Ada Faktor Perbedaaan Mendasar di Masing-masing Daerah yang Menentukan Wajah Sinergitasnya
IMNEWS.ID – SEBAGAI eks wilayah kekuasaan zaman Kraton Majapahit (abad 14), bahkan sebelumnya, daerah-daerah yang kemudian disebut Kabupaten Ponorogo, Trenggalek, Pacitan, Magetan, Tulungagung, Ngawi, Madiun dan Kabupaten Nganjuk yang sejak alam NKRI disebut wilayah “Mataraman”, jelas mempunyai ciri-ciri berbeda dari karakter sosiologis dan antropologis masyarakatnya.
Bahkan, ketika mencermati karakter elemen/unsur teologisnya, menjadi berbeda lagi dibanding ciri-ciri sosiologis dan antropologis yang dimiliki masyarakat di wilayah sekitar Gunung Muria, sebagai poros kekuatan pelestarian budaya Jawa wilayah utara. Begitu pula ketika dibanding masyarakat di wilayah sebelah timurnya, seperti Kabupaten Grobogan, Blora dan Sragen.
Faktor yang mempengaruhi pertumbuhan karakter masyarakat di masing-masing daerah memang sangat banyak dan juga berbeda-beda, tetapi Kabupaten Ponorogo bisa terbentuk menjadi poros kekuatan yang mampu mengorganisasi dan mengkoordinasi daerah-daerah berkarakter sejenis di sekitarnya. Label “Mataraman”, terlebih Pakasa, menjadi sarana kekuatan ikatannya.

Fenomena yang muncul pada peringatan HUT ke-92 Pakasa di Surakarta dan peringatan HUT ke-7 Pakasa Cabang Ponorogo, telah membuktikan lahirnya poros kekuatan pelestarian budaya Jawa di wilayah timur. Karena, Kabupaten Pacitan, Trenggalek, Magetan, Ngawi, Nganjuk dan Kabupaten Madiun, secara representatif hadir di sana.
Memang, apabila beberapa pengurus Pakasa cabang seperti Ngawi, Nganjuk, Madiun dan beberapa daerah di sekitarnya yang berada di wilayah tengah sisi barat Provinsi Jatim ini, bukan tidak mungkin akan menjadi poros kekuatan mandiri. Karena, masyarakat adat penjaga dan perawat makam atau petilasan leluhur Dinasti Mataram juga terbuka dan akomodatif terhadap Pakasa cabang.
Perbedaan karakter atau sifat-sifat yang mendasar dari masyarakatnya itu, jelas menentukan banyak hal, misalnya bagaimana sinergitas secara proporsional itu bisa diwujudkan antara masyarakat adat dan kepengurusan Pakasa cabang. Bahkan, akan menentukan model dan cara menyikapi keberadaan makam/petilasan leluhur Dinasti Mataram.

Di daerah-daerah di kawasan poros utara misalnya, cara menyikapi keberadaan makam/petilasan leluhur itu seperti yang diperlihatkan masyarakat adat penjaga makam/petilasan di Kabupaten Pati, misalnya. Model yang digunakan, ya sesuai dengan naluri adat dan tradisi serta faktor penguasaan/pengetahuan teologisnya, seperti yang tercermin pada ritual haul.
Cara dan model menyikapi keberadaan makam/petilasan di kawasan poros utara yang bertitik sentral di Kabupaten Pati, jelas berbeda dengan cara dan model kawasan poros timur yang bertitik sentral di Kabupaten Ponorogo. Suatu saat kalau kawasan poros tengah sudah eksis, akan beda lagi cara dan model menyikapinya, karena karakter masyarakatnya sudah beda lagi.
Walau punya kemiripan, karakter masyarakat adat di wilayah selatan sisi barat yang kini diperlihatkan Kabupaten Magelang juga sedikit berbeda lagi, karena memiliki latarbelakang sosiologis, antropologis dan faktor/unsur teologis yang berbeda dari yang sudah ada. Makam Ki Ageng Karotangan di Astana Pajimatan di Desa Paremono, Kecamatan Mungkid, Kabupaten Magelang, juga beda.

Pakasa Cabang Magelang yang dipimpin KRT Bagiyono Rumeksonagoro sepertinya tak mengalami kesulitan bersinergi dengan para pamong makam leluhur Dinasti Mataram di Astana Pajimatan Paremono itu. Cara dan model menyikapi keberadaan makam juga berbeda dengan cara dan model menyikapi kehadiran Pakasa cabang, karena keduanya lebih terbuka melihat prospek lebih baik ke depan.
Cara dan model yang berbeda lagi diperlihatkan masyarakat Kabupaten Boyolali yang memiliki kompleks makam Adipati Ki Ageng Sri Makurung Handayaningrat di Kelurahan Dukuh dan makam Pujangga Yasadipura di Kecamatan Banyudono serta beberapa lainnya. Karena, faktanya di beberapa lokasi makam di kawasan ini baru satu atau dua kali diadakan ritual haul.
“Kelihatannya memang ada perbedaan di antara makam-makam tokoh leluhur Dinasti Mataram. Makam para tokoh ‘Wali Sanga’ lebih dulu dikenal masyarakat sampai jauh di luar provinsi, bahkan luar negeri. Tetapi, makam trah keturunan Majapahit baru belakangan dikenal luas,” ujar KRA Panembahan Didik Gilingwesi Hadinagoro selaku “Plt” Ketua Pakasa Kudus.

Pandangan KRA Panembahan Didik itu berdasarkan pengalamannya yang pernah menjadi bagian dari pamong makam Sunan Kudus, yang sekaligus juga sebagai salah seorang trah darah-dalem Sunan Kudus. Saat dimintai konfirmasi iMNews.id, kemarin, disebutkan bahwa dua makam tokoh “Wali Sanga” di Kabupaten Kudus, yaitu Sunan Kudus dan Sunan Muria, punya perbedaan dengan Pati.
Dari pengamatannya mengikuti ritual haul di makam Ki Bagus Kuncung, Syeh Jangkung, Kyai Ageng Ngerang dan lainnya di Pati selama dua tahun ini, memang ada kemiripan pola pengelolaan makam dan aset-aset produktifnya dengan Kudus. Tetapi, dua makam Wali Sanga di Kudus jauh lebih dulu dikenal dan diziarahi publik dari luar provinsi, bahkan dari luar negri, dibanding Pati.
Menurutnya, fakta itu hanya mencerminkan perbedaan grafik secara ekonomis, tetapi sama-sama tidak menjamin seperti apa wajah sinergitas antara pamong makam dengan kehadiran Pakasa cabang. Karena, budaya Jawa sudah tidak begitu dikenal masyarakat Kabupaten Kudus. Bahkan kajian Dr Purwadi menyebut, Kudus sejak abad 16 sudah tumbuh menjadi kota industri. (Won Poerwono-habis/i1).