Nasibnya Makin Buruk Setelah Sinuhun PB XII Tidak Ada
iMNews.id – DAHSYATNYA peperangan antar saudara sedinasti dalam sebuah keraton maupun yang ditimbulkan oleh persaingan kekuatan dan pengaruh antar kerajaan, telah menandai sejarah perjalanan peradaban yang berabad-abad di tanah Jawa, sejak Majapahit (abad 14), maupun sejak jauh sebelum Majapahit. Kurang lebih karena alasan-alasan klasik seperti itu, peristiwa peperangan yang sampai menghancurkan berbagai bentuk jejak peradaban termasuk warga, pengetahuan budaya dan pengetahuan tentang kehidupannya itu, juga terjadi di hampir semua keraton, kesultanan, kedatuan dan pelingsir adat yang pernah ada di Nusantara ini.
Dari catatan Setjen Forum Komunikasi dan Informasi Keraton se-Nusantara (FKIKN) yang berkedudukan di Keraton Mataram Surakarta, dari hasil pengumpulan informasi selama FKIKN berdiri sejak tahun 1990-an di Solo, sebelum NKRI lahir 17 Agustus 1945, ada sekitar 250-an lembaga kesatuan masyarakat adat dalam berbagai istilah dan nama yang kurang lebih mirip keraton/kerajaan. Tetapi setelah KRI lahir dan FKIKN berdiri, saat diinventarisasi tinggal 47 keraton/kesultanan/kedatuan/pelingsir adat yang masih berdiri dengan segala kelengkapannya yang kini kurang lebih disebut ”living heritage”.
Begitu pula ketika organisasi Majlis Adat Keraton Nusantara (MAKN) berdiri dan diketuai (Ketua Harian) oleh KPH Dr Edy Wirabhumi, selain 47 anggota FKIKN yang Sekjennya dijabat GKR Wandansari Koes Moertiyah atau Gusti Moeng itu, berhasil diinventarisasi sekitar 50 lembaga kesatuan masyarakat adat yang ada di Nusantara ini. Namun, keraton/kesultanan/kedatuan/pelingsir adat yang menjadi anggota MAKN, hampir semuanya sudah tidak memiliki kelengkapan seperti keberadaan masyarakat adatnya, atau wilayah/tanah adat, atau situs bangunan kompleks pusat peradabannya atau sudah tidak memiliki keraton/kesultanan/kedatuan/pelingsir adat dan atau sudah tidak memiliki struktur manajemen pengelola secara adat.
Semula, atau kira-kira setelah FKIKN berdiri dan kalangan anggotanya meminta Sinuhun Paku Buwono (PB) XII menjadi Sekjen serta meminta Keraton Surakarta sebagai alamat kantor sekretariat jenderal (Setjen) di tahun 1990-an itu, banyak kalangan termasuk keluarga besar masyarakat adat Keraton Mataram Surakarta sendiri merasa bangga. Salah satu alasan kebanggaannya, karena Keraton Surakarta Hadiningrat yang dijadikan kantor Setjen dianggap paling memenuhi syarat dari kelengkapan persyaratan, setidaknya dianggap paling utuh di antara yang dimiliki 47 anggota FKIKN.
Anggapan itu dari satu sisi memang ada benarnya, karena Keraton Mataram Surakarta Hadiningrat saat itu masih memiliki tokoh Sinuhun PB XII, raja yang dianggap sangat berjasa untuk lahirnya NKRI, hingga mendapat pangkat militer Letnan Jenderal (Letjen TNI). Selain itu, para anggota FKIKN sangat menaruh hormat kepada Keraton Mataram Surakarta dan pejabat Sekjen yang dipercayakan kepada Gusti Moeng hingga kini, karena keraton yang berdiri tahun 1745 itu dianggap sebagai keraton terbesar yang tersisa di Nusantara, sampai saat ”pemindahan kekuasaan” tiba, yaitu pada 17 Agustus 1945.
Kabanggan dan Harapan Kosong
Tentu saja, kebanggaan dan ekspektasi kalangan anggota FKIKN dan juga FSKN (Forum Silaturahmi Keraton Nusantara) yang kemudian menjelma menjadi MAKN, terhadap Keraton Mataram Surakarta sangat tinggi. Aapalagi, mengingat Kota Surakarta atau Sala alias Solo, sejak rezim pemerintahan Orde Baru (1966-1998) selalu dipersepsikan sebagai kota paling fenomenal, paling bermakna secara nasional dan faktanya, memiliki kelengkapan situs sejarah paling bergengsi karena masih ada situs Kadipaten yang pernah didirikan Pangeran Sambernyawa dan kini bernama Pura Mangkunegaran, juga label sebagai kota yang disinggahi keluarga pemimpinan nasional dari lingkungan masyarakat adat (Presiden Soeharto-Tien Soeharto).
Namun, ekspektasi dan kebanggaan yang tinggi kalangan anggota FKIKN dan kini MAKN mungkin kini mulai surut atau kurang bersemangat. Persepsi dan asumsi kalangan anggota dua organisasi itu, bahkan publik secara luas sedikit demi sedikit mengalami pergeseran ke arah yang keliru. Karena, begitu rezim Orde Baru berganti mulai tahun 1999, Sinuhun PB XII wafat di tahun 2004 serta kuatnya pengaruh rezim penguasa politik partai itu, justru mulai membuka tabir buruk realitas sesungguhnya, bahkan semakin diperburuk oleh pengaruh dinamika politik partai itu, yang membuat situasi dan kondisi makin buruk, khususnya bagi kesatuan masyarakat adat yang ada di Nusantara, dan lebih khusus lagi di Solo.
Dengan berbagai peristiwa yang terjadi Keraton Mataram Surakarta hingga saat ini, bahkan seakan tidak terlihat tanda-tandanya akan berakhir, rasanya mungkin tinggal harapan dan angan-angan saja kalau kalangan masyarakat adat di luar Jawa masih banyak berharap. Karena kelengkapan situs peninggalan sejarah di Surakarta yang selama ini dijadikan ukuran dan contoh untuk merevitalisasi dan merekonstruksi keraton/kesultanan/kedatuan/pelingsir adat di tempat masing-masing, kini justru mengalami nasib yang lebih buruk lagi, bahkan bisa menyusul keraton-keraton lain di luar Jawa yang jauh lebih dulu sudah hilang jejak dan tapak peradabannya.
Harapan kosong atau yang tersisa tetapi sedang diperjuangkan FKIKN dan MAKN untuk mempertahankan bila belum berhasil merekonstruksi, merevitalisasi dan merenovasi itu, mungkin sangat beralasan kalau mencermati fakta-faktanya. Karena, kompleks situs yang menjadi satu-kesatuan tapak peraban Keraton Mataram Surakarta itu, faktanya tinggal beberapa bangunan yang ada di dalam kawasan seluas 90 hektare, yang batasnya mulai dari pintu masuk gapura Gladag sampai pintu keluar gapura Gading.
Ternyata Sudah Tidak Utuh
Itupun, sudah tidak lagi utuh, baik batas wilayah aset tanah dan bangunan di atasnya, maupun kelengkapan bangunan-bangunan yang ada di dalam batas-batas wilayah kawasan seluas 90 hektare itu. Sebut saja, bekas kandang kagungandalem mahesa keturunan Kiai Slamet di kampung Gurawan, ndalem Joyokusuman di Kelurahan Gajahan, bangunan lembaga keuangan keraton ”Banda Lumaksa”, ndalem Hadiwijayan, ndalem Ngabeyan dan sebagainya.
Sejumlah tanah dan bangunan itu bisa lepas dari kepemilikan lembaga Keraton Mataram Surakarta, dalam waktu tidak sama di alam republik ini, yang rata-rata melalui prosedur tidak resmi atau tidak selayaknya. Masih banyak aset tanah dan bangunan di atasnya di berbagai lokasi milik lembaga Keraton Mataram Surakarta tapi berada di luar kawasan 90 hektare itu, belakangan lepas begitu saja ketika berada di alam republik.
Dari keutuhan kesatuan kawasan situs keraton, bisa dikatakan jelas sudah sangat tidak lengkap. Padahal, menjelang 1945 keraton tidak pernah perang dengan siapapun dan tidak pernah kalah perang dengan siapapun. Artinya, tidak pernah ada peristiwa perang yang membuat aset tanah dan bangunan itu menjadi pampasan atau rampasan akibat kalah perang.
Dan ketika menyimak satu kesatuan masyarakat adat Keraton Mataram Surakarta dari sisi ketatanegaraan, lembaga Keraton Mataram Surakarta itu makin kelihatan sangat tidak lengkap. Karena, pusat pemerintahan secara administratif yang berada di kawasan kompleks Kepatihan, sudah terpenggal dari keutuhan keraton sejak dihancurkan ”para pemberontak” tahun 1949.
”Ya, gampangnya menyebut dihancurkan ‘para pemberontak’, begitu saja. Karena, faktanya setelah 17 Agustus 45 ‘kan masih banyak pertempuran yang melibatkan ”pemberontak”. Dan ”pemberontak itu, di antaranya adalah kalangan yang dihasut/dipengatuhi orang-orang PKI. Peristiwa hancurnya kompleks Kepatihan itu ya karena keterlibatan orang-orang itu. Bahkan, melibatkan kalangan abdidalem sendiri. Orang-orang itu, anti pemerintahan swapraja dan anti feodal,” papar KPH Adipati Poerbodiningrat (70), seorang kerabat yang kini aktif sebagai Ketua DPD Partai Golkar Surakarta, menjawab pertanyaan iMNews.id, belum lama ini.
Kerabat yang bernama kecil RM Koesrahardjo itu mengaku, mencatat segala peristiwa yang dituturkan sang ayah, KPH Daryonagoro saat suwita di Keraton Mataram Surakarta sejak tahun 1930 di masa kepemimpinan Sinuhun PB X, hingga menjadi Pengageng Parentah Keraton di zaman Sinuhun PB XII di tahun 1990-an. Ia juga mencatat dalam ingatannya, semua peristiwa yang dialaminya sendiri sejak masih kecil dalam bimbingan sang ayah di rumah maupun saat suwita di keraton. (Won Poerwono-bersambung)