Ada yang Berubah Dalam Wilujengan Nagari “Perdana” Senin Pon Kemarin
IMNEWS.ID – SENIN Pon siang (13/11) yang tepat pada tanggal 29 Bakda Mulud Tahun Jimawal 1957, Kraton Mataram Surakarta menggelar upacara adat dari 9 agenda ritual besar yang selama ratusan tahun selalu dilaksanakan, yaitu “wilujengan nagari” Sesaji Mahesa Lawung.
Namun, ritual yang selengkapnya dilakukan di empat titik lokasi dan berakhir di hutan lindung atau “Wanalela Krendawahana” itu, untuk tahun ini digelar lebih terbatas dan tidak sebesar serta “semeriah” tahun-tahun lalu, karena salah satu alasannya adalah jalan utama menuju lokasi sepanjang 500-an meter, sedang dicor beton dan seharusnya ditutup total.
Terlepas dari kesibukan perawatan jalan provinsi yang menghubungkan Kota Surakarta dengan sejumlah kota/kabupaten di wilayah utara Jawa seperti Kabupaten Grobogan, hingga wilayah Gunung Muria bahkan Kabupaten Rembang seakan mirip “proyek abadi” jalan lintas Surakarta-Jakarta di masa lalu.
Khusus pengecoran jalan utama kelas kabupaten menuju lokasi hutan Krendawahana, bisa disebut sebuah “kesadaran”. Bahkan sangat mungkin, “proyek” pelebaran dan penguatan badan jalan yang dilakukan Pemkab Karanganyar itu, merupakan respon positif terhadap lokasi yang disakralkan kraton itu, karena punya potensi bisa dikembangkan sebagai objek wisata prospektif.
Bahkan tak hanya jalan utama menuju lokasi hutan lindung di Desa Krendowahono, Kecamatan Gondangrejo itu yang sedang dalam pekerjaan pengecoran, gang sepanjang 100-an meter dari jalan utama menuju titik lokasi upacara itu juga sudah tampak selesai dicor, walau ada beberapa titik yang mulai retak tak beraturan, pertanda di dalamnya tak menggunakan kontruksi besi beton.
Gangguan yang sama seperti yang dialami para pengguna jalan di sepanjang jalan provinsi lintas utara itu, disikapi kraton yang terpaksa “merampingkan” atau meringkas jumlah pendukung upacara tersebut hanya diikuti sekitar 200-an peserta. Upaya untuk menyesuaikan situasi dan kondisi itu, sudah diumumkan secara resmi di Pentapa Sitinggil Lor.
Gusti Moeng selaku Pengageng Sasana Wilapa/Pangarsa Lembaga Dewan Adat, tampak sudah mengatur dan mengantisipasi situasi dan kondisi di lapangan. Oleh sebab itu, konsentrasi upacara adat ini sedikit digeser di Pendapa Sitinggil Lor, agar para utusan perwakilan Pakasa cabang yang berdatangan dari daerah yang jauh, cukup mengikuti ritual di lingkungan kraton.
Dengan begitu, konvoi mobil/bus pengangkut para peserta upacara di Krendawahana, tidak begitu merepotkan lalu-lintas pengguna jalan yang selalu padat merayap di jalan provinsi, bahkan “setengah memaksa” separo jalan kabupaten itu dibuka separo untuk lewat. Kemudahan ini tentu dinikmati penyelenggara “proyek peragaan ritual” sesi pagi dari “seberang”.
“Jauh-jauh hari kami mendapat informasi soal situasi dan kondisi jalan menuju Krendawahana yang sedang diperbaiki. Maka, kami mengatur dan mengantisipasi itu. Pembacaan riwayat Mahesa Lawung Pendapa Sitinggil saja, karena semua warga Pakasa cabang sarankan hadir di situ”.
“Kalau ada yang kepengin tetap sampai di Krendawahana, yang ‘nggak apa-apa. Tetapi sebelumnya sudah kami beri tahu. Bahwa jalan menuju lokasi sedang dicor, dan saat kami meminta izin ke Polres, bisa dibuka separo. Yang mengadakan Mahesa Lawung pagi tadi, juga ikut menikmati upaya kami,” jelas Gusti Moeng menjawab pertanyaan iMNews.id.
Pengageng Sasana Wilapa/Pangarsa Lembaga Dewan Adat yang dimintai konfirmasi kemarin siang sepulang dari Krendawahana, memebenarkan bahwa konsentrasi upacara yang sedikit digeser ke Pendapa Sitinggil Lor, karena ada berbagai alasan di atas. meski begitu, perubahan itu tidak sampai mengurangi esensi makna ritual “wilujengan nagari” tersebut.
Bahkan menurutnya, rangkaian upacara adat “wilujengan nagari” Sesaji Mahesa Lawung yang digelar “perdana” atau “kali pertama” di tahun 2023 setelah Pengageng Sasana Wilapa/Pangarsa Lembaga Dewan Adat bekerja penuh di dalam kraton sejak 1 Januari 2023, justru sangat lengkap dan kembali seperti pelaksanaan sebelum 2017.
Ritual “wilujengan nagari” Sesaji Mahesa Lawung, dimulai dengan doa, dzikir dan tahlil di Pawon Gandarasan yang lokasinya di ujung tenggara kawasan kedhaton Kraton Mataram Surakarta, yang dipimpin abdi-dalem jurusuranata dan diikuti sejumlah kerabat dan masyarakat adat yang sangat terbatas.
Ritual itu hanya berjalan sekitar 45 menit, dilanjutkan dengan prosesi membawa kepala kerbau beserta uba-rampe wilujengan yang diusung bersama-sama para abdi-dalem dalam barisan yang dikawal beberapa bregada prajurit. Sebelum 2017, prosesi itu dilakukan rutin tiap tahun di dalam kawasan kedhaton, karena harus dinggah di topengan Maligi Pendapa Sasana Sewaka.
Di masa “damai tapi tegang” (2004-2017), prosesi dikawal sampai empat Bregada Prajurit ditambah korsik drumband. Tetapi, yang terjadi Senin Pon (13/11) kemarin, hanya dikawal belasan prajurit Bregada Tamtama tanpa korsik drumband, walau ada rangkaian singgah di topengan Maligi, ketika GKR Timoer Rumbai Kusumadewayani “caos dhahar”, berdoa dan bermeditasi.
Setelah itu, barisan “senyap” tanpa suara drumband versi Senin Pon (13/11) itu, dari topengan Maligi dikawal menuju Pendapa Sitinggil. Di situ, sekitar 300-an kerabat dan masyarakat adat sudah menempatkan diri melingkari meja panjang tempat menaruh uba-rampe wilujengan Sesaji Mahesa Lawung.
Barisan yang dipimpin Gusti Moeng segera masuk Pendapa Sitinggil Lor dan masing-masing mengambil tempat yang tersedia, terutama kelompok abdi-dalem juru suranata dan abdi-dalem “Kanca kaji” serta abdi-dalem keparak pembawa uba-rampe yang kebanyakan dilakukan para penari Bedaya Katawang dan ibu-ibu Putri narpa Wandawa pimpinan GKR Timoer Rumbai.
Kepala kerbau yang diusung, lalu diletakkan di meja panjang atas arahan Gusti Moeng sejak 2004 hingga kini memimpin upacara itu dan berbagai jenis upacara adat besar lain di kraton. Sesudah semua menempatkan diri, putra mahkota KGPH Hangabehi segera menyampaikan “dhawuh” kepada RT Irawan Wijaya Pujodipuro untuk memimpin doa wilujengan.
Doa “wilujengan nagari” Sesaji Mahesa Lawung dipandu abdi-dalem jurusuranata itu, dalam dua versi yaitu secara Islam dan narasi berunsur Hindu dan Jawa. Tiga versi doa selalu dilakukan secara khusus dalam ritual ini, untuk meneladani zaman Kraton Demak atau sebagai awal kraton Islam di Jawa (abad 15), yang tetap menghendaki ada ritual “Sesaji Raja Wedha”.
Selain doa dalam tiga versi, rangkaian ritual di Pendapa Sitinggil Lor, Senin siang (13/11), juga dilengkapi dengan pembacaan riwayat singkat lahirnya ritual “wilujengan nagari” Sesaji Mahesa Lawung oleh juru pambiwara, KP Puspitodiningrat. Informasi landasan sejarah itu penting diberikan, karena konsentrasi ritual digeser sedikit ke Pendapa Sitinggil Lor. (Won Poerwono-bersambung/i1).