Kepatihan Berakhir di Tangan “Para Pemberontak”, Kebon Raja di Tangan Siapa? (2-bersambung)

  • Post author:
  • Post published:May 5, 2021
  • Post category:Budaya
  • Reading time:10 mins read

“Propaganda Politik” untuk Menghibur Lembaga Masyarakat Adat

iMNews.id – KETIKA Sinuhun Paku Buwono (PB) XII masih ”jumeneng nata” (1945-2004), boleh dikatakan masih mendapat toleransi atau dihargai, bahkan dihormati peran dan ketokohan pribadi dan lembaganya (Keraton Surakarta Hadiningrat) di mata republik. Terlebih di zaman rezim pemerintahan Orde Baru, yang seakan ada semacam ”propaganda politik” yang mengedepankan seni budaya yang diberi label ”adi luhung” peninggalan leluhur (peradaban), untuk sekadar menghibur warga peradaban agar ”tidak memperhatikan” atau melupakan” sesuatu.

Sesuatu itu di satu sisi adalah sebuah proses alih fungsi, nasionalisasi atau apapun istilahnya, yang jelas ada upaya membuat status sebuah obyek (aset) agar menjadi kabur atau samar-samar dan tak jelas siapa pemiliknya yang sah, menjadi tak jelas asal-usulnya. Di sisi lain, ada juga sebuah proses untuk melokalisasi atau mempersempit ruang kedaulatan masyarakat adat (Keraton Mataram Surakarta dan Pura Mangkunegaran), menjadi seluas keberadaan situs-situs bangunan penting yang masih secara representatif bisa dilihat publik yang ”diwakili” para wisatawan.

Kata wisatawan menjadi penting, karena salah satu propaganda politik rezim Orde Baru dalam rangka menghibur ”kesatuan masyarakat adat” Keraton Mataram Surakarta (dan Pura Mangkunegaran), antara lain selalu meletakkan program peningkatan devisa negara dari sektor kepariwisataan, yang antara lain mengemas lembaga masyarakat adat sebagai potensi seni budaya yang dijadikan objek wisata atau destinasi wisata. Oleh karena itu, Departemen Penerangan menjadi corong paling tepat untuk ”propaganda politik” (memasyarakatkan budaya-membudayakan masyarakat dan seterusnya), agar kalangan masyarakat adat tersanjung dan bangga, lalu tidak sampai hati atau ”pekewuh” untuk menanyakan hak dan rasa keadilan atas jasa-jasa leluhurnya dalam mendirikan NKRI yang tak kunjung didapat.

Berbagai sumber yang mengungkap hasil penelitian tentang sejarah masa lalu, peran keraton di masa republik hingga nasib kalangan keraton ketika bergabung dengan republik, yang kemudian disajikan di sejumlah judul buku, kurang lebih mengekspresikan beberapa hal di atas. Proses itu semua semakin menjadi-jadi, atau menurut istilah sejarawan kandidat doktor ”Kajian Budaya” Widodo Aribowo berlangsung masif, sistemik dan terstruktur, ketika KGPAA Mangkunagoro VIII sudah tiada (1988), kemudian disusul Sinuhun PB XII wafat (2004), meskipun rezim Orde Baru sudah berakhir di tahun 1998.

Begitu para pemimpin adat itu sudah tiada, terkesan sekali rasa ”pekewuh” itu juga sudah tidak ada. Sikap toleran yang menjadi bagian penting dalam adat-istiadat budaya Jawa, rupanya sudah tidak diperlukan lagi para pemimpin bangsa yang merasa terbebas dari belenggu ”demokrasi terpimpin”, setelah rezim Orde Baru tumbang. Mencermati semua gejalanya, alam kebebasan demokrasi yang dimulai 1999, ternyata diartikan dengan kebebasan untuk menghilangkan rasa ”ewuh-pekewuh” alias sikap toleran terhadap sesama warga bangsa, sesama warga peradaban sesama warga yang mengaku terlahir dari keluarga-keluarga bermartabat, berbudaya dan punya harkat serta berwibawa.

SISA SEJARAH : Pemerhati keraton dan budaya Jawa dari sisi spiritual kebatinan, KRT Hendri Rosyad Wrekso Puspito berdiri di dekat plengkung kerun atau ”kroon” di jalan pintu masuk menuju Kelurahan Kepatihan Wetan. Keduanya adalah sisa-sisa sejarah tapak peradaban Mataram di bekas pusat pemerintahan administratif Keraton Mataram Surakarta di kompleks Kepatihan. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Baru ”Berani” Terbit

Kalau memang kesimpulannya (sementara) seperti itu, tidak aneh kalau sejarawan dari Lembaga Olah Kajian Nusantara (Lokantara) Jogja, Dr Purwadi banyak menemukan fakta berbeda atau bahkan berkebalikan dari yang selama ini diungkap ke publik, dari satu rezim ke rezim berikutnya hingga reformasi berjalan 20 tahun lebih sekarang ini. Fakta-fakta masa lalu bangsa, masa peralihan ke alam republik dan fakta nasib kalangan lembaga masyarakat adat di alam republik, banyak diungkap (secara tersirat) antara lain, dari naskah buku tentang lahirnya kota dan kabupaten di Provinsi Jatim, Jateng dan Jabar.

Salah satu yang menarik berkait dengan tema tulisan ini ”Kepatihan Berakhir di Tangan ”Para Pemberontak”, Kebon Raja di Tangan Siapa?”, selain anggota Pakasa Cabang Jogja itu juga meneliti dan kemudian menyusun naskah buku, disebutkan ada sebuah buku yang secara khusus membahas nasib tragis kompleks Kepatihan Keraton Mataram Surakarta. Buku yang disusun Dr Julianto Ibrahim (FIB UGM) dan diterbitkan kali pertama tahun 2001 itu, berjudul ”Bandit dan Pejuang di Simpang Kota Bengawan”,
mungkin satu-satunya buku yang baru ”berani” diterbitkan setelah rezim Orde Baru tumbang, meskipun juga dimungkinkan masih banyak hasil penelitian tentang nasib Kepatihan yang belum diterbitkan dalam bentuk buku.

Buku yang disusun Dr Julianto Ibrahim berjudul ”Bandit dan Pejuang di Simpang Kota Bengawan” itu, kini sangat sulit didapat dari tempat-tempat penjualan resmi seperti toko buku. Dr Purwadi tidak melukiskan apa saja yang menjadi fokus penulisan dalam buku itu, tetapi melalui hasil penelitian yang ditulis dalam blogspotnya berjudul ”Sejarah Kepatihan Surakarta”, dikisahkan bahwa Keraton Mataram Surakarta sejak 1742 sudah memulai memisahkan kekuasaan. Adalah Patih Pringgalaya yang mendapat tugas dari Sinuhun PB II (1726-1749) sebagai pelaksana pemerintahan yang memegang kekuasaan eksekutif atau Rijsbestuurder, yang mirip pejabat Perdana Menteri.

Dalam naskah yang diposting blogspotnya, banyak ditulis urut-urutan nama ”Pepatihdalem” atau ”Patih” yang menjabat sejak Sinuhun PB II, sampai Sinuhun PB XII, ketika Keraton Mataram Surakarta berada di alam republik. Tetapi apa yang terjadi pada peristiwa hancurnya kompleks pusat pemerintahan administratif Keraton Mataram Surakarta di Kepatihan di tahun 1949 itu, tidak ditampilkan dan oleh karenanya, misteri hancurnya Kepatihan 4 tahun setelah NKRI lahir itu hingga kini tetap menjadi spekulasi banyak kalangan.

”Saya sudah berburu ke perpustakaan UNS, sampai sekarang belum mendapat jawaban. Padahal, saya berusaha mencari di luar (di toko-toko buku), juga nihil. Saya pengin sekali tahu apa yang sebenarnya terjadi dengan hancurnya kompleks Kepatihan. Karena, dengan hancurnya bagian penting peradaban Keraton Surakarta itu, sangat merugikan dunia pendidikan, khususnya kalangan peneliti. Padahal, saya yakin Kepatihan menyimpan data-data sejarah khususnya Mataram sangat lengkap,” ujar Widodo Aribowo, salah seorang pengajar di Akademi Seni Mangkunegaran (Asga), saat dihubungi iMNews.id, kemarin.

BUKTI SEJARAH : Gardu pintu masuk sebuah kampung di Jalan Diponegoro Kota Magelang itu, adalah sisa sekaligus bukti sejarah kedaulatan Keraton Mataram Surakarta yang memiliki wilayah sampai 3/4 pulau Jawa. Gardu bertuliskan ”Kedoe – Soerakarta” itu dulunya kawasan kompleks kantor bupati di zaman Sinuhun Paku Buwono VI jumeneng nata bersamaan berlangsungnya perang Diponegoro (1825-1830).
(foto : iMNews.id/dok)

”Bandit dan Pejuang”

Meski misteri hancurnya kompleks Kepatihan masih menjadi banyak spekulasi, tetapi melihat judul buku Dr Julianto Ibrahim ” Bandit dan Pejuang di Simpang Kota Bengawan”, tentu membangkitkan antusiasme khalayak luas untuk mencermati isinya. Terutama, bagi kalangan yang berkecimpung di bidang pendidikan dan penelitian sejarah, atau bahkan kalangan masyarakat adat yang berkait dengan Dinasti Mataram, karena mungkin saja di sana ada kejelasan tentang hal-ikhwal yang berkait dengan sejarah masa lalu leluhurnya, keberadaan bagian dari eksistensi kelembagaan yang bermanfaat dengan edukasi warga bangsa dari generasi ke generasi.

Melihat judul bukunya yang mengandung sensasi, sudah selayaknya mengundang minat peneliti sejarah Widodo Aribowo, apalagi tempatnya mengabdi berada di lingkungan lembaga masyarakat adat yang berkait dengan Dinasti Mataram. Kata ”Bandit”, sudah menunjukkan konotasi yang selalu diasumsikan negatif, karena selalu berada dalam definisi ”para pelaku tindak kejahatan”. Pernyataan Dr Purwadi dalam wawancara dengan iMNews.id, juga menunjuk pada terminologi kata itu ketika menyebut orang-orang yang diduga menghancurkan kompleks Kepatihan adalah ”kalangan pemberontak” vendita viagra yang berlatarbelakang komunis.

Selain yang muncul spekulasi adanya peran orang-orang komunis yang bergabung dengan laskar pejuang rakyat yang dipimpin Suradi Bledheg selaku pimpinan Merapi Merbabu Complex (MMC) seperti dilukiskan Dr Purwadi, muncul pula spekulasi tentang adanya narasi bahwa kompleks Kepatihan adalah bagian dari pemerintan Swapraja Daerah Istimewa Surakarta. Seperti ditulis Dr Sri Juari Santosa (FMIPA UGM) dalam buku”Suara Nurani Keraton Surakarta”, dilukiskan bahwa Keraton Surakarta (termasuk Kepatihan dan Pura Mangkunegaran) sebagai pusat perilaku feodal, tetapi di luar berkembang pula narasi ”dari pada diambil-alih Belanda (Agresi Belanda/Clash kedua 1949), lebih baik diratakan dengan tanah”.

Apapun spekulasi yang paling mendekati kebenaran atau paling masuk akal, tetapi itu terjadi di saat Sinuhun PB XII dan KGPAA Mangkunagoro VIII masih terlalu lemah untuk menghadapi pergolakan politik (dalam negeri) yang makin dahsyat di awal NKRI, dan sesuatu yang sama sekali baru dalam tugas kepemimpinan sebagai kepala pemerintahan swapraja Daerah Istimewa Surakarta. Situasi dan kondisinya sangat jauh berbeda, ketika dibandingkan dengan alam reformasi yang hanya berbekal ”standar etika yang rendah” atau ”sudah tidak ewuh-pekewuh atau tidak punya rasa malu” hingga proses lepasnya aset-aset situs peninggalan peradaban terus berlangsung setelah kompleks Kepatihan. (Won Poerwono-bersambung)