“Kekayaan Baru” yang Harus Dipahami Generasi Masyarakat Adat Berbagai Elemen
IMNEWS.ID – SELAMA hampir dua bulan sejak akhir Juli hingga awal September ini, Kraton Mataram Surakarta punya kesibukan yang di luar kebiasaan. Karena, dalam tiga bulan di tahun Masehi itu juga ada bulan Mulud (Jawa), dan kebetulan jatuh pada Tahun Dal 1959 yang datang tiap 8 tahun atau sewindu. Dan karena dua faktor itu, maka ada dua peristiwa adat dan budaya besar berbasis Jawa di Tahun 2025 ini.
Dua peristiwa adat dan budaya besar yang digelar kraton di tahun 2025 ini, adalah upacara adat Sekaten Garebeg Mulug dan “adang sekul” atau “mbethak” dengan “dandang” pusaka Kiai Dhudha, Kiai Tambur, Nyai Rejeki dan Nyai Blawong. Dua ritual itu seakan berurutan puncaknya, tetapi silih-berganti proses rangkaian tatacaranya, hingga waktunya lumayan panjang dan terkesan berkaitan satu dengan yang lain.

Sekaten Garebeg Mulud 2025 tetap didukung dengan kegiatan pasar malam, yaitu “Maleman Sekaten 2025”, dibuka sejak awal Agustus. Lokasi yang menampung kegiatan pasar malam itu, hanya bagian depan Masjid Agung, kompleks Pendapa Pagelaran Sasana Sumewa, Alun-alun Kidul dan baru menjelang puncak Grebeg Mulud, difungsikan halaman Masjid Agung. Sedang Alun-alun Lor, dijaga tetap kosong dari kegiatan Sekaten.
Kedua jenis upacara adat yang sama-sama berada di bulan Mulud dan Tahun Dal 1959 ini, masing-masing punya tahapan tatacara dalam waktu yang panjang. Diawali dengan pembukaan “maleman Sekaten 2025” awal Agustus, ritual Sekaten Garebeg Mulud 2025 dimulai. Sebelumnya, ritual “Donga Wilujengan (Wuku) Dhukutan” digelar Bebadan Kabinet 2004, sebagai tahap awal tatacara “adang sekul” di Tahun Tahun Dal.

Tahapan tatacara Sekaten Garebeg Mulud 2025 memasuki proses ritual “jamasan” dua perangkat gamelan Kiai Guntur Madu dan Kiai Guntur Sari atau sepasang gamelan Kiai Sekati dilakukan. Waktunya dalam beberapa hari, tempatnya berbeda dan macam benda yang “dijamas” banyak sekali bagiannya. Setelah ini, sampailah pada tatacara ritual “ungeling gangsa Sekaten ingkang sepindhah” di halaman masjid, Jumat (29/8).
Bersamaan dengan itu, tahapan tatacara “adang” atau “mbethak” Tahun Dal juga sampai pada aktivitas mengumpulkan air dan tanah di sejumlah tempat lintas wilayah kabupaten/kota. Waktu yang diperlukan cukup panjang, karena dalam satu hari hanya bisa menjangkau satu atau dua lokasi, misalnya antara sumber air Pengging (Boyolali) dan Cokrotulung (Klaten). Begitu pula saat mengumpulkan unsur tanah dan kayu.

Tatacara ritual Sekaten Garebeg Mulud 2025 selama seminggu kagungan-dalem Masjid Agung menjadi aktivitas adat inti dan esensi menyambut hari besar Maulud Nabi Muhammad SAW. Mulai Jumat (29/8) hingga Rabu (3/9), sepasang gamelan Sekaten, Kiai Guntur Madu di Bangsal Pradangga Kidul dan Kiai Guntur Sari di Bangsal Pradangga Lor, ditabuh bergantian menyajikan “orkestra” Gendhing Rambu dan Gendhing Rangkung.
Selama itu pula, di kompleks Pendapa Sitinggil Lor tiap malam mulai Jumat (29/8), disajikan pentas seni tari “Sekaten Art Festival” yang digelar Bebadan Kabinet 2004. Sedankan tahapan tatacara “adang” tahun Dal, sudah berhasil mengumpulkan unsur air dan tanah yang dijadinan adonan untuk membuat “keren” atau tungku. Juga terkumpul beberapa jenis kayu dari berbagai daerah yang jauh dijangkau dari Surakarta.

Serangkaian ritual Sekaten Garebeg Mulud, baik saat dibuka dengan tabuhan erkestra kali pertama (29/8) hingga puncak ritual prosesi Gunungan, Jumat (5/9), “masih ada” beberapa Pakasa cabang yang mengirim utusan perwakilannya. Begitu pula, saat mulai digelar proses ritual “adang” yang diawali dengan “miyosipun dandang Kiai Dhudha”, Jumat malam (29/8) hingga ritual “cethik geni” Sabtu malam (6/9).
Sampai tatacara ritual “adang” di Pawon Gandarasan berlangsung Minggu malam (7/9) hingga membagi-bagikan untuk masyarakat adat yang “ngalab berkah” Senin pagi (8/9), juga masih ada utusan perwakilan Pakasa cabang. Tetapi, situasi dan kondisi secara umum memang bisa dimaklumi, sangat berpengaruh pada semangat “sowan” pada tiap tahapan rangkaian ritual itu, yang tentu jadi penghambat upaya pengenalan ritual ini.

Bagi masyarakat adat generasi kedua dan ketiga setelah era Sinuhun PB XII (1945-2004), upacara adat “adang” di Tahun Dal adalah kekayaan adat, tradisi dan budaya kraton yang belum banyak dikenal dan lebih mirip sebagai “kekayaan baru”. Apalagi, bagi beberapa elemen masyarakat di Kraton Mataram Surakarta seperti Pakasa cabang, atau bahkan publik secara luas, mungkin menjadi sesuatu yang asing.
Tetapi, karena ritual “adang” di Tahun Dal hanya datang sewindu atau 8 tahun sekali digelar dalam situasi dan kondisi kehidupan secara umum sedang tidak baik-baik saja, maka sangat bisa dimaklumi ketika proses pengenalan dan pemahaman bagi beberapa elemen masyarakat adat, menjadi terbatas. Upaya pengenalan nilai-nilai hidup sederhana yang dicontohkan Ki Ageng Tarub, harus ditunggu sewindu lagi di tahun 2033. (Won Poerwono – bersambung/i1)