Berbagai Keperluan Mengungkap Perjanjian Giyanti (4-habis)

  • Post author:
  • Post published:February 16, 2021
  • Post category:Budaya
  • Post comments:1 Comment
  • Reading time:10 mins read

Sekadar “Ngudarasa” Merindu Rasa Keadilan

iMNews.id – Peristiwa Perjanjian Giyanti yang terjadi di Desa Giyantisari atau Jantisari, (kini) Kecamatan Matesih, Kabupaten Karanganyar tanggal 13 Februari 1755, bisa dilihat dari berbagai sisi atau sudut. Dan yang paling menonjol selama ini, adalah tinjauan atau cara melihat dari sisi hukum kausalitas, sehingga selalu melahirkan sikap dan aktivitas yang pro, kemudian dibalas dengan sikap dan aktivitas yang kontra.

Sikap dan aktivitas yang saling berbalas itu, muncul ke permukaan dalam beberapa waktu, misalnya dalam bentuk forum sarasehan/diskusi di Jogja mulai 2019. Sangat mungkin, ekspresi sikap dan aktivitas kausalitas sebagai ekses peristiwa Perjanjian Giyanti, di masa-masa lalu sudah sangat sering terjadi, tetapi instrumen platform yang digunakan berbeda, atau mungkin tidak pernah dipublikasikan.

Melihat prosesnya, di satu sisi forum-forum diskusi yang terjadi di Jogja itu bisa disebut akibat, tetapi di sisi lain bisa juga disebut sebab. Dan berbagai keberuntungan yang diterima Jogja selama ini, mungkin juga bisa disebut sebagai akibat sekaligus sebab atau penyebab.

Perjanjian Giyanti adalah kepentingan Pangeran Mangkubumi selaku pendiri Keraton Jogja, yang bergelar Sultan HB I, dan VOC/Belanda yang diwakili Nicolas Harting. Sinuhun Paku Buwono (PB) III tidak punya kepentingan dalam perjanjian itu, maka sangat tidak masuk akal kalau disebut-sebut ada tandatangan dalam perjanjian tersebut.

Hasil telaah tiga sejarawan masing-masing Widodo Aribowo (kandidat doktor), Dani Saptono SS dan RM Restu menegaskan, sangat tidak mungkin raja Keraton Mataram Surakarta saat itu, PB III, membubuhkan tandatangan yang tentu akan diartikan setuju atau mendukung perjanjian tersebut.

Sejarawan Asga Widodo Aribowo, lebih melihat dari kacamata filosofis, bahwa raja-raja Mataram Islam tidak mungkin mau mengotori tangannya terlibat urusan duniawi, misalnya ikut tandatangan Perjanjian Giyanti itu. Karena, gelarnya sebagai raja Islam, adalah wakil Tuhan di bumi, terlebih Sinuhun PB III yang oleh Prof Andrik Poerwasito (UNS) dan Dr Purwadi disebut Ratu Gung Binathara.

Namun, kalau disebut Sinuhun PB III punya urusan dengan pamannya itu (Pangeran Mangkubumi), menurut Dr Purwadi (Lokantara Jogja) dan Widodo Aribowo (Asga) serta RM Restu (sejarawan Solo) memang betul. Karena, Sinuhun PB III hanya ingin agar keluarga besar Dinasti Mataram tidak berselisih dan pecah, tetapi selalu diupayakan tetap utuh dan tetap terjaga tali silaturahminya.

Nilai-nilai filosofi yang tersirat dalam setiap peristiwa yang terjadi di masa-masa kerajaan di Jawa, khususnya di masa Keraton Mataram, sering kali luput dari pemahaman para pengamat dan pencatat sejarah. Apalagi kalau para pengamat dan pencatat itu datang dari dunia barat, yang cara berpikirnya lebih didominasi logika, atas dasar hitam-putih dan cici-ciri peradaban barat lainnya.

Berbagai literaratur barat yang menyusun laporan peristiwa berjarah di Nusantara, khususnya di Jawa, banyak yang berdasar pada kemampuan logikanya. Sangat sedikit yang mampu menangkap nilai-nilai filosofis dan makna tersirat yang ada di sekitar dan di balik sebuah peristiwa, contohnya sejarah Perjanjian Giyanti itu.

Sayangnya, para ilmuwan dari Tanah Air, utamanya sejarawan, sangat meyakini buku-buku karya orang barat sebagai kebenaran sejarah dan selalu dijadikan referensi yang membanggakan untuk persyaratan gelar keilmuan yang diraihnya. Tetapi, dalam soal siapa yang agresif ”menabur benih dendam” proses kausalitas di atas, tidak sepenuhnya disebabkan oleh andil para ilmuwan yang kacamatanya hanya bisa untuk melihat referensi-referensi barat.

menjawab pertanyaan media
MENJAWAB PERTANYAAN MEDIA : Gusti Moeng selaku ketua LDA menjawab pertanyaan para awak media, setelah dirinya membuka sarasehan Perjanjian Giyanti yang digelar Lembaga Dewan Adat (LDA) di pendapa ndalem Kayonan, Baluwarti, Rabu 10/2. (foto : iMNews.Id/Won Poerwono)

Tak Bisa Menangkap Simbol

Karena, banyak yang tidak seperti itu. Sebaliknya, banyak pula ilmuwan yang kacamatanya hanya untuk menembus referensi-referensi dalam negeri, tetapi ikut terlibat dalam keperluan tertentu dalam mengungkap Perjanjian Giyanti. Termasuk yang ini, kebanyakan statusnya pegawai negeri (PNS/ASN), yang harus memilih manut pada (politik) pemerintah, ketimbang konsisten sebagai ilmuwan yang jujur tetapi karirnya jadi tersendat dan tidak akan mendapat jatah proyek.

Maka, Dani Saptoni, Widodo Aribowo dan RM Restu sangat yakin, bahwa banyak kesimpulan yang dibuat para penulis (buku) asing tidak tepat atau bahkan menyimpang dari peristiwa yang dipahaminya. Karena, peristiwanya rata-rata terjadi di Jawa yang telah memiliki peradaban/budaya tinggi, yang nyaris bertolakbelakang dengan peradaban/budaya barat tempat para penulis itu berasal.

”Ada sebuah tembang Asmarandana yang mengisahkan bagaimana kawicaksanan Sinuhun PB III yang berkait soal Perjanjian Giyanti. Tembang itu melukiskan cinta-kasih seorang Sinuhun terhadap kehidupan secara luas, terutama terhadap eksistensi pamannya, Pangeran Mangkubumi. Sisi ini yang tidak pernah dilihat para penulis barat. Padahal, dengan memahami isinya, kita bisa memahami suasana sesungguhnya pada saat peristiwanya terjadi,” tunjuk RM Restu.

Pernyataan seperti itu pula, yang dengan lantang dan tegas disampaikan RM Restu, ketika diberi kesempatan berbicara di forum Diskusi Budaya berjudul ”Masa Peralihan Mataram Islam”, yang digelar Forum Budaya Mataram bersama Din Dik Wil VII, di kagungandalem Masjid Agung Keraton Mataram Surakarta, 7 Maret 2020.

Di depan Dra Carolina Etty sebagai salah satu pembicaranya, RM Restu menyampaikan kekesalannya atas pemahaman yang tak lengkap kalangan ilmuwan/sejarawan di Tanah Air, karena tidak mampu menangkap nilai-nilai filosofis yang tersirat dalam Perjanjian Giyanti. Dia juga menilai, banyak ilmuwan/sejarawan tanah air yang terlalu bangga pada referensi dari barat, padahal di sana nyaris tak ada yang bisa menangkap nilai-nilai filosofis yang melukiskan suasana kejadian yang sesungguhnya.

”Keris Ki Kopek yang diberikan Sinuhun PB III kepada Pangeran Mangkubumi, jelas memiliki nilai filosofis tinggi. Apa ada seseorang yang hendak dijadikan target kekerasan, malah memberi senjata yang bisa digunakan untuk menjalankan tindak kekerasan itu?”.

”Makna lainnya, Ki Kopek yang diaturkan kepada Pangeran Mangkubumi, adalah simbol hubungan tanggungjawab sosial kekeluargaan antara pengayom dan yang diayomi. Di Keraton Mataram Surakarta, Ki Kopek adalah senjata di bawah level pusaka Kiai (K), apalagi dibanding level Kanjeng Kiai (KK),” tunjuk RM Restu menjelaskan.

Simbol nilai-nilai dan makna filosofis macam itu, dibenarkan Gusti Moeng, baik saat diwawancarai para awak media seusai forum diskusi ”Perjanjian Giyanti” di pendapa ndalem Kayonan, Rabu (10/2), maupun ketika berbincang-bincang dengan iMNews.Id melalui WA sebelum dan sesudah acara itu. Ketua Lembaga Dewan Adat (LDA) yang bernama lengkap GKR Wandansari Koes Moertiyah itu menyebut, hampir semua peristiwa penting yang terjadi di Keraton Mataram Kartasura-Surakarta, selalu tercatat dalam bentuk karya sastra gending atau tembang macapat.

sidang uji materi
SIDANG UJI MATERI : Gusti Retno Dumilah dan KPH Edy Wirabhumi tampak mengikuti sidang uji materi UU No 10/1950 tentang pembentukan Provinsi Jateng di Mahkamah Konstitusi 2012, meskipun gagal memisahkan Surakarta dari Jateng, mengingat Surakarta sudah menjadi Daerah Istimewa sesuai pasal 18 UUD 1945. (foto : iMNews.Id/Won Poerwono)

Tinggal Nafas Kehidupan Budaya

Menurut Pengageng Sasana Wilapa sekaligus Ketua Yayasan Pawiyatan Kabudayan Keraton Surakarta itu, Keraton Mataram Kartasura-Surakarta kaya pujangga yang selalu menyertai perjalanan jumenengnya seorang raja Paku Buwono. Selain sebagai paranparanata sesuai konsep kebijakan ”Sabda Pandita-Ratu”, para pujangga itu ikut mencatat setiap peristiwa yang terjadi di masanya dengan ketajaman dan ”skill” kemampuan ”kapujanggannya”.

Pendekatan estetika seni-budaya seperti itulah, yang selalu ingin ditiru Gusti Moeng dalam memimpin Lembaga Dewan Adat dan dalam posisi apapun, termasuk Pengageng Sasana Wilapa. Maka ketika menanggapi munculnya stigma buruk/negatif yang dialamarkan kepada Keraton Mataram Surakarta, cara-cara yang simbolik mulai dari ”ngudarasa” sampai sarasehan atau diskusi yang dipilih.

Masyarakat adat Keraton Mataram Surakarta bukannya tidak mengenal cara berdemokrasi, sehingga memilih cara sekadar ”ngudarasa’ saja, padahal yang dituntut adalah rasa keadilan. Sinuhun PB X dan PB XI yang merintis lahirnya dewan perwakilan rakyat dan Bale Agung, bukankah itu bentuk persiapan kehidupan berdemokrasi jauh sebelum NKRI lahir? Namun, demo atau aksi turun ke jalan, keliahatannya dipandang cara yang tidak etis dan estetis bagi warga yang menjunjung nilai-nilai peradaban Jawa ini.

Mencoba berdemokrasi dengan menyalurkan aspirasi lewat jalur yang ada, sudah banyak dicoba, misalnya uji materi UU No 10/1950 untuk mengembalikan status DIS dan sepak-terjang Gusti Moeng sampai dua periode di DPR RI, itu adalah contoh representasi keraton dalam berdemokrasi. Soal berdemokrasi dengan menyalurkan aspirasi politik melalui saluran-saluran yang benar dalam rangka mencari rasa keadilan, sudah benar-benar dicoba dan hasilnya ”Nol Besar”.

Sekali lagi, Perjanjian Giyanti memang bukan urusan Keraton Mataram Surakarta. Karenanya, tak elok dijadikan materi untuk membentuk opini publik berupa stigma buruk/negatif yang dialamarkan ke keraton. Karenanya pula, keraton tidak memiliki arsip kopi perjanjian yang ditandatangi Pangeran Mangkubumi dan Nicolas Harting itu.

Masyarakat adat Keraton Mataram Surakarta yang terwadahi dalam LDA, sangat mengadari bahwa suasana kehidupan di alam ”demokrasi” sekarang ini sudah ”dikuasai” kekuatan politik. Artinya, segala kebijakan pemerintah seakan-akan serba tergantung keputusan politik kepartaian, mirip dinding tembok tebal yang tidak mungkin bisa ditembus hanya dengan suara sarasehan/diskusi/seminar apalagi hanya ”ngudarasa”.

Menyadari realitas suasana seperti itu pula, forum-forum yang terjadi saat ada momentum ritual apapun di Keraton Mataram Surakarta, ya hanya sekadar ”ngudarasa”. Rasa keadilan itu, hanya akan menjadi ironi, ketika keraton terbesar yang paling banyak andilnya saat mendirikan republik ini, akhirnya hanya menjadi dongeng.

Rasa keadilan atas jasa-jasa dan pengorbanan Keraton Mataram Surakarta dengan sederetan figur tokohnya yang luar biasa, ya mungkin akan tinggal dirindukan saja, karena letaknya posisinya semakin jauh di awang-awang. Mungkin tinggal nafas kehidupan berkesenian, berbudaya dan berperadaban (Jawa) yang masih bisa diwujudkan, meski masalah itupun sering tersandung-sandung karena berjalan di luar saluran politik atau karena tidak tepat menggunakan saluran politik. (Won Poerwono-habis)

This Post Has One Comment

  1. Moses

    Tidak ada yang namanya Desa Giyantisari di Karanganyar, dan untuk kecamatannya sendiri masih masuk kec. Karanganyar, bukan kec. Matesih. Kekeliruan fatal, tolong diperbaiki

    Perjanjian Giyanti berlangsung di Dusun Kerten, Desa Jantiharjo, Kec. Karanganyar, Kab. Karanganyar.

Leave a Reply