Akibat Pengembangan Berita yang Memunculkan Kembali Penyebutan “Jabatan Palsu”
SURAKARTA, iMNews.id – Pimpinan Eksekutif Lembaga Hukum Kraton (Mataram) Surakarta (LHKS) sebagai tim hukum Lembaga Dewan Adat (LDA), menggelar konferensi pers di sebuah rumah makan yang dihadiri 20-an wartawan dari berbagai media mainstream yang “bermarkas” di Kota Surakarta, Sabtu (26/4) siang tadi. LDA menugaskan KPH Edy Wirabhumi untuk melakukan konferensi pers.
Dalam penjelasan pengantar maupun saat memberi jawaban dalam tanya-jawab, tertungkap bahwa langkah penjelasan tim hukum yang ditugaskan LDA itu untuk mengingatkan pada beberapa media yang telah diberi surat klarifikasi media pada Rabu, (26/3). Upaya mengingatkan itu dimaksudkan untuk menunjukkan adanya kekeliruan yang diulang beberapa media dalam menyebut “jabatan”.
Penyebutan “jabatan” yang disebut berulang itu, dianggap sebagai pengulangan kesalahan yang sama sebelumnya dilakukan beberapa media. Karena untuk kesalahan “pertama”, sudah dijelaskan dengan penyampaian “surat klarifikasi media” dari LDA (iMNews.id, 26/3), yang diberikan KPH Edy Wirabhumi di forum konferensi pers yang digelar di sebuah rumah makan, Rabu (26/3).

Kesalahan “penyebutan jabatan palsu” beberapa figur itu, terjadi saat ada pemberitaan di berbagai media hasil liputan atau setelah ada peristiwa eksekusi (PK) MA RI No.1006/PK/Pdt/2022 yang dilakukan PN Surakarta di kraton, 8 Agustus 2024. Karena, dengan eksekusi oleh tim Panitera PN Surakarta itu, semua produk kebijakan Sinuhun PB XIII 2017-2022 “tak berlaku”.
“Saat kita bertemu di bulan puasa lalu (iMNews.id, 26/3), kita buk-ber ya. La sekarang ini pertemuan halal-bihalal. Karena saya menyadari, Gusti Moeng sebagai Ketua LDA dan saya atas nama kraton dan pribadi, sering bersinggungan dengan rekan-rekan media, pasti ada kesalahannya. Untuk itu, kami semua memohon maaf, semoga setahun ke depan hubungan kita lebih baik.
“Pada waktu itu, kami menjelaskan surat klarifikasi media yang diterbitkan LDA, dengan harapan bisa menjadi pedoman penulisan berita atau pemberian informasi yang benar kepada publik. Namun, hak jawab kami rupanya tidak ditindaklanjuti sebagaimana mestinya. Teman-teman masih memunculkan kesalahan yang sama. Maka, kita sekarang bertemu lagi,” jelas KPH Edy.

Pengulangan kesalahan itu, menurut KPH Edy Wirabhumi muncul kembali saat ada berita tentang usulan Daerah Istimewa Surakarta. Berita itu berasal dari Komisi II DPR RI yang sedang membahas peta wilayah RI ke depan, untuk dicari solusi yang ideal berapa wilayah dan di mana saja yang dimekarkan, tetapi agak berbeda persoalannya dengan status Surakarta.
Selanjutnya ditegaskan, bahwa dalam hubungan silaturahmi persahabatan antara dirinya dengan para awak media secara pribadi dinyatakan baik-baik saja, tidak ada masalah. Tetapi, kalau kesalahan yang sama tidak diperbaiki atau bahkan masih terulang, tim hukum LDA terpaksa akan menyelesaikan melalui mekanisme proses hukum.
“Saya tahu, mana yang masuk ranah undang-undang pers (UU Pers No 40/2021) dan mana yang tidak. Kalau ada kesalahan dalam penyebutan, terakhir diberikan hak jawab. Kalau masih terulang dan tidak ada langkah perbaikan, ya mohon maaf, proses hukum terpaksa kami lakukan. Tetapi keterpaksaan itu jangan diartikan saya kurang-ajar atau sewenang-wenang”.

“Itu yang perlu kami jelaskan dan tegaskan, jangan sampai muncul kesan, sekarang sudah tenang kok malah sewenang-wenang? Kami sangat menghindari sikap sewenang-wenag dan menang-menangan itu, sudah kami buktikan saat pelaksanaan eksekusi putusan PK MA RI, 8 Agustus 2024 itu. Semua aparat yang terlibat, bisa menerima saran dan permintaan saya,” ujarnya.
Yaitu, katanya, dalam peristiwa eksekusi saat itu dikerahkan aparat keamanan gabungan dari berbagai unsur dalam jumlah banyak dan berseragam lengkap sesuai kesatuan dinas masing-masing. Di situ ada unsur polisi militer (PM), aparat polisi (Polsek), militer (Koramil), Satpol PP dan sebagainya, yang hanya berjaga di markas Polsek Pasarkliwon.
Yang mendampingi tim eksekusi dari Panitera Pengadilan Negeri (PN) Surakarta pimpinan Dr Asep Dedi Suwasta SH MH saat itu, hanya beberapa dan semua mengenakan baju batik, agar tidak menimbulkan kesan angker dan membuat ketakutan. Tetapi, mengenai pertanyaan soal pendekatan antar personal ke arah rekonsiliasi itu, disebut sulit dilakukan karena kendala mendasar.

“Pelaksanakan eksekusi putusan PK MA, waktu itu, tidak dengan (gaya) menang-menangan, pongah (arogan-Red). Tetapi kami lakukan dengan pendekatan kebudayaan. Jumlah yang disiapkan sekian ratus, kami minta berjaga di Polsek. Kami berharap agar tetap tampak ciri-ciri budayanya. Tetapi celakanya, malah dikembangkan opini bahwa eksekusi ini hanya main-main”.
Ketika menjelaskan sebuah buku berisi kumpulan keputusan hukum di berbagai tingkat peradilan, KPH Edy menegaskan bahwa semua yang diomongkan berdasar fakta hukum, yang kebenarannya bisa dipertanggungjawabkan secara hukum. Kalau kalangan media masih menulis tidak pas, pihaknya akan mengikuti mekanisme hukum yang ada untuk menyelesaikannya.
Kendala mendasar itu adalah, beberapa figur tokoh yang selama ini menyebut dirinya menjabat Pengageng Sasana Wilapa dan Pengageng Parentah Kraton (2017-2022), masih mempertahankan jabatan “palsunya” ketika hendak diajak duduk semeja berdiskusi dan bersilaturahmi. Pertanyaan “Kowe ki sapa?”, selalu berada di depan yang menutup setiap celah kesempatan bertemu. (won-i1)