Gladen Bedaya Ketawang, Wisuda Abdi-dalem dan Usung-usung Gamelan Pakurmatan
SURAKARTA, iMNews.id – Berbagai kesibukan semakin tampak mewarnai di Kraton Mataram Surakarta, sampai Minggu (4/2) siang tadi, sebagai persiapan untuk menggelar upacara adat tingalan jumenengan-dalem Sinuhun PB XIII yang diagendakan berlangsung, Selasa pagi, (6/2) dan akan dimulai pukul 10.00 WIB.
Di Bangsal Smarakata, misalnya, tampak berlangsung prosesi upacara wisuda sekitar 340 abdi-dalem mulai dari pangkat Lurah hingga Bupati Sepuh yang dimulai sebelum pukul 09.00 WIB. Bahkan, ada “kursus kilat” tentang pengetahuan bangunan di kraton terutama di Pendapa Sitinggil sebagai tempat pisowanan, maupun tentang tata-busana dan tata-susila di Bangsal Smarakata.
Upacara wisuda di Bangsal Smarakata dipimpin langsung Pengageng Kartipraja, KPH Adipati Sangkoyo Mangunkusumo dibantu para panitia wisuda, termasuk KP Siswanto Adiningrat dan KP Puspitodiningrat sebagai juru pambiwaranya (MC). Gusti Moeng selaku Pengageng Sasana Wilapa/Pangarsa Lembaga Dewan Adat, membuka upacara wisuda itu dengan pidato sambutan.
Namun, jauh sebelum prosesi wisuda dimulai, terlebih dulu KP Budayaningrat selaku dwija dari Sanggar Pasinaon Pambiwara, mendapat tugas untuk memberi penjelasan singkat mengenai tata-busana, tata-susila dan tata-nilai budaya Jawa lainnya. Di hadapan 340-an calon wisudawan ditegaskan, bahwa dalam soal berbusana ketika berada di kraton, harus menyesuaikan aruan adat.
“Tidak boleh menuruti kesukaannya atau malah bertujuan ingin pamer, ‘dumeh’ punya uang dan bisa membeli yang mahal. Karena, dalam budaya Jawa ada tata-nilai aturan yang melekat. Termasuk dalam berbusana. Bagaimana busana yang tepat dikenakan saat sowan ke kraton, ada aturannya sendiri. Untuk piswonanan itupun, ada beberapa macam yang beda ragam busananya”.
“Yang jelas, abdi-dalem ketika berada di dalam kraton, apalagi mengikuti pisowanan tingalan jumenengan, tidak dibenarkan mengenakan kain (jarik-Red) motif Lereng. Jadi, dalam aturan tata-busana di kraton, sudah ada aturan baku sesuai kepangkatan dan asal-usul seseorang. Yang dikenakan putra/putri-dalem, jelas beda dengan abdi-dalem,” tunjuk KP Budayaningrat.
“Dwija” (guru) Sanggar Pasinaon Pambiwara yang dimintai konfirmasi iMNews.id siang tadi, juga menjelaskan, sebenarnya waktu 15-30 menit untuk memberi pemahaman terhadap para calon wisudawan, sangat tidak cukup, apalagi di saat-saat sudah menjelang pelaksanaan upacara wisuda. Harus disediakan waktu luang setidak sehari sebelum pelaksanaan upacara wisuda.
Persoalan bekal pengetahuan yang akan melengkapi diterimanya gelar kekerabatan seseorang, menurutnya sangat penting karena para calon wisudawan itu posisinya nanti diharapkan sebagai ujung tombak pelestari budaya Jawa dan penjaga kelangsungan Kraton Mataram Surakarta di garis paling depan, apalagi ketika berada di dalam organisasi Pakasa cabang.
Tetapi sangat dimaklumi, perjalanan pengembangan organisasi Pakasa sampai di tingkat cabang memang tidak seiring dengan penguasaan modal pengetahuan yang cukup, dibutuhkan untuk tugas pelestarian budaya Jawa. Dua hal itu, merupakan tantangan yang perlu diperhatikan dan diupayakan bisa berjalan seiring, harmonis dan ada progres yang baik serta terarah.
Jalannya upacara wisuda abdi-dalem di Bangsal Smarakata, harus menempuh durasi waktu cukup karena banyak bagian dari proses yang harus dilalui. Termasuk, pembacaan landasan hukum pemberian gelar kekerabatan yang dibacakan KPH Adipati Sangkoyo Mangunkusumo. Setelah itu, satu persatu nama calon wisudawan dipanggil, “laku-dhodhok” ke depan untuk menerima “partisara”.
Pemandangan bergiliran dan silih-berganti para wisudawan yang maju mendapatkan “partisara” berisi “kekancingan” atau SK tentang gelar kekerabatan itu, terjadi setelah ada pemisahan calon wisudawan yang berpangkat “Lurah” hingga “Bupati Anom”, dipersilakan berkumpul di Bangsal Marcukunda (Lurah hingga RT). Karena, wisuda diawali dari pangkat “Bupati Sepuh” (KRAT).
Saat lebih dari 200 abdi-dalem bergerak menuju Bangsal Marcukunda yang ada di seberang halaman, berhadapan dengan Bangsal Smarakata, datang sejumlah abdi-dalem sedang bergotong-royong memikul gamelan “pakurmatan” Monggang dan “rancakan”-nya dalam ukuran besar, untuk ditempatkan pula di Bangsal Marcukunda. Sedang gamelan “Manguyu-uyu” sudah ditata di bangsal Pradangga.
Upacara wisuda di Bangsal Smarakata itu, jatuh belakangan setelah berlangsung upacara wisuda sentana di Bangsal Sidikara atau Bangsal Kasentanan, yang dimulai lebih awal, sekitar pukul 08.00 WIB. Ada lima tokoh guru besar di antaranya dari FIB UNS, yang diwisuda mendapatkan gelar kekerabatan “Kangjeng Pangeran” (KP), oleh KGPH Hangabehi selaku Pengageng Kusuma Wandawa.
Ada 28 orang termasuk lima profesor dari UNS yang diwisuda putra mahkota di Bangsal Sidikara, pagi tadi. Beberapa tokoh generasi muda seperti KRMH Bimo Djoyo Adilogo, KRMH Suryo Manikmoyo dan para pejabat kantor Kusuma Wandawa bekerja membantu pelaksanaan wisuda pagi tadi. Gusti Moeng dan KPH Edy Wirabhumi, ikut membatu pula.
Persiapan tingalan jumenengan, juga berlangsung Sabtu malam di Pendapa Sasana Sewaka, berupa gladen tari Bedaya Ketawang yang akan berakhir Minggu (4/2), malam ini. Latihan itu disaksikan kalangan terbatas, termasuk Dr Pandapotan Rambe, seorang dosen dari Universitas Respati, Jogja. Termasuk juga, kelompok tugas “Tugur” dari Kecamatan Selo, mewakili Pakasa Boyolali. (won-i1).