Tantangan Menarik, Jika Warga Pakasa Cabang Bisa “Ngalab Berkah Pareden” di Daerahnya
IMNEWS.ID – CITRA visual berebut dan menjarah hajad-dalem “Pareden” yang sering tampak dalam setiap upacara adat, khususnya jenis “Garebeg”, jelas bukan niat sengaja memberi teladan dan contoh buruk kepada publik secara luas, khususnya yang “ngalab berkah”. Itu hanya sebuah ekspresi spontan dan situasional, mengingat kraton belum bisa menjamin “keamanan” dan “kenyamanan” akibat berbagai faktor.
Faktor atau alasannya ada beberapa hal, di antaranya karena ketersediaan jumlah “Pareden” yang belum bisa sesuai dengan jumlah yang “ngalab berkah”, untuk mengikuti pertambahan jumlah animo yang trendnya terus naik (iMNews.id, 5/10). Faktor lain yang seperti perilaku beringas menjarah, harus dimulai dari internal abdi-dalem yang bertugas, perlu merubah pola pikir dan edukasi untuk tidak memulai “memetik”.
Faktor berikut adalah sepenuhnya untuk masyarakat yang “ngalab berkah”, perlu terus diedukasi terutama saat sedang berlangsung upacara dan “donga wilujengan” di kagungan-dalem Masjid Agung. Intinya, “isen-isen” hajad-dalem “Pareden” baru “dibagi-bagikan” setelah “selesai didoakan”. Sepanjang pengalaman, masyarakat yang “ngalab berkah” tak akan “memetik” (mengambil) isi Pareden, kalau tidak “diberi” contoh.

Sampai pada ilustrasi seperti itu, peta persoalan menjadi jelas di balik simbol upacara adat di kraton yang berupa “Gunungan” atau “Pareden” itu. Sisi kekurangan di atas wajar adanya karena deretan sisi kelebihan tiga jenis upacara adat “Garebeg”, apalagi Sekaten Garebeg Mulud kini masih dikenal paling populer. Berbagai ritual produk peradaban Mataram Islam Surakarta dan Budaya Jawa juga masih memukau.
Seiring perubahan zaman dan peradaban yang semakin maju, memang melahirkan fakta-fakta baru di sisi lain. Paradigma boleh berubah bersamaan dengan perubahan tatanan sosial kemasyarakatan secara umum, yang berpengaruh ke dalam strata adat di internal kraton. Tetapi, dalam soal menjaga pelestarian Budaya Jawa dan menjaga kelangsungan Kraton Mataram Surakarta sebagai sumbernya, tidak boleh dikorbankan, kapanpun.
Oleh sebab itu, ketika kalangan kerabat dari keluarga kraton atau internal strata adat yang disebut sentana trah darah-dalem dan keluarga “top leader” di kraton yang makin menurun jumlahnya, lahirlah fakta baru tersebut. Yaitu, fakta bergesernya kalangan warga dari sejumlah elemen sanggar dan Pakasa, dari hanya sebagai daya-dukung legitimatif, menjadi daya-dukung fungsional di strata adat internal.

Keberadaan beberapa elemen sanggar, di antaranya Sanggar Pasinaon Pambiwara, lulusannya bisa tersalur ke wadah Pasipamarta, menjadi daya-dukung fungsional, ke depan akan menjadi elemen legitimatif strategis. Sanggar Paes-Tata Busana Pengantin Jawa yang dipimpin GKR Ayu Koes Indriyah, kelak para lulusannya bisa bergabung dalam wadah sejenis paguyuban dan bisa berfungsi strategis bersinergi dengan Pasipamarta.
Elemen Putri Narpa Wandawa-pun yang pelan-pelan berkembang ke daerah, akan menjadi instrumen strategis untuk menjaga pelestaran Budaya Jawa dan menjaga kelangsungan kraton. Dan yang paling mendesak dibutuhkan, untuk memperkuat tata-kelola di berbagai bagian dalam pelaksanaan setiap jenis upacara adat di kraton. Terlebih, ada keperluan urgen dalam menyeimbangkan antara “suppley” dan “demand” itu.
Sambil terus mengedukasi tatacara “pasuwitan” dan peningkatan kualitasnya dari waktu ke waktu, elemen Pakasa cabang juga perlu terus didorong untuk mempersiapkan diri sebagai potensi kekuatan fungsional dan strategis untuk kelancaran jalannya semua jenis upacara adat. Terutama, perlu pemikiran untuk ikut mencari solusi terbaik atas ketimpangan antara “supply” Pareden dan “demand” yang “ngalab berkah”.

Elemen Pakasa cabang, juga elemen Putri Narpa Wandawa yang bisa berkembang di berbagai daerah yang bisa dibentuk cabang baru seperti Kabupaten Ponorogo dan Kudus, sangat potensial untuk kembali mewujudkan kekuatan daya dukung upacara adat seperti di masa-masa lalu. Kalau dulu enam kabupaten dan Kota Surakarta pernah menjadi “daya dukung” semu, ke depan bisa berubah menjadi nyata di tangan Pakasa.
Daya dukung untuk menyeimbangkan antara “persediaan” jumlah “pareden” agar sepadan dengan jumlah yang “ngalab berkah” (kebutuhan), menjadi tantangan yang menarik untuk diwujudkan di masa depan. Cukup untuk satu jenis upacara adat saja, yaitu hajad-dalem Pareden Garebeg Mulud Sekaten, yang paling populer. Andai tiap cabang Pakasa “urun” sepasang “Pareden”, warga di masing-masing cabang bisa “ngalab berkah”.
Tentu saja, sepasang “Pareden” yang dibawa ke Surakarta atau dibuat di “Kota Pujangga” ini, untuk didoakan terlebih dahulu di dalam kagungan-dalem Masjid Agung. Dengan “Ancak-Tantaka” yang sudah baku ukuran dimensi dan bentuk, juga “isen-isen”nya yang simbolik dan dari bahan yang awet, pasti masih memungkinkan untuk “Kabage kang warata” oleh warga yang “ngalab berkah” di masing-masing cabang.

Akan melahirkan banyak edukasi, manfaat dan makna filosofi akan tetap terjaga, jika proses “ngalab berkah” bisa diwujudkan dengan cara demikian. Tentu saja, “Pareden” baru bisa dibawa pulang ke masing-masing cabang, setelah didoakan di kagungan-dalem Masjid Agung. Teknis “ngalab berkah” di cabang- cabang bisa beragam, tetapi esensi upacara adat kebesaran digelar untuk merayakan Maulud Nabi Muhammad SAW.
Sebagai ilustrasi, potensi dukungan khususnya dalam gelar hajad-dalem “Pareden” Sekaten Garebeg Mulud pernah diberikan enam kabupaten, Kota Surakarta dan para pedagang Pasar Klewer. Tetapi, perkembangan sosial politik telah merusak hubungan legitimatif itu, ketika “kekuasaan” diambil-alih “partai politik”. Selain itu, berhembusnya berbagai anasir “intolerance” sejak reformasi, semakin merubah “paradigma”.
Datangnya anasir-anasir “intolerance” dengan berbagai simbol fisik dan nonfisik “dogmatis”, telah membalik sikap, perilaku, pola berpikir dan cara pandang hampir semua masyarakat Jawa dalam beberapa generasi. Bahkan, ada beberapa anggota DPRD Kota Surakarta tega berucap, “eman-eman duwite nggo nyumbang kraton, yen mung kanggo makani setan” di tiap upacara yang digelar Kraton Mataram Islam Surakarta. (Won Poerwono – habis/i1)
