Besalen Empu Tingal di Desa Hadipolo Sudah Vakum, Desa Bareng yang Bikin Alat Pertanian
IMNEWS.ID – PADA seri tulisan sebelumnya (iMNews.id, 28/12), Drs MT Arifin SU menampilkan sekilas hasil eksplorasi sejarah keris di Jawa (dan Madura-Red), untuk menunjukkan arah para pecinta dan pelestari karya Tosan Aji terutama keris. Apalagi, ada empu muda lahir dan besalennya di Bendo Wangen (Jepara) mampu menghasilkan karya kriya logam “masa kini”.
Kabupaten Jepara dan munculnya Empu Tumaji (44) yang tergolong masih muda dan mengedepankan cara kerja efisiensi dalam soal “waktu dan tenaga”, mungkin menjadi fenomena lahirnya “empu-empu modern”, masa kini dan mendatang. Dalam fenomena itu, mungkin juga masih banyak besalen di berbagai daerah/kabupaten masih eksis beraktivitas, atau menjadi “pande besi”.
Dalam dinamika perjalanan waktu, memang sangat banyak terjadi perubahan yang menyebabkan produk keris berubah fungsi dan makna, termasuk kehidupan modern yang tidak menempatkan keris sebagai kebutuhan. Kraton Mataram Surakarta yang sudah tidak punya kedaulatan politik, menempatkan keris bukan lagi sebagai kebutuhan dari dulunya sebagai simbol jabatan.
Walau dinamika sosial, budaya dan politik seperti itu, itu bukan berarti peradaban dunia juga tidak suka keris. Kalau masih ada warga bangsa yang menganggap keris sebagai “berhala”, bahkan membangun gerakan untuk “menistanya”, mungkin bangsa Indonesia dan pemerintahnya akan malu sendiri, karena Unesco justru mengakuinya sebagai heritage dunia sejak 2008.
Di sisi lain, peristiwa kirab budaya peringatan HUT ke-93 Pakasa dan FSBKN anggota MAKN 2024, 13-15 Desember, menjadi momentum untuk melihat salah satu sisi potensi dalam Budaya Jawa. Yaitu, dua sisi kekuatan spiritual kebatinan sekaligus religi, yang hingga kini masih menjadi bagian hidup masyarakat Jawa, karena bisa dirasakan secara langsung manfaatnya.
Peristiwa yang sebenarnya hanya sebagai kesempatan mengekspresikan potensi diri sebagai masyarakat adat anggota MAKN, secara tidak sengaja telah melahirkan momentum penting. Yaitu tampilnya sebuah “atraksi” tentang nilai-nilai manfaat, yang terselip di antara doa dan harapannya, bahwa NKRI dan bangsa ini mengakui masyarakat adat “De jure” dan “De facto”.
“Atraksi” yang memperlihatkan contoh-contoh nilai manfaat adanya masyarakat adat milik Kraton Mataram Surakarta yang bernama Pakasa itu, sebenarnya hanya sebagai salah satu akibat dari “human error” yang terjadi dalam pengelolaan event HUT ke-93 Pakasa dan FSBKN MAKN 2024. Karena “EO”-nya amatiran, memberi akibat langsung atau tidak, posisitf dan negatif.
Akibat yang secara tidak langsung ditimbulkan tetapi memberi efek positif itu, adalah saat kontingen Pakasa Cabang Kudus kesal karena merasa “dipermainkan”. Urutan barisan yang sebelumnya nomer 4, tiba-tiba dipindah ke urutan paling belakang. Keputusan itu dilakukan secara sepihak dan tiba-tiba di lapangan, agar suasana tidak hujan tetap “dijamin” Pakasa Kudus.
Insiden kecil yang mengandung unsur kesengajaan karena untuk sebuah alasan itu, di luar dugaan telah memberi efek positif terhadap keseluruhan jalannya event peristiwa budaya HUT ke-93 Pakasa dan FSBKN MAKN 2024. Yaitu datangnya pengakuan langsung atau tidak langsung, bahwa hujan tidak turun setidaknya di Kota Surakarta, sepanjang hari Sabtu (14/12).
Kota Surakarta sepanjang hari mulai pukul 10.00 WIB hingga kesempatan Malam Minggu, berada dalam keadaan terang-benderang tanpa hujan. Bahkan sampai Minggu siang (15/12) sekitar pukul 15.00 WIB, hujan baru turun kembali membasahi bumi. Sedikitnya dua ribu peserta kirab dan masyarakat luas di lingkup Kota Surakarta, merasakan suasana tanpa hujan dua hari itu.
Keluarga besar Kraton Mataram Surakarta terutama Pakasa dan MAKN peserta kirab, mungkin melihat secara langsung bagaimana sebelumnya hujan menjadi potensi ancaman berlangsungnya acara kirab. Dan insiden kecil yang terjadi justru memberi efek positif, yaitu banyak yang diuntungkan karena jasa-jasa dan kerja nyata “tim pawang hujan” Pakasa Cabang Kudus.
Di salah satu sisi itulah, ada fenomena masyarakat adat Pakasa Cabang Kudus, ada momentum peristiwa budaya HUT Pakasa dan kirab FSBKN MAKN, juga ada potensi ancaman hujan dan ada atraksi nyata bagaimana sebuah tim pawang hujan bekerja. Praktik cara-cara “memohon” kepada Allah SWT agar hujan ditunda dan dialihkan, dipimpin langsung KRA Panembahan Didik Gilingwesi.
Selain fenomena peristiwa “memohon” hujan ditunda/dialihkan yang dipimpin langsung Ketua Pakasa Kudus itu, ada fenomena yang lebih menarik dari itu. Yaitu fenomena tentang adanya keris, di zaman yang menempatkannya bukan sebagai senjata tradisional, bukan simbol jabatan dan sebagainya di luar busana adat, karena sudah tidak tidak diakui zaman modern.
Fenomena keris itulah yang menempatkan Pakasa Cabang Kudus menjadi penanda, bahwa Tosan Aji keris produk besalen mash banyak bermanfaat selain sebagai kelengkapan busana adat Jawa di zaman modern ini. Tim pawang hujan yang dipimpin KRA Panembahan Didik, telah memperlihatkan bagaimana keris masih punya nilai manfaat luas, kini dan sampai akhir zaman.
Fenomena kerja menahan dan mengalihkan hujan dengan tiga bilah keris yang dilakukan tim pawang, bisa menjadi momentum bagi peradaban secara luas untuk kembali melihat salah satu nilai positif peninggalan para leluhurnya. Dan secara tidak langsung juga telah membuktikan, bahwa karena fungsinya itu, menjadi penanda masih banyak orang mencintai keris. (Won Poerwono-bersambung/i1)