Animo Pesertanya Luar Biasa, Tetapi Dibatasi 200-an Orang
SOLO, iMNews.id – Sejak digelar forum seminar yang membahas soal busana pengantin Jawa gaya Surakarta yang menampilkan sumber aslinya dari Keraton Mataram Surakarta dalam 2 tahun lalu, animo masyarakat luas untuk menggali kekayaan budaya khususnya dalam tatacara menggelar upacara adat pengantin secara klasik makin meningkat. Karena berlangsungnya dua kali seminar yang digelar di Hotel Kusuma Sahid (2019) dan Hotel Swiss Bell Inn (2020) tak bisa menampung peserta dalam jumlah banyak, Yayasan Pawiyatan Kabudayan Keraton Mataram Surakarta kembali menggelar seminar serupa di Restoran Orient, Purwosari, untuk memberi kesempatan masyarakat yang belum tertampung.
”Kali ini yang hadir banyak yang dari jauh, karena sebelumnya tidak sempat hadir di forum serupa beberapa waktu lalu. Ini ada yang dari Pemalang, Pekalongan dan Tegal. Yang dari ‘brang wetan’ (Jawa Timur), datang dari Malang. Kita sudah menyaksikan peragaannya, sebentar lagi kita akan mendapat penjelasan dari nara sumber GKR Wandansari Koes Moertiyah selaku Ketua Yayasan Pawiyatan Kabudayan dan KRMH Raditya Lintang Sasangka selaku Pangarsa Sanggar Pasinaon Pambiwara Keraton Surakart. Tapi, kita dibatasi waktu hanya sampai pukul 12.00. Sekarang sudah pukul 11.00,” ujar RM Restu B Setiawan SPd MPd ketika memulai sebagai moderator di forum seminar itu.
Dalam kesempatan itu, Ketua Yayasan Pawiyatan Kabudayan yang akrab disapa Gusti Moeng dan disebutkan memiliki sejumlah penghargaan dan prestasi itu, langsung mengungkapkan secara singkat perihal materinya soal ”Tatacara Upacara Adat Pengantin Klasik Gaya Surakarta (Jangkeb). Ketua Lembaga Dewan Adat (LDA) Keraton Mataram Surakarta itu menyebutkan, sekalipun selama ini yang menjadi kiblat masyarakat dalam penyelenggaraan upacara pengantin klasik dari yang ada di keraton, tetapi memang tidak semua atau tidak bisa semua tatacara upacara adat pengantin di keraton bisa ditiru atau dilakukan di tengah masyarakat.
Menurut penerima penghargaan The Fukuoka Culture Prize Award dari Jepang tahun 2012 itu, sebagian tatacara upacara adat pengantin di dalam keraton tidak bisa ditiru/dilakukan di tengah masyarakat, karena memang ada beberapa keterbatasan. Misalnya soal tempat, karena pengantin wanita di keraton diusung dengan joli dari tempatnya ”disengker” di dalam bangsal keputren kawasan kedhaton, menuju Pendapa Sasanamulya sebagai tempat upacara ”panggih”.
Sementara, pengantin lelaki dibawa dari tempatnya ”mondok” dengan naik kuda menuju Pendapa Sasanamulya. Perbedaan lain, tatacara upacara pengantin di keraton, nyaris tidak memperlihatkan sosok perias atau juru paes di tempat upacara ”panggih” maupun di ”petanen” dan ”sungkeman di depan ”krobongan”. Karena, yang berperan adalah sosok wanita pepunden pinisepuh di keraton, bisa ”eyang” atau ”bu-dhe”.
”Mungkin saja, di tengah masyarakat sudah tidak mau repot, lalu semua dipasarahkan juru paes atau periasnya. Jadi, ada banyak keterbatasan di masyarakat, sehingga semua tatacara upacara adat pengantin klasik tidak bisa dilakukan. Dan lagi, yang namanya mantu, di keraton hanya untuk anak perempuan. Tetapi, Sinuhun terutama sebelum ayah saya (PB XII), walau yang jadi pengantin anak lelakinya, tatcara upacara adatnya yang melakukan ya keraton. Saudara perempuan saya ada 20 orang, tetapi tidak semua mengalami upacara adat pengantin seperti saya,” papar Gusti Moeng menjelaskan pengetahuan soal pengantin adat di keraton dengan contoh-contoh yang diperagakan dalam beberapa bagian sebelum forum seminar dimulai.
Sementara itu, KRMH Raditya Lintang Sasangka sebagai narasumber kedua lebih banyak menjelaskan soal busana pengantin lelaki dan apa yang harus dilakukan pengantin lelaki di dalam tatacara upacara adat yang digelar keraton. Karena menurutnya, pengantin lelaki dalam upacara adat pengantin di keraton, sepenuhnya harus mengikuti adat yang berlaku, baik busana maupun urut-urutan tatacara yang harus dilakukan.
Forum seminar, ditutup dengan tanya-jawab antara narasumber dengan para peserta. Di ruang restoran yang biasanya diisi lebih dari 500-an orang, pada forum seminar itu hanya ditata kursi kombinasi dengan meja dan deretan tanpa meja, berkapasitas sekitar 250-an orang karena aturan protokol kesehatan. Kalangan panitia menyebutkan, seminar itu nyaris batal karena situasi dan kondisi virus Corona di Kota Solo kembali naik ke level waspada. (won)