Pesertanya Hadir dengan Biaya Sendiri, Ngalab Berkah Secara Tulus Ikhlas
IMNEWS.ID – BANYAK nilai yang bermanfaat bagi publik secara luas, warga peradaban masa kini dan mendatang, apabila mencermati apa yang ada di balik ritual “wilujengan nagari” Sesaji Mahesa Lawung. Meskipun dari sisi citra visualnya ada perbedaan yang agak mencolok dibanding sejumlah upacara adat penting yang selama ini digelar Kraton Mataram Surakarta.
Beberapa perbedaan (iMNews.id, 16/11/2023) itu, secara natural dan esensial memang tampak atau mudah ditangkap dengan panca indera, karena ritual “wilujengan nagari” Sesaji Mahesa Lawung lebih cenderung sebagai ekspresi mirip doa permohonan “tolak-balak”, esensinya mirip kirab pusaka malem 1 Sura, tetapi jauh berbeda dibanding Sekaten Garebeg Mulud, misalnya.
Perbedaan-perbedaan itu, justru menjadi keragaman warna dan jenis yang tentu akan menambah daya tarik, jika ritual-ritual seperti ini dibuke secara resmi sebagai bagian dari industri pariwisata, objek wisata atau destinasi wisata. Dari sisi keragaman warna dan jenis upacara adat itu saja, sudah menjadi satu aspek edukasi yang menarik.
Aspek yang menonjol dari ritual ini, adalah semangat keberagaman, kebhinekaan dan pluralistik yang bisa dikelola dengan baik oleh Kraton Mataram Surakarta. Aspek nilai-nilai di bidang ini tentu diharapkan melahirkan semangat keteladanan bagi warga peradaban, terutama bagi negara yang mengelola bangsa begitu majemuk ini.
Upacara adat “wilujengan nagari” Sesaji Mahesa Lawung yang memiliki spesifikasi dan sifat keunikan sangat tinggi, tentu tidak dimiliki lembaga masyarakat adat lain, sekalipun sama-sama anggota “Catur Sagatra” keturunan Dinasti Mataram. Keberagaman dan banyaknya jumlah ritual ini, sangat mudah dilegitimasi warga peradaban, terutama masyarakat etnik Jawa.
Sifat-sifat upacara adat yang dimiliki Kraton Mataram Surakarta dengan tingkat animo masyarakat yang melegitimasi begitu tinggi, ditambah tingkat kepatuhan dan kesetiaan masyarakat adat pesertanya yang tinggi pula, menurut Dr Purwadi sering diirikan satuan pemerintahan di tingkat apapun di NKRI.
Sehingga, dalam perjalanan waktu beberapa dekade, Kota Surakarta menjadi contoh sebagai pihak yang selalu ingin masuk dalam suasana “bersaing” dengan kraton, dalam hal penyelenggaraan keramaian upacara adat yang bisa menyedot dan punya daya tarik manusia sebanyak mungkin.
Dalam beberapa peristiwa pengumpulan massa, pemerintah bisa membuktikan berhasil misalnya pada upacara Kemerdekaan RI 17 Agustus, peringatan Hari Pahlawan, Sumpah Pemuda dan sebagainya. Namun, para pesertanya tidak memiliki sikap tulus-ikhlas setia mengabdi, seperti yang dimiliki para abdi-dalem kraton, dari berbagai daerah jauh di cabang-cabang Pakasa.
Bahkan tak hanya sikap pengabdian, kesetiaan dan kepatuhan kepada tata-nilai adat, tetapi masih ada pula sikap sudah menyatu dengan kehidupannya sebagai “wong” Jawa, yaitu sikap dan semangat melestarikan budaya Jawa yang bersumber dari Kraton Mataram Surakarta.
Dalam ekspresinya sebagai “wong” Jawa apalagi abdi-dalem kraton saat mengikuti upacara adat, kebanggaan dan kegembiraan dirasakan melalui busana adat yang dikenakan, dan bisa hadir mengikuti upacara adat, misalnya dalam Sesaji Mahesa Lawung, Senin (13/11) kemarin, benar-benar mereka rasakan kemegahan adat dan budayanya.
“Kegembiraan, kebanggaan dan kemegahan seperti itu, tidak mungkin ditemukan dan dirasakan dalam upacara-upacara di luar kraton. Mungkin, dalam soal banyak jumlah pesertanya bisa ditiru. Tetapi, soal pengabdian, kesetiaan dan kepatuhannya sangat jauh berbeda”.
“Dalam upacara-upacara di luar kraton, mereka mau berkumpul karena menjalankan perintah. Dalam masyarakat adat, mengikuti upacara adat adalah bagian dari gawa-gawe dan untuk ngalab berkah. Untuk itu, mereka secara suka-rela hadir dalam pisowanan, tidak dibayar, tetapi jelas mengeluarkan uang,” sebut Dr Purwadi.
Peneliti sejarah dari Lokantara Pusat di Jogja yang sekaligus sebagainya ketuanya itu, selain memperhatikan perbedaan mendasar antara upacara yang sering digelar di luar kraton dengan upacara adat di kraton, juga melihat sisi lain saat mengikuti “wilujengan nagari” Sesaji Mahesa Lawung, Senin (13/11) itu.
Menurutnya, kalangan tokoh generasi muda tampak “gumregah” melibatkan diri berpartisipasi dalam bidang masing-masing. Mulai dari awal ritual di “Pawon Gandarasan”, putri tertua Sinuhun Suryo Partono yang bernama GKR Timoer Rumbai sudah “mencoba” memimpin upacara itu saat “caos dhahar” di topengan Maligi.
Seorang adiknya, GRAy Devi juga mulai mengikuti di dekatnya, untuk memperhatikan apa saja yang perlu dilakukan sejak Gusti Moeng memberi “dhawuh” kepada abdi-dalem jurusuranata RT Irawan Wijaya Pujodipuro memimpin doa wilujengan di “Pawon Gandarasan”. Gusti Moeng mendampingi para tokoh muda hingga di Krendawahana.
Prosesi berjalan kaki setelah keluar dari “Pawon Gandarasan”, singgah di “topengan” Maligi Pendapa Sasana Sewaka, juga mereka ikuti terus hingga arak-arakan yang dikawal para prajurit Bregada Tamtama sampai di Pendapa Sitinggil Lor. Di tempat itu, putra mahkota KGPH Hangabehi dua “adiknya”, yaitu KRMH Bimo Djoyo Adilogo dan KRMH Suryo Manikmoyo.
Saat KGPH Hangabehi memberi “dhawuh” kepada RT Irawan Wijaya Pujodipuro, semua tokoh penting generasi kedua Sinuhun PB XII dan para sentana-dalem dan sentana garap tampil mendukung, termasuk KPH Edy Wirabhumi dan KRMH Suryo Kusumo Wibowo. Di Pendapa Sitinggil Lor ini, jumlah yang sowan paling banyak, karena pemusatan ritual sedikit digeser dari Krendawahana.
Sesampai di hutan Krendawahana sebagai puncak upacara adat “wilujengan nagari” Sesaji Mahesa Lawung, para tokoh generasi muda terutama yang wanita berkumpul bersama jajaran “Bebadan Kabinet 2004”. Di situ, GKR Timoer Rumbai kembali berperan memberi “dhawuh” kepada abdi-dalem jurusuranata untuk memimpin doa wilujengan.
Jumlah peserta ritual lebih banyak dikonsentrasikan di Pendapa Sitinggil Lor, sedangkan yang menuju Krendawahana dikurangi banyak jumlahnya, termasuk prajurit dan warga Pakasa cabang. Di lokasi terakhir itu, prosesi hanya sedikit pesertanya, termasuk mobil pengangkut peserta, karena sebenarnya jalan desa ditutup saat cor-beton sedang dalam pengeringan.
Di hari Senin terakhir selain Kamis di bulan Bakda Mulud, menjadi hari terakhir yang secara adat dibenarkan untuk menggelar ritual “wilujengan nagari” Sesaji Mahesa Lawung, yang kebetulan bersamaan dengan adanya perbaikan jalan menuju Krendawahana. Menyadari itu, kraton mengurangi konvoi mobil pengangkut dan tak ingin mengganggu lalu-lintas saat menata barisan prosesi. (Won Poerwono – habis/l1).