Ada Belasan Putradalem PB XII yang Seharusnya Bisa Diandalkan
IMNEWS.ID – MEMANG sebenarnya banyak alasan untuk menjawab pertanyaan, mengapa dalam periode 2004-2021 atau lebih dari 17 tahun berjalan ini seakan-akan tidak tampak Sang Pemimpin Adat yaitu Sinuhun PB XIII melakukan ”wiradat” untuk menjaga kelangsungan Keraton Mataram Surakarta yang dipimpinnya?. Salah satunya adalah, gangguan stroke ringan yang dialami putra tertua Sinuhun PB XII itu, yang diderita beberapa waktu sebelum jumeneng nata menggantikan sang ayah pada tahun 2004.
Sekalipun sudah membaik saat awal-awal jumeneng nata sebagai Sinuhun PB XIII, tetapi berangsur-angsur kondisinya bisa dikatakan tidak bisa stabil pulih seperti sebelum terkena gangguan stroke ringan. Seiring dengan pertambahan usia menuju 70-an tahun, gangguan kesehatan itu derajatnya terus meningkat dari waktu ke waktu, hingga Pengadilan Negeri Sukoharjo di antara tahun 2014-2015 mengeluarkan keputusan hukum mengenai kondisi kesehatannya secara riil.

Karena kondisi kesehatan Sinuhun yang cukup mengganggu sejak awal-awal jumeneng nata, dalam satu sisi untuk kepentingan memperkuat kepemimpinannya, kabinet yang dipimpin GKR Wandansari Koes Moertiyah sebagai Pengageng Sasana Wilapa sudah mengantisipasi kebutuhan ideal itu. Sehingga, banyak pihak terutama dari luar masyarakat adat, membaca peta kekuatan antara Sinuhun di satu sisi dan kelembagaan ”kabinet” (bebadan) yang dipimpin Gusti Moeng selaku Pengageng Sasana Wilapa, seakan-akan tidak seimbang.
Apalagi, ketika Gusti Moeng juga sekaligus memimpin Ketua Lembaga Dewan Adat (LDA), sebuah lembaga bentukan baru yang inovatif, yang sejak awal pembentukannya semata-mata hanya untuk mengawal dan memperkuat kepemimpinan Sinuhun PB XIII. LDA yang berisi perwakilan trah darahdalem keturunan Sinuhun Amangkurat hingga PB XIII itu, sejak awal berfungsi untuk memberi saran, masukan dan pertimbangan sekaligus pengawasan atau kendali terhadap Sinuhun PB XIII yang menjalankan otoritas pengelolaan kelembagaan keraton.

Sebegitu ideal langkah-langkah yang sudah ditempuh Gusti Moeng, karena melihat realitas lemahnya kepemimpinan Sinuhun PB XIII, padahal kebutuhan keraton untuk menyesuaikan diri memasuki era modern/milenial, sangat mendesak. Tetapi, tak banyak figur-figur penting di internal masyarakat adat yang bisa memahami langkah-langkah dan kebutuhan mendesak itu, akibat di antara 35 putra/putridalem dan sebagian kerabatnya sudah terbelah oleh friksi pro-kontra pada ontran-ontran ”Raja Kembar” pada tahun 2004.
Tak Tampak ”Baik-baik Saja”
Friksi yang terus berlangsung sejak 2004 dan tidak bisa diselesaikan di tahun 2010 itu, di satu sisi tampak semakin memperkuat posisi ”kabinet” yang dipimpin Gusti Moeng. Padahal, isinya sebagian besar wanita alias adik-adik sekandung Sinuhun PB XIII, hanya ditambah tiga putradalem yaitu KGPH Kusumo Yudo, KGPH Puger dan GPH Nur Cahyaningrat (waktu itu). Sisa dari 35 putra/putri itu masih banyak, yang sebagian besar para pendukung ”mantan” Sinuhun PB XIII yang kini bergelar KGPHP Tedjowulan.
Di sisi lain, menginjak tahun 2010 dan selepas itu, kondisi kesehatan Sinuhun PB XIII sulit dikatakan stabil normal atau bahkan membaik. Karena, di dalam berbagai kesempatan tampil di medsos sedang berselisih bahkan ”adu-mulut” dengan Gusti Moeng, antara 2017-2021, Sinuhun tidak tampak seperti sedang ”baik-baik saja” atau sehat jasmani dan rohani saat duduk di kursi roda..
—–KGPH Puger —– dan — KGPH Dipokusumo—
(foto : iMNews.id/Won Poerwono)
Di era Presiden SBY terutama periode kedua (2009-2014), ada peristiwa yang terkesan seakan-akan positif, yaitu ketika Sinuhun PB XIII dipertemukan dengan eks rivalnya pada suksesi 2004, ”mantan Sinuhun” KGPH Tedjowulan, oleh Ketua DPR RI Marzuki Ali di Gedung DPR RI. Tetapi, peristiwa itu sama sekali tidak menyelesaikan persoalan friksi, yang sudah terlanjur membelah menjadi dua kekuatan yang sangat tidak seimbang, ketika dipandang dari sudut manapun.
Oleh sebab itu, peristiwa yang ”digembar-gemborkan” sejumlah pihak sebagai langkah rekonsiliasi itu senyatanya tidak merubah persoalan secara esensial. Karena, ada sebagian besar putradalem dan putridalem yang tetap saja berada di seberang, yang secara temporal bisa berkolaborasi dengan Sinuhun PB XIII. Sementara, Gusti Moeng yang berturut-turut ditinggal KGPH Kusumo Yuda dan GPH Nur Cahyaningrat, hanya menyisakan KGPH Puger dan GKR Ayu Koes Indriyah serta GKR Timoer Rumbai Kusuma Dewayani.
Berturut-turut pula, GKR Galuh Kencana, GKR Sekar Kencana dan GKR Retno Dumliah, meninggalkan barisan pendekar putri atau Srikandi Keraton. Kini, di seberang lain itu tersisa Gusti Moeng dan sang adik kandung, GKR Ayu Koes Indriyah, ditambah GKR Timoer Rumbai yang memilih bergabung dalam sisa barisan pendekar putri. Begitu pula, Sang Putra Mahkota KGPH Mangkubumi, juga merasa lebih nyaman berada di seberang bersama sang bibi, GKR Wandansari Koes Moertiyah, meski tak selalu bisa dekat dengan sang paman, KGPH Puger yang lebih suka ”menyendiri”.
—-KGPH Hangabehi —–dan —KGPH Benowo—
(foto : iMNews.id/Won Poerwono)
Komunikasi Sudah Dibangun
Kini atau sejak insiden 2017, Sinuhun PB XIII tetap berada di seberang dengan kekuatan luar biasa, yaitu didukung belasan putradalem dan tentu orang-orang ”top” berduit seperti keluarga BRAy Mooryati Soedibyo dan tentu saja, penguasa. Sementara, Gusti Moeng berada di seberang lain, bersama dua Srikandi dan sang Putra Mahkota, yang sama-sama ”masih terkoneksi” dengan KGPH Puger, belum lagi dukungan dari elemen-elemen LDA yang bermunculan di wilayah yang lumayan luas.
Dari belasan putradalem yang dipersepsikan telah berkolaborasi dengan Sinuhun PB XIII itu, di antaranya ada KGPH Puspo Hadi Kusumo, KGPH Hadi Prabowo, KGPHP Tedjowulan, KGPH Dipokusumo, KGPH Benowo dan KGPH Madu Kusumonagoro. Ada beberapa putradalem lagi seperti saudara kandung GPH Nur Cahyaningrat (alm) dan saudara kandung KGPH Dipokusumo, tetapi sudah jarang kelihatan di berbagai kesempatan, terutama ketika ada beberapa saudaranya lain ibu, apalagi saudaran seibu, meninggal beberapa waktu lalu.
Melihat nama-nama putradalem di atas, dalam ukuran normatif bagi publik di luar keraton yang mengetahuinya, tentu akan beranggapan bahwa merekalah yang bisa diandalkan untuk bergotong-royong dan bahu-membahu memikul tugas, kewajiban dan tanggungjawab, untuk mengembalikan wibawa, harkat dan martabat Keraton Mataram Surakarta dari ancaman kehancuran.

Merekalah yang sangat layak dan seharusnya sangat berkepentingan merawat dan menjaga kelangsungan keraton, ketika sang kakak tertua alias Sinuhun PB XIII, tak lagi bisa diharapkan menjalankan fungsinya sebagai Sinuhun, sosok kepala rumah-tangga pengganti ayah sekaligus pemimpin adat, akibat gangguan kesehatan yang dideritanya.
Tetapi memang, friksi masih terjadi dan putra/putridalem yang menjadi kekuatan inti masyarakat adat itu hingga kini masih terbelah, begitu juga sebagian kerabatnya. Padahal, periode 2004-2010 Sinuhun PB XIII ketika dalam keadaan masih lumayan kesehatannya, nyaris tak memiliki karya yang berati. Bahkan sebaliknya, malah terkesan mengganggu upaya wiradat yang dilakukan LDA untuk menyambung yang sudah berjalan tahun-tahun sebelumnya.
Dalam kerangka normatif, apabila ada niat baik dan bersungguh-sungguh ”ngrungkebi bumi Mataram”, seharusnya bisa melihat dan mengambil langkah untuk memulai melakukan wiradat, walau dari bentuk yang paling kecil dan sederhana. Karena, langkah-langkah komunikasi juga sudah sangat sering dibangun oleh Gusti Moeng dengan KGPHP Tedjowulan, sebagai representasi masing-masing seberang. Tetapi, bagaimana kelanjutannya, itu yang sedang ditunggu publik. (Won Poerwono-bersambung)