Kalau Tidak Ada Sosoknya, Keraton Surakarta Sudah Selesai
iMNews.id – Zaman boleh berubah, abad boleh berganti dan peradaban boleh menyesuaikan perubahan. Tetapi, jejak sejarah zaman, abad dan peradaban jangan dirusak atau dihapus/dihilangkan, karena dari sanalah warga peradaban bisa berkaca, agar kehidupan sebagai pengisi peradaban menjadi lebih baik. Itulah kira-kira penjelasan dari analisis kritis nanbijak, terhadap kalimat ”Nut (Z)Jaman Kelakone” yang sering pernah diucapkan para Pujangga Jawa.
Itulah bentuk kesesuaian antara sikap manusia pada masanya (zaman pujangga-pujangga Mataram dan sebelumnya), terhadap zaman, abad dan peradaban yang terus berubah, berganti dan bergerak menyesuaikan. Manusia-manusia ”pinunjul” atau ”linuwih” atau ‘winasis” pada saat itu sudah sadar terhadap tiga hal itu, kemudian berusaha menyosialisasikan kepada publik agar juga sadar, antara lain melalui karya-karya sastranya, termasuk sastra gending atau tembang (geguritan, macapat dsb).
Karena zaman, abad dan peradaban kapanpun konteksnya, selalu menunjuk pada sebuah kehidupan manusia terutama yang terlembagakan dalam bentuk keraton (Majapahit hingga Mataram) di Jawa yang menonjol di Nusantara, maka konteks kalimat ”Nut jaman kelakone” makin terarah pada kehidupan di zaman Mataram hingga sesudahnya. Termasuk saat ini ketika sudah 76 tahun berada di alam republik (NKRI), bahkan sampai kapanpun ketika kalimat itu masih terhubung secara kontekstual dengan kehidupan peradaban yang direpresentasikan.
Kata terakhir dari tiga kata yang sejenis yang tidak boleh dilakukan warga peradaban, adalah tidak boleh merusak/menghapus atau menghilangkan jejak sejarah peradaban. Kata-kata itu yang sangat kontekstual dengan eksistensi Keraton Mataram Surakarta Hadiningrat, meskipun Pujangga Jayabaya yang juga raja Keraton Kediri, jauh berabad-abad sebelumnya (abad `12) sudah bertitah (memprediksi), bahwa usia Keraton Mataram Surakarta (keraton terbesar di Tanah Jawa) hanyalah 200 tahun (1745-1945).
Tetapi manusia diberi akal untuk berpikir secara sehat, mencari upaya, bahkan merekayasa, yang dalam terminologi spiritual Jawa disebut ”kodrat kudu diwiradati”. Dan itu terbukti, Sinuhun Paku Buwono (PB) X yang jumeneng tahun 1893-1936, sudah banyak berupaya terutama secara spiritual yang disebut ”wiradat” itu, agar Keraton Mataram Surakarta bisa berusia atau eksis lebih dari 200 tahun dari 1745, atau bahkan sampai jagad ”Ngarcapada” ini ”digulung”, berakhir.
Secara fisik, bahkan berbagai hal yang intangable (tak bisa diraba/tak benda), Keraton Mataram Surakarta Hadiningrat benar-benar masih berdiri tegak, eksis, masih terasa pengaruh legitimasi dan nilai-nilai spiritual kejiwaan intangable-nya. Bahkan, manusia-manusianya juga masih banyak bisa bertahan, baik dalam melakukan kegiatan merawat peradaban dan melestarikan nilai-nilai yang dimiliki, maupun bergerak positif ke arah menyesuaikan dengan perubahan, misalnya melembaga dalam Lembaga Dewan Adat yang makin kokoh dengan sejumlah elemennya.
Lantas, apa yang dimaksud Pujangga Jayabaya dengan usia Keraton Gede ing Tanah Jawa hanya ”dijangka” diperkirakan berusia 200 tahun (1745-1945)? Di satu sisi, pertanyaan itu sangat mungkin lebih terarah pada usia ”kesakralan” yang mungkin saja berpengaruh pada usia fisik kawasan, bangunan dan kualitas manusia-manusianya. Karena mengingat, Keraton Mataram Surakarta dan kebanyakan keraton di Jawa, sebelum dan selama Mataram, tak hanya dibangun secara fisik, melainkan juga hasil kerja nonfisik atau spiritual batiniah.
Sebagai ilustrasi, eksistensi para Pujangga Jawa, mulai dari Jayabaya sendiri, hingga RNg Ranggawarsita I dan II serta Pujangga Jasadipura I dan II, merupakan elemen penting (non fisik) dalam membangun dan merawat keraton yang berpadu dengan kerja fisik secara teknis dan arsitektural. Terlebih, Sinuhun PB III, IV, VI, IX dan juga Sinuhun PB X adalah deretan raja-raja yang luar biasa kapasitas pribadinya dalam penguasaan berbagai pengetahuan fisik (teknis) dan nonfisik.
Oleh sebab itu, seandainya Keraton Mataram Surakarta Hadiningrat faktanya tetap bisa berdiri tegak, tetap berfungsi baik sesuai tugas, tanggungjawab dan kewajiban di tengah peradaban selepas 1945, bahkan hingga kini, jelas sudah sewajarnya demikian.
Selain Sinuhun PB X yang selalu bersanding dengan lembaga paranparanata atau pujangga hingga melembaga menjadi ikatan perpaduan yang kuat dan ideal disebut”pandita-ratu’, sudah melakukan ”wiradat” untuk memperpanjang usia keraton.
Zaman yang semakin modern juga ikut membantu memudahkan cara-cara untuk merawat dan melestarikannya, meski di sisi lain modernitas selalu dimaknai menjadi ”kekuatan buruk” yang ingin melenyapkan segala bentuk dan jejak-jejak peradaban lama.
Setelah Sinuhun PB X membangun tugu peringatan Sumpah Pemuda di halaman Pendapa Pagelaran Sasana Sumewa yang sekaligus melakukan ritual ”wiradat” terhadap usia keraton yang di”kodrat” atau diprediksi hanya berusia 200 tahun dan berakhir 1945 di saat lahir NKRI.
Faktanya, setelah Sinuhun ingkang wicaksana wafat di tahun 1939 atau enam tahun sebelum Indonesia Merdeka pada 17/8/45, keraton utuh dan penggantinya Sinuhun PB XI jumeneng nata, siniwaka di keratondalem Mataram Surakarta Hadiningrat meneruskan untuk melengkapi elemen-elemen dalam melahirkan benih-benih kehidupan demokrasi di Nusantara.
Walau, Sinuhun PB XI meninggal di bulan Juni atau dua bulan sebelum Proklamasi 17 Agustus 1945, faktanya keraton masih utuh berdiri tegak, bahkan munculah Sinuhun PB XII jumeneng nata menggantikan ayahandanya dalam usia yang masih sangat muda, sekitar 20 tahun saat NKRI lahir.
Raja yang sering disebut Sinuhun Amardika itu itu memang seringkali berucap ”Nadyan Keraton mung kari sakmegroking payung, paribasane, nanging kudu tetep terus dijaga lan dilestarekake”, tetapi itu ternyata merupakan sebuah ungkapan kiasan Sinuhun PB XII untuk menyatakan bahwa Keraton Surakarta Hadiningrat memang sudah tidak punya kedaulatan, terutama di bidang politik, karena sudah bergabung ke NKRI.
Ungkapan Sinuhun PB XII memang sudah menjelaskan faktanya, bahwa batas 200 tahun usia Keraton Mataram Surakarta itu bisa disebut hanya kedaulatan politiknya. Tetapi banyak yang lain terutama secara fisik, ”seharusnya” tidak dimaknai ikut berakhir atau ”diakhiri”, seperti halnya kedaulatan ekonominya yang habis-habisan mirip negara kalah perang atau ”habis dirampok”.
”Kalau saya melihat seperti itu adanya, berarti sudah tidak ada lagi yang bisa diharapkan dari Sinuhun PB XIII. Karena, beliau dalam keadaan ‘gerah’ (sakit). Tapi saya setuju tetap mendudukkan beliau sebagai Sinuhun. Melihat tupoksi dan kapasitasnya, tinggal pada diri Gusti Moeng yang bisa menjadi benteng pertahanan terakhir keraton. Mudah-mudahan, harapan saya tidak salah,” harap KRT Hendri Rosyad Wrekso Puspito, salah seorang pemerhati keraton dan budaya Jawa dari sisi spiritual kepada iMNews.id, ketika dimintai pandangannya, tadi siang. (Won Poerwono-bersambung)