Wiradat Itu (Bisa) Berupa Daerah Istimewa Surakarta
IMNEWS.ID – MELIHAT pengalaman dalam waktu yang panjang bahkan sebelum peristiwa suksesi tahun 2004 tiba, rupanya memang sudah menjadi tanda-tanda yang jelas bagaimana nasib Keraton Mataram Surakarta kelak kemudian hari, ketika masih ditambah ”pageblug mayangkara” pandemi Corona. Dan selama periode perjalanan 2004-2010 kemudian 2010-2017, atau bahkan 2017 hingga kini, situasi dan kondisinya tentu lebih ”ngeri” lagi. Tetapi anehnya, nyaris tidak ada inisiatif dan kepedulian dari kalangan inti internal masyarakat adat yang ditinggal Sinuhun PB XII.
Barisan putradalem yang jumlahnya belasan itu, termasuk KGPH Hangabehi sendiri yang kemudian menggantikan tahta sang ayah, seperti ”terlena” oleh dilema kehidupan yang masing-masing dialami. Karena sejak kecil dan tumbuh dewasa sudah terbiasa berada dalam lingkungan kerajaan yang sebelumnya serba kecukupan, tetapi ketika Sinuhun PB XII menggabungkan wilayahnya ke NKRI, hampir semua anak-anaknya terkesan tidak siap menghadapi perubahan zaman ke alam republik.
Di situ tampak sekali, Sinuhun PB XII juga tidak sempat ”membekali” anak-anaknya dengan apapun yang bisa digunakan untuk berjuang dan bertahan hidup di alam sudah ditentukan oleh sebuah rezim pemerintahan sebagai pengelola NKRI. Dalam posisi seperti itu, banyak di antara putra/putridalem ”terpaksa” berjuang seperti warga negara kebanyakan, untuk sekadar bertahan hidup, karena Keraton Mataram Surakarta sudah tidak bisa menghasilkan yang bernilai ekonomi, sehingga nyaris tidak ada sumber finansial untuk menggaji mereka.
Dalam perjalanan usia yang semakin bertambah dan masing-masing memiliki tuntutan kebutuhan di lingkungan keluarganya, tentu menghadapkan kalangan putra/putridalem pada pilihan untuk mencari sesuatu di luar keraton, untuk sekadar ”survive” kehidupan rumah-tangganya. Sedangkan keraton yang seharusnya menjadi habitat paling cocok untuk mereka, terpaksa harus ditinggalkan sedikit demi sedikit atau total seketika, karena memang sudah tidak bisa diharapkan untuk menghidupi diri dan keluarga kecilnya.
Ketika sampai pada dua pilihan itu, realitasnya rata-rata banyak yang memilih ”berjuang” untuk bertahan di luar keraton dengan berbagai alasan. Di antaranya karena ”malu” dengan gelar yang disandang dan karena tidak memiliki skill dan kecakapan lain yang bisa diserap lapangan kerja di luar keraton. Memang masih ada yang tetap setia bertahan di habitatnya seperti GPH Nur Cahyaningrat, tetapi sebagai pegawai museum keraton sampai tutup usia (2020), kehidupan bersama keluarganya memperihatinkan.
Tak Pernah Tampak Jadi Teladan
Di antara 35 putra/putridalem setelah lulus SMA, banyak yang menempuh belajar di perguruan tinggi. Tetapi, memang sangat sedikit yang kemudian sukses secara ekonomi karena berjuang di luar keraton, ikut bersaing dengan warganegara biasa. Mungkin hanya beberapa gelintir seperti KGPH Tedjowulan yang berdinas di TNI AD hingga pangkat kolonel sampai tahun 2004, salah seorang adik kandungnya yang berdinas di Kemensos di zaman Orde Baru, dan beberapa lagi yang mencoba keberuntungan berwiraswasta seperti KGPH Dipokusumo dan Gusti Moeng bersama sang suami.
Apabila hanya beberapa gelintir dari 35 putra/putridalem yang berani mencoba keberuntungan di luar keraton dan sukses, sisa dari generasi kedua Sinuhun PB XII masih cukup banyak. Dan dikurangi yang sudah meninggal, masih ada belasan anak lelaki termasuk yang tertua dan kini menjadi Sinuhun, yang seharusnya masih bisa berperan banyak mencari wiradat bagi Keraton Mataram Surakarta dan kelangsungannya.
Tetapi, karena berbagai faktor yang menyangkut kapasitas diri rata-rata putra/putridalem, termasuk belasan lelaki yang kini tampak masih ”perkasa” di usianya yang rata-rata 60-an tahun itu, hal-hal kecil tetapi ideal yang bisa diharapkan datang dari mereka sungguh sangat sulit bisa terwujud. Jangan berharap ada inisiatif dan kepedulian untuk berwiradat demi eksistensi dan kelangsungan Keraton Mataram Surakarta, tampil menjadi teladan para abdidalemnya dengan berkotor-kotor ikut menyapu halaman dan mengepel lantai saja mungkin tidak pernah.
Zaman dan peradaban yang berubah, memang harus diadaptasi dengan perubahan perilaku dan pola pikir yang realistis. Kalau keraton sudah tidak menghasilkan secara ekonomis akibat berbagai sebab sehingga sulit ”membiayai” simbol kebangsawanannya, itu juga karena realitasnya demikian. Tetapi, sikap inkonstitusional pemerintah yang ingkar tanggungjawab dan kewajiban (pasal 18 UUD 45 dan Perpres No 19/1967) di antaranya, itu memang penyebab utamanya. Dan ini berarti, kembali kepada keputusan pribadi-pribadi tokoh inti internal masyarakat adat itu sendiri, maunya apa dan bagaimana?.
Termasuk belasan putradalem yang menyandang gelar Kanjeng Gusti Pangeran Haryo (KGPH), apalagi menyandang gelar Sinuhun Paku Buwono (PB) XIII itu. Masyarakat adat Keraton Mataram Surakarta secara kelembagaan tidak akan tampak bergerak, apabila tokoh-tokoh inti yang menyandang gelar KGPH dan putra/putridalem yang ada di dalam, tidak memulai mengambil inisiatif bergerak melakukan wiradat. Karena, masyarakat adat dan warga peradaban secara luas hanya bisa menunggu ajakan, mengingat mereka tidak memiliki hak secara adat.
Kembalinya DIS Jadi Legacy
Salah satu wiradat yang memiliki nilai manfaat berlipat-lipat dan bisa dirasakan warga peradaban secara luas, adalah upaya mewujudkan kembalinya Provinsi Daerah Istimewa Surakarta (DIS). Wiradat itu sudah dilakukan berkali-kali dalam berbagai bentuk oleh Gusti Moeng dan tim operasionalnya yang dimotori Lembaga Hukum Keraton Surakarta, tetapi kandas di meja sidang Mahkamah Konstitusi ketika uji materi atau judicial review UU No 10/1950, untuk memisahkan Surakarta dari Provinsi Jateng di tahun 2012.
Wiradat ini, bukan sesuatu yang mengada-ada atau keinginan yang muluk-muluk (irasional), karena sebelumnya sudah ada wujudnya, bahkan dasar hukumnya tetap melekat selamanya dalam UUD 45 yang tertuang dalam pasal 18. Hal yang melekat dan sangat wajar diperjuangkan sebagai wiradat untuk Keraton Mataram Surakarta dan warga peradaban secara luas, karena status Provinsi DIS didapat sebagai penghargaan NKRI terhadap (pengorbanan) eks ”nagari” (Mataram Surakarta).
Penghargaan itu tertuang dalam Piagam Kedudukan yang diterbitkan Presiden Soekarno tanggal 19 Agustus, yang kemudian dijawab dengan pernyataan Maklumat Sinuhun PB XII (juga Sri Paduka Mangkunagoro VIII) bertanggal 1 September 1945. Kalaulah kini belasan putradalem itu merasa belum ikut melakukan wiradat dan belum memiliki ”legacy” untuk generasi anak-cucu warga peradaban secara luas, kelihatannya kesempatan berjuang untuk mewujudkan kembalinya status Provinsi DIS sekarang ini, merupakan peluang dan momentum yang baik untuk diambil.
Suasana pandemi ini memang menjadi penghalang segala aktivitas kehidupan di manapun, termasuk menjalankan rencana-rencana untuk memaknai sebuah legacy yaitu keberadaan Surakarta sebagai bekas Ibu Kota negara Mataram Surakarta. Sementara, gagasan tentang upaya pengembalian status Provinsi DIS yang diproyeksikan kepemimpinannya lebih tepat diperoleh dengan model Pilkada langsung, menjadi peluang sangat besar bagi Presiden Jokowi dan Wali Kota Solo (Gibran Rakabuming) yang notabene sama-sama warga Kota Solo untuk mewujudkannya, juga bagi masyarakat eks Karesidenan Surakarta yang akan menikmati manfaatnya.
”Dalam pandangan saya, tepat sekali kalau semua kerabat terutama gusti-gusti itu bisa bersatu untuk ikut mewujudkan kembalinya Provinsi DIS. Karena, itulah wiradat. Walaupun nanti jabatan Gubernur dan Wakilnya dipilih, kelangsungan keraton pasti akan terjamin. Karena harus ada pakta integritas bagi pasangan calon yang akan maju Pilkada. Semua calon, harus punya komitmen untuk menghormati, merawat dan menjaga kelangsungan keraton. Meski hanya sebatas sebagai sumber dan pusat pelestarian budaya Jawa. Itu sudah cukup,” tunjuk KRT Hendri Rosyad Wrekso Puspito, pemerhati budaya Jawa dan keraton dari sisi spiritual tentang wiradat itu. (Won Poerwono-habis)