“Hari Tari Dunia = Hari Besar Budaya Jawa”, Berbagai Kelompok Pelaku Seni Menyajikannya (seri 3-bersambung)

  • Post author:
  • Post published:May 14, 2024
  • Post category:Budaya
  • Reading time:9 mins read
You are currently viewing “Hari Tari Dunia = Hari Besar Budaya Jawa”, Berbagai Kelompok Pelaku Seni Menyajikannya (seri 3-bersambung)
SATU-KESATUAN : Proses penciptaan tari "Bedhaya Sukoharjo" melalui suasana batin, psikologis, penalaran, etika dan estetika suasana kehidupan pada zamannya seperti yang disajikan pada peringatan HTD di bangsal Smrakata, Senin (29/4). Jadi, bukan asal gerak yang tak bermakna dan tak punya alasan. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

“Edukasi Keindahan” dari Kraton-kraton yang Seharusnya Menjadi “Nafkah Batin” dan Kebanggaan Bangsa

IMNEWS.ID – DENGAN mencermati tulisan seri sebelumnya (iMNews.id, 14/5), jelas sudah dari mana cahaya seni budaya yang pernah bersinar ratusan tahun di penjuru Nusantara ini berasal. Dari situ juga bisa dipahami mengapa masyarakat di wilayah sekitar kraton itu memiliki ciri-ciri dan simbol cahaya seni budaya yang sama seperti yang ada di tempat sumbernya.

Lalu kemudian juga bisa dipahami, mengapa kakayaan cahaya seni budaya beragam warni dan indah bak “Taman Bhineka Tunggal Ika” bangsa di Nusantara ini, masih dikagumi bangsa lain sampai di awal-awal lahirnya NKRI. Bangsa ini rupanya masih perlu memahami, apa alasan bangsa-bangsa lain iri dengan Indonesia dan iri dengan kekayaan cahaya seni budaya ini.

Berikut haruslah dipahami, karena potensi kekayaan cahaya seni budaya itulah, yang menjadi alasan Indonesia cepat, siap dan meyakinkan ketika menyambut “ajakan” untuk menciptakan hari besar bernama Hari Tari Dunia, 18 tahun lalu. Cahaya seni budaya dari kraton yang tembus dan sinarnya menjadi kekayaan daerah di Nusantara inilah, yang membuat HTD selalu sukses.

Peringatan Hari Tari Dunia (HTD) kini sudah menjadi tradisi bangsa-bangsa di dunia sejak dicanangkan 18 tahun lalu. Karena, di setiap bangsa pasti memiliki ciri gerak dasar yang disebut tari, terlebih jika ada strukturnya, latarbelakang sejarah diciptakannya dan lengkap dengan makna filosofi yang bisa menjelaskan secara rasional fungsi dan manfaatnya.

Tetapi memang, tak hanya negara-negara yang sudah punya latarbelakang berkesenian khususnya tari yang pamer kekayaan “tarinya”. Bangsa Indonesiapun yang sudah kaya-raya beragam jenis tari tradisional, juga “memperkaya diri” dengan gerak tari, mulai yang disebut “kreasi baru”, “olah-tubuh”, eksplorasi gerak, tari ekperimental dan sebagainya.

Bila menyaksikan gelar HTD di berbagai sudut Kota Surakarta, berbagai tempat fasilitas umum, lingkungan kraton sampai di pusat peringatan di kawasan kampus ISI dan TBS Kentingan, Jebres sana, masyarakat awam mungkin dibuat bingung untuk membandingkan berbagai jenis “tarian inovatif” dengan memahami kesederhanaan tari “Jaran Kepang” atau “Eblek”, misalnya.

LETAK ESTETIKA : Semua karya tari khas kraton, dalam struktur utuhnya pasti ada bagian sikap hormat menyembah di saat awal dan akhir sajiannya. Karena, di situlah letak etika dan estetika yang selama ini menjadi supremasi cahaya seni budaya Jawa yang terpancar dari Kraton Mataram Surakarta. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Bagi bangsa yang punya peradaban tinggi seperti di Indonesia, apalagi yang sudah mencapai level supremasi estetika seperti yang dimiliki “Bangsa Jawa” dengan “Budaya Jawa”-nya, terbentuknya seni tari sampai mencapai level itu, butuh proses dan waktu sangat panjang, dari Kraton Kalingga, Kediri, Majapahit, Demak, Pajang hingga Mataram Surakarta.

Seni tari yang berkembang melalui budaya Jawa yang bersumber dari kraton (Mataram Surakarta), bahkan menjadi ilmu yang bisa mandiri, atau berkait secara fungsional dengan cabang seni lain dalam budaya Jawa. Karena seni tari itu bisa menyatu atau menjadi bagian dari seni karawitan, seni pedalangan, pertunjukan wayang wong, ketoprak, sendratari dan sebagainya.

Hal yang perlu dipahami kemudian, bahwa seni tari dalam konteks gaya Mataram Surakarta, adalah salah satu cabang produk budaya Jawa yang sumbernya dari Kraton Mataram Surakarta. Karena dalam sebuah karya tari di dalamnya ada elemen etika, logika dan estetika, maka menonton seni tari produk budaya Jawa, sama halnya menikmati nafkah batin yang penuh keindahan.

Bagi masyarakat adat Mataram Surakarta yang cahaya seni budayanya pernah menembus dan membuat wilayah sebarannya memancarkan sinar seni budaya Jawa yang menjadi begitu berbhineka di setiap daerah itu, menyantap nafkah batin seni apa saja sebagai produk budaya Jawa, ikut menentukan kualitas kepribadian peradaban, baik secara perorangan maupun komunitas.

Dan, karena nafkah batin yang disantap penuh keindahan selain rasional dan terbatasi aturan tata nilai, maka itulah yang bisa mencukupi dahaga batin, selain kebutuhan olah pikir (unsur ilmu), religi (unsur teologis) dan sandang-pangan (unsur fisik). Oleh sebab itu, suguhan kraton dalam peringatan HTD “alias” Hari Besar Budaya Jawa ini, sudah tepat.

Pelajaran keindahan yang terpancar dari pemenuhan dahaga batin melalui cahaya seni budaya yang ditampilkan Mataram Surakarta dalam peringatan HTD, menjadi contoh penting bahwa untuk mengedukasi publik secara luas agar tetap memelihara kekuatan cahaya seni budaya dari kraton di wilayah manapun di Nusantara ini, sebagai simbol dan cirikhas cahaya budayanya.

ESTETIKA MENGEDUKASI : Sekalipun hanya secara simbolik, satu-kesatuan tari “Sancaya-Kusuma Wicitra” yang disajikan pada peringatan HTD ke-18 di Bangsal Smarakata, Senin (29/4), tetap penuh isyarat edukasi tentang etika “berperang” yang disampaikan dengan cara yang berestetika, halus dan merangsang proses berpikir. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Dan, KH Aqil Siradj (Ketua PB NU pada periode lalu) melalui video YouTube-nya menegaskan, bahwa bangsa Indonesia atau NKRI punya modal besar yang dikagumi bangsa-bangsa di dunia. Kekuatan dan keragaman budaya “Bhineka Tunggal Ika” itu, adalah kekayaan bangsa yang besar, yang sudah terbukti bisa mempersatukan bangsa, dan bukan karena agamanya.

Sayang, pernyataan tegas, penting dan urgen seperti ini sepertinya tak mendapat atensi dan respon yang baik dari berbagai elemen bangsa ini, terutama dari kalangan elit politik dan elit pemerintahan di negeri ini. Realitas seperti ini sangat bisa dimaklumi, karena republik ini didirikan oleh para penganut/praktisi ekonomi kapitalis liberal.

Kehadiran pengaruh ekonomi kapitalis liberal di Asia Tenggara termasuk Indonesia setelah Perang Dunia (PD) kedua atau sekitar 1945, kemudian ditambah masuknya pengaruh komunias sosial di sekitar peristiwa 17 Agustus 1945, menjadi ancaman nyata dan serius terhadap pancaran cahaya seni budaya dari kraton-kraton di Tanah Air, termasuk cahaya seni budaya Jawa.

“Masyarakat industri modern yang lahir dari sistem ekonomi kapitalis liberal, kurang atau tidak berselera terhadap seni tari dan pementasannya. Karena, seni tari terutama ‘bedhayan’, adalah simbol pertanian atau agraris. Jadi, masuknya kapitalis liberal ditambah komunis sosial ke Indonesia, yang pertama diserang adalah kraton-kraton dan tradisi agraris”.

“Maka tidak aneh, setelah tahhun 1945 sedikit demi sedikit kekuatan kraton surut. Salah satunya, karena masyarakat agraris yang sebelumnya melegitimasi kraton dengan segala produk seni budayanya, diserang habis oleh pengarus industri kapitalis modern. Bahkan, pengaruh komunis sosialis telah lebih dulu melumpuhkan kraton, dengan banyaknya tokoh yang diculik”.  
“Ingat peristiwa gerakan antiswapraja yang dimulai dari Kabupaten Klaten. Karena digerakkan pengaruh komunis sosial. Kemudian, banyak tokoh-tokoh kraton yang diculik dan dibunuh. Habisnya sawah dan kegiatan agraris, otomatis mematikan berbagai kesenian yang lahir dari kraton. Misalnya tari dan wayang kulit,” tunjuk Dr Purwadi membeberkan.

PRAJURIT PATRIOTIK : Tari “Bandayuda” atau “Bandabaya” karya Sinuhun PB I, adalah jenis tarian yang melukiskan kiprah prajurit yang patriotik, tetapi tetap terbungkus dengan berbagai elemen yang estetik dan menjunjung tinggi etika seperti yang diinginkan Sinuhun PB IV dan PB IX. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Peneliti sejarah (Ketua Lokantara Pusat di Jogja) yang khusus melakukan kajian sejarah Mataram Surakarta itu menyatakan heran, atas lahirnya HTD. Karena, sejumlah negara di Eropa, Asia dan juga di Amerika itu adalah para penganut ekonomi liberal kapitalis. Tetapi, munculnya kembali gerakan “seolah-olah cinta seni tari” mudah dibaca, tidak demikian sejatinya.

“Kalau di Indonesia, ya rata-rata sekadar proyek. Untuk mencairkan anggaran di masing-masing dinas atau satuan kerja di lingkungan pemerintah, maupun di lembaga pendidikan. Kalau tidak begitu, dana yang sudah dianggarkan tidak bisa keluar. Bagi-bagi duit proyek kecil-kecilan. Intinya, hanya sekadar itu. Jadi, bukan untuk meraih sesuatu yang ideal,” ujarnya.

Dengan penjelasan Dr Purwadi itu, kini menjadi jelas kira-kira alasan lahirnya HTD, lahirnya partisipasi gerakan mendukungnya. Tetapi khusus yang terjadi di Indonesia, dan lebih khusus lagi yang bergerak atas nama dan oleh lembaga kekuasaan. Karena sangat beda jauh persoalannya, ketika menyimak peringatan HTD yang dilakukan Kraton Mataram Surakarta. (Won Poerwono-bersambung/i1).