Maklumat Klarifikasi Media, Solusi Tuntas Friksi dan Dualisme “Insiden 2017” (seri 2 – bersambung)

  • Post author:
  • Post published:April 1, 2025
  • Post category:Budaya
  • Reading time:8 mins read
You are currently viewing Maklumat Klarifikasi Media, Solusi Tuntas Friksi dan Dualisme “Insiden 2017” (seri 2 – bersambung)
PERISTIWA 2017 : Gusti Moeng bertanya bernada protes kepada seorang petugas Brimob yang menjada pintu Magangan, karena ditutup dan tidak boleh masuk pada peristiwa 2017. Upaya pengambilalihan Kraton Mataram Surakarta menggunakan "kaki-tangan" kekuasaan saat itu. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Banyak Peristiwa Besar Muncul, Rata-rata Karena Alasan Ekonomi  

IMNEWS.ID – PERLAWANAN Terhadap “niat jahat” penguasa melalui berbagai pihak yang menginginkan “kraton mati secara pelan-pelan”, memang tidak mudah dan tidak ringan. Karena, yang dihadapi adalah kekuasaan yang punya kewenangan dan tangan panjang serta “anggaran” untuk membiayai berbagai upaya dan siapa saja yang dilibatkan dalam kerangka itu.

Kutipan kalimat ” biarkan kraton mati secara pelan-pelan” memang nyaris tak pernah menjadi slogan resmi pihak manapun yang pernah menghiasi ruang publik. Tetapi di zaman rezim Orde Baru, ungkapan itu pernah terlontar dari seorang seniman senior asal kampus perguruan tinggi seni di Surakarta, yang mengomentari nasib grup wayang orang (WO) Sriwedari.

Tetapi karena WO Sriwedari lahir bersama keberadaan Taman Sriwedari (Kebon Raja) yang diinisiasi dan dibiayai Sinuhun PB X di tahun 1930-an (1893-1936), ungkapan itu juga terkesan tertuju pada Kraton Mataram Surakarta. Bila dicermati lebih jauh, lahirnya lembaga perguruan tinggi seni di Surakarta sulit dipungkiri juga ada nuansa “melawan” kemapanan seni.

Kalau diakumulasikan secara keseluruhan, tak hanya produk seninya yang dianggap berada di posisi “mapan” dan “stagnan” dan ingin dirombak sesuai dinamika berkesenian yang diinginkan. Tetapi, stampel lembaga hegemoni kraton yang memperoduksi berbagai jenis kesenian tradisional khas Budaya Jawa itu termasuk yang ingin dirombak, bila tidak bisa “dibinasakan”.

AKSI PERLAWANAN : Gusti Moeng memimpin jajaran Kabinet 2004 dan semua elemen Lembaga Dewan Adat saat melakukan aksi protes gaya “priyayi kraton” pada tahun 2018. Aksi demo di topengan Kori Kamandungan itu, untuk menuntut dibukanya kembali yang hendak diambilalih penguasa di tahun 2017. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Dari sisi inilah, eksistensi Kraton Mataram Surakarta mendapat tantangan besar yang terus merongsong kewibawaan hegemoni kelembaganya. Lahirnya sebuah ekspresi seni “olah tubuh” di tahun 1990-an yang bergerak sesuai intuisi batin di atas lingkaran instrumen gong besar sebagai pijakannya untuk menari, juga berasal dari lembaga perguruan tinggi seni itu.

Tantangan dari sisi atau sudut ini, telah melengkapi atau menggenapi berbagai tantangan lain yang selama ini merongrong kewibaan, harkat dan martabat kraton. Tantangan dari berbagai sudut/sisi itu, sasarannya justru kalangan internal kerabat berupa apatisme dan punya potensi merusak, karena hilang kesadaran dan daya dukung legitimatif akibat faktor ekonomi.

Menurunnya kesadaran, kepedulian dan daya dukung legitimatis dari kalangan kerabat, keluarga raja dan internal keluarga besar terbatas, jelas akibat lemahnya faktor ekonomi pasca hilangnya semua kedaulatan kraton, terutama secara ekonomi. Rongrongan dari sisi ini, justru ancaman besar dan nyata, karena harkat, martabat dan kewibawaan kraton yang dikorbankan.

Oleh sebab itu, peristiwa “ontran-ontran” jilid 1 yang terjadi pada proses suksesi tahun 2004, adalah potensi ancaman besar yang “berlatar-belakang” ekonomis. Karena tuntutan faktor ekonomis inilah, keluarga kerabat internal terbatas rela “mengorbankan” harkat, martabat dan kewibawaan diri, keluarga dan keluarga besar serta nama besar lembaga kraton.

POTRET SUKSES : Keluarga kecil Gusti Moeng dan suami (KPH Edy Wirabhumi) saat merayakan ultahnya di tahun 2018 bersama saudara dekat dan jajaran Bebadan Kabinet 2004 di sebuah rumah makan. Keluarga Gusti Moeng, adalah potret salah satu dari sedikit putra/putri Sinuhun PB XII yang sukses di luar kraton. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Peristiwa rekonsiliasi yang diinisiasi dan dilakukan Pemkot Surakarta saat Jokowi-FX Rudy menjabat Wali Kota dan Wakil Wali Kota, belum seberapa intensitas potensi ancamannya terhadap lembaga kraton. Peristiwa itu juga sulit dipisahkan dari latar-belakang alasan faktor/unsur ekonomi, mengingat sebagian besar anak-anak Sinuhun PB XII kehidupannya “susah”.

Rekonsiliasi “sepihak” terjadi antara Sinuhun PB XIII dengan KGPH Tedjowulan di Jakarta tahun 2012 yang terhubung secara kausalitas dengan puncak peristiwa pendudukan kraton di tahun 2017, juga tak bisa dipisahkan dari faktor dan unsur ekonomi. Karena, Bebadan Kabinet 2004 dengan Lembaga Dewan Adat menjadi kekuatan kontrol lebih kuat bagi Sinuhun PB XIII.

Dalam kata lain, pendudukan kraton melalui insiden “mirip operasi militer tahun 2017” yang hendak mengambil-alih kraton secara paksa waktu itu, tidak lain dan tidak bukan juga karena ada satu sisi kepentingan ekonomis yang menjadi alasannya. Posisi Sinuhun PB XIII yang mulai melemah secara pribadi dan kelembagaannya, jelas dimanfaatkan untuk kepentingan itu.

Penguasa yang sejak peristiwa 17 Agustus 1945 sudah menginginkan “lenyapnya” hegemoni dan jejak sejarah Kraton Mataram Surakarta, sulit dielakkan telah menggunakan alat-alat kekuasaannya dan orang-orang internal yang lemah (ekonomis), untuk “menguasai” kraton. Dalam peristiwa 2017, mereka bekerjasama untuk menyingkirkan kelompok yang selalu jadi penghalangnya.

POTRET “SUSAH” : GPH Nur Cahyaningrat, adalah satu di antara banyak potret putra/putri Sinuhun PB XII yang mengalami hidup susah sampai akhir hayat, di masa pandemi Corona lalu. Ia bersama keluarga diizinkan Gusti Moeng tinggal di bekas kantor layanan tiket pariwisata di kompleks Pendapa Pagelaran. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Kelompok yang menjadi penghalang dan selalu melawan setiap potensi ancaman “pengambil-alihan” kraton datang, tak lain adalah Gusti Moeng (65) dan para pengikutnya yang bergabung dalam Bebadan Kabinet 2004 dan Lembaga Dewan Adat. Sementara, dalam perjalanan jauh sejak 2004, 2017 hingga kini, dari 35 putra/putri Sinuhun PB XII satu-persatu wafat karena usia.

Tetapi, baik yang sudah mendahului maupun yang masih, rata-rata kehidupan mereka juga tidak lebih baik dari sebelumnya. Banyak di antara mereka yang stagnan dalam kondisi pas-pasan, bahkan bisa disebut “susah” yang sulit dibedakan dengan kehidupan warga miskin di kalangan rakyat jelata. Karena maklum, kebanyakan mereka tidak punya penghasilan tetap.

Kebanyakan dari putra-putri Sinuhun PB XII, tidak punya penghasilan tetap karena tidak bekerja di lembaga instansi manapun, tidak menjadi karyawan atau pimpinan perusahaan apapun. Sangat mungkin, hidupnya hanya bergantung dari harta peninggalan pribadi Sinuhun PB XII atau kegiatan usaha tak temporal, kecuali hanya beberapa gelintir yang bisa “survive”.

Di antara beberapa gelintir yang “survive” itu, adalah Gusti Moeng yang sejak tahun 1990-an sudah merintis usaha bersama sang suami (KPH Edy Wirabhumi) yang bermitra dengan beberapa pengusaha dari luar kraton. Kemudian juga KGPH Hadi Prabowo yang menjadi menantu keluarga pengusaha di bidang perhotelan, yang sangat mungkin ikut meneruskan bidang usaha itu.

SUDAH TAK TAMPAK : Kehangatan saat berlangsung pembagian gaji untuk para abdid-alem di teras Nguntarasana seperti ini, sejak kraton ditutup 2017 dan dibuka lagi 2023 sudah tidak tampak di situ. Kraton kehilangan banyak abdi-dalem garap, bersamaan dengan semakin sulitnya daya dukung secara ekonomis. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Jadi, dengan profil anatomis dan kondisi serta posisi pribadi maupun kelompok yang situasinya seperti itu, jelas sangat memungkinkan potensi ancaman bagi kelangsungan kraton sewaktu-waktu bisa muncul, dalam skala besar. Alasan utamanya hanya satu, untuk memperbaiki kondisi ekonomi, membiayai pemeliharaan strata adatnya dan bila terbuka peluang, bisa lebih dari itu.

Kalau belum lama ini terbit “maklumat” surat klarifikasi media dan beberapa sinyal penting dilempar, itu merupakan contoh bentuk “perlawanan” untuk menjaga kelangsungan kraton. Di sisi lain, kalau ada pihak yang terjebak dalam persiapan “masa depannya” dengan cara yang “salah”, itu karena tidak menyadari posisinya sebagai “The wrong man in The wrong place”. (Won Poerwono – bersambung/i1)