
‘’Nggih, mboten napa-napa mas. Pakasa Trenggalek dereng angsal dukungan saking pemerintah (Pemkab), nggih mboten napa-napa. Mangke, dangu-dangu lak nggih sadar piyambak lan dunung,’’ ungkap KRAT Hasta Surantara Mangun Dayanagoro selaku Ketua Pakasa Cabang Trenggalek, menjawab pertanyaan iMNews.id sebelum sampai di Solo mengikuti ‘’Pekan Seni dan Ekraf 90 Tahun Pakasa’’.
Diakui atau tidak, Kabupaten Trenggalek memiliki keragaman seni budaya yang berbeda dengan daerah yang pernah menjadi induknya, yaitu Kabupaten Ponorogo yang memiliki kekuatan seni budaya bernama reog hingga menjadi ikon daerah, bahkan ikon nasional. Yang bhineka milik masyarakat Trenggalek, merupakan hasil pertemuan budaya dari beberapa peradaban, sejak Majapahit (abad 14) hingga Mataram (abad 16-17), dan inilah yang seharusnya mendapat perhatian kalangan pamong wilayah setempat untuk dijadikan ikon dan unggulan wilayahnya.
Tetapi faktanya kini, Pakasa Cabang Trenggalek bisa bergotong-royong untuk mewujudkan rasa pengabdian dan hormatnya sesuai adagium ‘’Mikul Dhuwur, Mndhem Jero’’ itu. Dengan kekuatan sekitar 50 orang, mereka datang ke Solo untuk menyemarakkan ‘’Pekan Seni dan Ekraf 90 Tahun Pakasa’’ yang digelar Pengurus Pakasa Pusat selama sepekan di kagungandalem Pendapa Pagelaran Sasanasumewa.
Di antara barisan devile kontingen Pakasa pada kirab budaya yang digelar saat penutupan, Minggu (54/12), Pakasa Trenggalek memang termasuk mencolok, terutama dari kostum yang dikenakan para seniman penari ‘’Jaran Pegon Sumbergedong’’. Tim kesenian yang dikoordinatori KRAT Seviola Ananda Reksobudoyo, sajian ‘’Jaran Pegon Sumbergedong’’ yang melibatkan sekitar 25 penari, memang menarik perhatian publik warga kota dan peserta yang sedikit demi sedikit memenuhi halaman Pendapa Pagelaran dan sekitarnya.
Yang menarik dari sajian yang didukung Paguyuban Kesenian Jaranan Nogo Daruno dan beberapa mahasiswa ISI Solo itu, adalah konsep drama tari yang menggabungkan antara unsur-unsur adegan dan tokoh wayang wong (orang) dengan atraksi seni jaran kepang atau jaranan. Kecerdasan masyarakat Trenggalek melukiskan prajurit ksatria wayang wong (Keraton Mataram Surakarta) sedang berlatih menunggang kuda (jaran kepang), menjadi hal yang bhineka dalam zona kekuatan seni tradisional yang berkembang secara spesifik di daerahnya (Trenggalek).
Yang lebih menarik, setelah pementasan yang digelar di halaman Pendapa Pagelaran sore hari sebelumnya, ketika sehabis kirab kembali beratraksi sambil berjalan di sepanjang rute kirab, dari Pendapa Pagelaran menuju depan Balai Kota Surakarta dan kembali ke halaman pendapa untuk beraksi. Di situ, secara bergantian tiap kontingen Pakasa dari daerah berbeda, bergantian beratraksi menampilkan kebolehan dan kebhinekaannya dalam berkesenian.
Sajian ‘’Jaran Ting’ dari Pakasa Cabang Kediri yang lebih dulu sehari tampil di halaman Pendapa Pagelaran, sudah termasuk heboh karena atraksi ‘’kesurupan’’ atau entrance yang dialami para penarinya yang sedang menunggang kuda ‘’kepang’’ berukuran besar. Sajian ini jelas beda lagi bila disandingkan dengan Jaran Pegon (Trenggalek), meski sama-sama seprovinsi (Jatim) dan sama-sama memperagakan menunggang kuda.
Yang menyedot perhatian dari atraksi demi atraksi seni jaranan itu, adalah bagaimana cara seorang pemimpin mengatasi situasi, seperti ketika ada pemain Jaran Pegon ‘’kesurupan’’ sampai begitu lahap makan ‘’kembang telon’’ dan akhirnya pingsan. Di sinilah sosok seperti KRAT Hasta Surantara Mangun Dayanagoro memperlihatkan ketokohan dan kepemimpinanya, dalam sekejab mampu mengatasi situasi ‘’heboh’’ seperti itu.
‘’Nggih mas, panci kedah wonten ingkang njageni. Menapa malih, para leluhur ing keraton (Mataram Surakarta), langkung inggil ilmunipun. Namung sedaya kula suwunaken dateng ingkang Murbeng Gesang (Tuhan YME). Ingkang ndadosaken saget mlampah lancar lan mboten wonten alangan setunggal menapa,’’ ujar KRAT Hasta yang waktu itu harus ikut berbasah-basah diguyur hujan untuk menyadarkan para penarinya yang kesurupan. (Won Poerwono)