Pakasa Didukung APBD Rp 25 Juta untuk Gelar Ritual Nyadran Gede

  • Post author:
  • Post published:March 18, 2021
  • Post category:Budaya
  • Reading time:7 mins read

Bersinergi dengan Pemkab Banjarnegara untuk Lestarikan Budaya

iMNews.id – PERNYATAAN Ismawan selaku Ketua DPRD Kabupaten Banjarnegara, saat beraudiensi dengan Pengurus Pakasa Cabang setempat yang mengantar GKR Wandansari Koes Moertiyah (Ketua LDA) dan KPH Edy Wirabhumi (Pangarsa Punjer Pakasa) serta rombongan dari Keraton Mataram Surakarta Hadiningrat, 12 Desember 2020 (iMNews.id, 13/12/20), adalah salah satu contoh komitmen yang mengandung sportivitas tinggi bagi unsur penting pemerintahan di kabupaten itu.

Komitmen yang sudah seharusnya diberikan semua komponen penting di lingkungan pemerintahan Kabupaten Banjarnegara, layak menjadi contoh bagi semua komponen pemerintahan di wilayah lain yang pernah memiliki latarbelakang sejarah dengan Dinasti Mataram, yang kini diteruskan Keraton Mataram Surakarta Hadiningrat.

Hal penting yang melukiskan sebuah komitmen Ketua DPRD Banjarnegara itu, adalah sebuah pengakuan bahwa budaya Jawa telah menjadi dasar tuntunan kehidupan sosial kemasyarakatan bagi warga kabupaten, dengan segenap eleman dan komponennya. Kesadaran itulah, yang kemudian ikut mendorong lahirnya pengurus Paguyuban Kawula Keraton Surakarta (Pakasa) Cabang Banjarnegara, yang kini dijadikan mitra sinergik untuk bersama-sama melestarikan budaya Jawa di wilayahnya.

Keterbukaan lembaga legislatif yang menjadi mitra sekaligus komponen pemerintahan di kabupaten itu bagi Pakasa Cabang, makin menguatkan upaya pelestarian budaya. Karena Pakasa yang didirikan Sinuhun Paku Buwono (PB) X tahun 1932, adalah organisasi yang khusus mengabdikan diri dalam pelestarian budaya.

”Sebelum pengurus Pakasa Cabang lahir (2020), embrionya sudah muncul kira-kira lima tahun sebelumnya. Ada beberapa tokoh pendahulu, yang berjasa merintis kerjama dengan Pemkab untuk memikirkan upaya-upaya pelestarian budaya Jawa. Misalnya, alokasi dukungan melalui APBD, untuk pelaksanaan ritual Nyadran Gede di makam Ki Ageng Giring di kompleks makam Gumelem. Sudah rutin berjalan 5 tahun ini,” papar KRAT Eko Budianto Tirtonagoro menjawab pertanyaan iMNews.Id melalui WA-nya, kemarin.

Seperti pasar tiban
SEPERTI PASAR TIBAN : Beginilah suasana ritual ”Nyadran Gede” di kompleks makam Adisara tempat bersemayam Sunan Kalijaga di Desa Glempang, Kecamatan Mandiraja, menjelang Ramadan tahun 2020. Warga datang menggelar tenggok dan tenong berisi aneka menu makanan dan masakan hingga mirip pasar tiban. Setelah didoakan aneka karya kuliner itu disantap bersama-sama. (foto : iMNews.Id/dok)

Hanya Secara Parsial

Kerjasama yang sinergis dan ideal antara berbagai komponen pemerintahan di daerah dengan pengurus Pakasa Cabang yang sudah terbentuk di situ, menjadi hal yang niscaya karena tepat dan sangat masuk akal. Sebab, kebutuhan untuk mewujudkan pelestarian budaya dan ketahanan budaya, tidak mungkin diserahkan kepada pihak-pihak yang kurang begitu menguasai secara utuh sesuai keperluan dan peruntukannya.

Secara parsial, kebutuhan pelestarian budaya dan membangun ketahanan budaya bisa dilakukan sanggar-sanggar atau lembaga kedinasan yang rata-rata sudah ada di lingkungkang pemerintahan dan masyarakatnya, tetapi hasil yang didapat seringkali hanya formalitas dan secara parsial pula. Padahal, capaian yang diharapkan dalam dua hal pokok dan penting itu, jelas menjadi tugas, tanggungjawab dan kewajiban Pakasa yang bisa disebut sebagai tangan panjang lembaga keraton.

Dalam kapasitas seperti itu, Pakasa yang juga sebagai representasi keraton yang kini menjadi elemen Lembaga Dewan Adat (LDA), menjadi organisasi yang tepat sesuai bidang, fungsi dan peruntukannya. Karena Keraton Mataram Surakarta, adalah lembaga yang selama ini menjadi sumber dan pusat pelestarian peradaban (Jawa) yang menjadi agen utama serta motor penggerak untuk merawat peradaban.

Maka, sangat beruntung Pakasa Cabang Banjarnegara yang memiliki mitra Pemkab dan DPRD yang sangat sadar dan peduli pentingnya bersama-sama mewujudkan pelestarian budaya dan ketahanan budaya itu. Karena itu pula, sejak lima tahun lalu, tiap tahun secara rutin Pemkab menganggarkan Rp 25 juta untuk penyelenggaraan ritual ”Nyadran Gede” di kompleks makam Ki Ageng Giring di Desa Gumelem, Kecamatan Susukan.

”Yang sudah berjalan dengan bantuan APBD, ya baru Nyadran Gede di makam Ki Ageng Giring, Gumelem itu. Karena kompleks makam itu, sudah diusulkan menjadi situs cagar budaya. Ritual yang berlangsung di sana tiap tahun itu, dijadikan objek wisata spiritual”.

”Karena sekarang masih pandemi dan untuk menghindari kerumunan luar biasa, anggaran itu dialihkan untuk Nyadran Gede di makam Syeh Abdulrachman atau Sunan Kalijaga di kompleks makam Adisara di Desa Glempang, Kecamatan Mandiraja,” jelas Ketua Pakasa Cabang Banjarnegara itu.

Juru Kunci Makam Adisara
JURUKUNCI MAKAM ADISARA : MNg Suwaryo Hadi Prayitno (jongkok) adalah Ketua Pakasa Anakcabang Mandiraja sekaligus jurukunci kompleks makam Adisara di Desa Glempang, Kecamatan Mandiraja. Dia memiliki legitimasi kuat di kalangan anggotanya dalam menjalankan adat di kompleks makam Sunan Kalijaga dan pelestarian budaya Jawa. (foto : iMNews.Id/dok)

Gotong-royong dan Berbagi

Untuk tahun ini, Nyadran Gede di makam Sunan Kalijaga, Adisara akan digelar pada Kamis Wage, 8 April mendatang dan kenduri maupun tahlil-dzikirnya hanya akan dilaksanakan dalam waktu 1 jam, yaitu antara pukul 07.00 hingga 08.00. Dalam ritual macam itu, juru kunci makam MNg Suwaryo Hadi Prasetyo yang juga ketua Pakasa Ancab Mandiraja akan menyembelih 2 ekor kambing untuk disantap bersama-sama dalam beberapa menu masakan.

Sebuah ekspresi budaya yang digelar menjelang datangnya bulan puasa/ramadan di kalangan masyarakat Kabupaten Banjarnegara pada umumnya, memang sangat kental nuansa kearifan lokalnya. Karena, ritual yang digelar rutin tiap tahun berurutan di sejumlah makam tokoh-tokoh leluhur Dinasti Mataram itu, selalu dihiasi dengan beberapa ekspresi seni khas setempat dan berbagai jenis lomba seni di antaranya macapat dan geguritan.

Namun, di antara berlangsungnya ritual menyambut datangnya Ramadan yang dikenal dengan Nyadran Gede itu, adalah tersajinya aneka menu masakan yang dihasilkan masing-masing KK warga beberapa desa sekitar makam. Aneka masakan itu dibawa dari masing-masing rumah warga dengan tenggok atau tenong, lalu ditaruh di pinggir jalan menuju makam sambil menggelar tikar.

Tiap KK ada yang membawa satu atau dua tenggok/tenong, tujuannya agar berbagai menu makanan khas setempat itu didoakan dalam kenduri, tahlil dan dzikir yang berlangsung di situ. Setelah didoakan, makanan dalam tenggok/tenong disantap berbarengan, tetapi makanan yang ada di tenggok/tenong lain dibawa pulang untuk disantap di rumah.

”Di situlah, letak nilai-nilai kerukunan, gotong-royong dan berbagi selalu terjaga melalui ritual Nyadran Gede itu. Karena, banyak yang membawa tenggok/tenong lebih dari satu, karena makanan dalam tenggok lebih itu, pasti disuguhkan untuk orang lain. Mudah-mudahan Gusti Moeng dan rombongan LDA, Pakasa Punjer bisa ngrwuhi. Tetapi kami bisa maklum seandainya belum bisa, karena situasi pandemi,” tunjuk KRAT Eko. (Won Poerwono)