Gunungan, Simbol Upacara Adat di Kraton Paling Populer, Sarana Doa dan Sarat Makna (seri 7 – bersambung)

  • Post author:
  • Post published:October 5, 2025
  • Post category:Budaya
  • Reading time:6 mins read
You are currently viewing Gunungan, Simbol Upacara Adat di Kraton Paling Populer, Sarana Doa dan Sarat Makna (seri 7 – bersambung)
TULUS-IKHLAS : Dukungan enam kabupaten dan Kota Surakarta dalam ritual hajad-dalem Pareden Sekaten Garebeg Mulud yang pernah diwujudkan di masa krisis multi dimensi di awal abad 21 lalu, mungkin bisa kembali diwujudkan menjadi dukungan yang tulus dan ikhlas, bukan pura-pura untuk mencari kesan. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Kekuatannya Hanya Empat Buah Pereden, “Kabage Kang Warata” Makin Sulit Diwujudkan

IMNEWS.ID – KRATON Mataram Surakarta mencatat sejarah baru karena mengeluarkan hajad-dalem Pareden dalam jumlah terbanyak, 9 pasang atau 18 buah di awal tahun 2000-an. Jumlah yang tergolong fantastis di saat kraton sudah lebih 50 tahun harus menjalani “proses pemiskinan” di alam republik yang pernah didukung kelahirannya pada 1945. Jumlah terbanyak dicapai pada suasana NKRI baru saja melewati “masa krisis”.

Mengapa di saat baru terjadi krisis justru bisa mengeluarkan Pareden terbanyak?. Jawabannya, sangat mungkin karena ada faktor Sinuhun PB XII yang masih jumeneng nata (1945-2004). Karena, pemimpin Mataram Surakarta itu masih dianggap sebagai “tempat bertanya” berbagai pihak, apalagi dalam urusan berbangsa dan bernegara. Enam kabupaten dan Kota Surakarta, terkesan “peduli” dan “memperhitungkan” posisi kraton.

Dalam pencermatan dan analisis iMNews.id (sejak di Suara merdeka-Red), ada eforia “kemenangan” atas “kebebasan” yang disebut reformasi, diperoleh melalui krisis multi-dimensi mulai 1998 yang. “Kemenangan” atas “kebebasan” yang membuat tatanan sosial, budaya, ekonomi, hukum, “politik” berubah nyaris total. Karena dianggap ada pengaruh “kearifan lokal”, maka dari situlah bisa disebut “kesan peduli” itu lahir.

TAK SAMPAI : Setiap kraton mengeluarkan hajad-dalem Pareden Garebeg Mulud, pasti disertai beberapa “Gunungan Anakan”, simbol makna genetika kehidupan. Tapi karena hanya untuk tujuan eforia kebebasan berekspresi yang dibiayai Dana Desa Rp 1 M, tak mungkin sampai memikirkan hal-hal ideal seperti di kraton. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

“Kesan peduli” itu terwujud dalam 14 Pareden yang mewakili enam kabupaten dan Kota Surakarta, masing-masing “urun” sepasang. Sedang yang dua pasang, adalah murni kekuatan swadaya kraton saat itu. Dan puncak pencapaian dalam jumlah “Pareden” terbanyak dalam perjalanan sejarah kraton di masa-masa krisis NKRI itu, terjadi dalam upacara adat hajad-dalem Sekaten Garebeg Mulud, sebagai ritual “paling populer”.

Selain sebagai bentuk “kepedulian” dan sikap “memperhitungkan” yang terkesan untuk menghargai kraton saat itu, juga disebut sebagai bentuk dukungan secara rasional. Yaitu, karena hampir semua  yang datang “ngalab berkah” setiap hajad-dalem “Pareden” Garebeg di kraton, adalah masyarakat yang berasal dari enam kabupaten dan satu kota di Wilayah Surakarta atau eks Karesidenen Surakarta itu.

Dukungan rasional juga termasuk tujuan upaya menyeimbangkan antara ketersediaan (supply) “Pareden” dan kebutuhan (demand) yang diinginkan masyarakat yang “ngalab berkah”. Karena ada ketimpangan antara keduanya seperti disebut dalam seri sebelumnya (iMNews.id, 3/10), akibat populasi penduduk di Tanah Air mengalami peningkatan berlipat-lipat sejak 1976, yang sudah terasa sekali di tahun menjelang tahun 2000.

EKSPRESI BERINGAS : Mungkin hanya ekspresi beringas, berebut dan menjarah yang ditiru masyarakat di pedesaan saat ngalab berkah “Pareden” Garebeg Mulud di kraton. Sehingga, rata-rata ekspresi kirab “tumpeng rasulan” di desa-desa yang diarak lebih menonjol unsur keberingasan saat berebut isi “tumpeng”. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Kesan “memperhitungkan” kearifan lokal kraton dan “pura-pura” peduli itu memang sepeeti itu keadaan sejatinya. Seperti hal yang sudah mustahil keadaan bisa berbalik 360 derajat, sejak terjadi “persoalan mendasar” proses kelahiran dan terbentuknya NKRI. Sikap kehilangan rasa hormat itu, seperti sudah mendarah-daging dan terus diturunkan berganti-ganti pemimpin di semua struktur lembaga pemerintahan.

“Proses pemiskinan” kraton yang dimulai saat NKRI lahir hingga republik ini berusia 80 tahun, jelas menempatkan kraton selalu dalam ketidakmampuan dan keterbatasannya. Terlebih, ketika populasi jumlah penduduk bertambah berlipat-lipat, sementara kraton sulit bisa menjamin swadaya dan kemandiriannya mencukupi kebutuhan sendiri, termasuk dalam menyediakan Pareden di setiap ritual Garebeg yang digelar.

Dukungan rasional seperti yang terjadi selepas krisis multi-dimensi memasuki abad 21, jelas tidak mungkin berlanjut. Terulang dua kali di tahun berikutnyapun tidak, karena “kepedulian” berupa dukungan rasional itu hanya “pura-pura” atau “samudana”, karena niat sejatinya justru sebaliknya. Itu terbukti ketika UU Otonomi Daerah dan Pilkada lahir, apalagi partai politik menjadi “supremasi kekuasaan”.

KEMAMPUAN BERPIKIR : Masyarakat di desa-desa yang belakangan ini heboh menggelar kirab mengarak “tumpeng rasulan”, lebih memperlihatkan pemandangan heboh dan kesenangan semata. Karena, memang tak punya bekal fundamental dan kemampuan berpikir membangun simbol peradaban seperti dilakukan para abdi-dalem itu. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Jadi, secara langsung atau tidak, kraton mengalami “proses pemiskinan” karena silang-sengkarut sistem perpolitikan di Tanah Air yang menempatkan parpol sebagai “pemegang kekuasaan”. Oleh sebab itu, kraton sampai tidak mampu memenuhi jumlah “pareden” yang cukup ketika rakyat rakyat ingin “ngalab berkah”, langsung atau tidak karena dominasi kekuasaan ada di tangan parpol yang notabene mewadahi suara rakyat.

Ini terbukti, nyaris tidak ada partai politik yang mendukung ketika APBD hingga APBN menganggarkan bantuan untuk pemeliharaan kebudayaan dan kraton, seperti yang tertuang dalam Perpres No. 29 Tahun 1964. Dan ini juga menunjukkan, aturan turunan berupa SKB tiga menteri (Mensos, Mendagri dan Menhan) yang semuanya bermuara dari pasal 18 ayat 2 UUD 45 itu, mungkin bisa disebut hanya “kata-kata kosong belaka”.

Bantuan “hibah” yang pernah beberapa kali dikucurkan di tingkat APBD Kota Surakarta dan APBD Provinsi   Jateng, sudah hilang sebelum tahun 2010 karena pengajuan permohonan dan penilaiannya diperlukan seperti Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Kewibawaan, harkat dan martabat kraton harus dikorbankan, karena sikap pemerintah justru jauh sekali dari makna pasal 18 ayat 2 UUD 45 dan beberapa aturan turunannya.

SIMBOL KEAGUNGAN : Pemandangan saat berlangsung donga wilujengan nagari hajad-dalem “Pareden Sekaten Garebeg Mulud” di kagungan-dalem Masjid Agung, hanya satu sisi tetapi bisa mewakili sebagai simbol keagungan dan kemegahan Kraton Mataram Surakarta yang menggelar upacara adat sakral sekaligus religius. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Karena kekuasaan atas anggaran didominasi partai politik dan untuk mendapatkan bantuan “dana hibah” harus rela diperlakukan seperti LSM, maka sudah tepat kalau kraton memutuskan untuk berdikari. Terlebih, yang didapat dari pengorbaan seperti itu, sangat jauh dari rasa keadilan yang seharusnya terpenuhi secara konstitusional. Tetapi, melalui situasi dan kondisi seperti itu, tak sengaja bisa membuka jalan.

Jalan yang semakin terbuka untuk membangun kesadaran dan kekuatan dari dalam, yang tidak perlu menunggu bantuan penguasa agar menghindari ketergantungan, karena pasti ada”konsekuensi politis” atas bantuan yang “bersifat politis”. Dengan kekuatan swadaya mandiri, kraton menggelar semua upacara adatnya sesuai kemampuannya, walau “hajad-dalem Pareden” hanya dua pasang, yang semakin jauh dari “permintaan”.

Walau tantangan masalah jumlah “supply” hajad-dalem Pareden semakin tak sebanding dengan jumlah “demand” yang “ngalab berkah”, tetapi kewibawan, harkat dan martabat kraton bisa terjaga. Tetapi perilaku “beringas” saling berebut saat “menjarah” Pareden akan tetap menjadi tantangan besar, karena pesan bijak “Yen wis kadonganan, nuli kabage kang warata” dari dalam Masjid Agung semakin sulit diwujudkan. (Won Poerwono – bersambung/i1).