Zaman “Pemerintahan” Sebelum Jokowi, Kraton Pernah “Didesak” Total Jadi Museum
IMNEWS.ID – Peristiwa “insiden mirip operasi militer April 2017” yang membuat semua proses alih-generasi nyaris macet total dan Kraton Mataram Surakarta benar-benar terpuruk, tak bisa hanya dipandang sepele. Karena, terasa ada terget lain yang lebih dahsyat dari “fitnah” beberapa gelintir kerabat melalui “laporan palsu” ke Polda Jateng, saat itu.
Terget lain yang lebih dahsyat itu, bisa diidentifikasi dari reaksi yang sangat berlebihan atas fitnah “laporan palsu” soal “pengerahan massa pesilat” dan “pemalsuan dokumen negara”. Karena, reaksi atas laporan palsu itu, datanglah 2000 personel Brimob dan 400 personel tentara yang menyebar menduduki setiap sudut kompleks kraton, atas perintah “atasan”.
Adanya target lain yang lebih dahsyat belakangan bisa dibaca, karena ada beberapa indikator yang sangat menonjol. Yang pertama karena semua yang dilaporkan sama sekali tidak bisa dibuktikan, setelah sejumlah tokoh penting “Bebadan Kabinet 2004” secara terpisah dan bersama-sama diperiksa di Mapolda dan sejumlah jenis barang bukti penting diteliti, waktu itu.

Karena ada beberapa kejanggalan dari peristiwa tersebut, maka sangat pantas dicurigai ada target lain yang lebih dahsyat atau agenda yang lebih besar dari skenario yang lebih besar pula. Dugaan itu menjadi rasional ketika dikoneksikan dengan kegagalan serangkaian upaya “menguasai kraton” yang beberapa kali terjadi di masa lalu, karena potensi itu nyata ada.
Setidaknya, kegagalan pihak “investor” untuk membangun hotel di kawasan sakral kedhaton, Tursinapuri, awal 1990-an, sangat jelas indikasinya menjadi potensi yang bisa “melumpuhkan” kraton, kemudian “menguasainya”. Walau yang berhasil “melumpuhkan” Sinuhun PB XII, waktu itu, adalah investor, tetapi sangat mungkin menjadi tangan panjang kekuasaan.
Gagalnya skenario menguasai kraton dengan cara menanam modal dengan membangun hotel di dalam kraton, tak menghentikan ambisi kekuasaan untuk “melumpuhkan” pengaruh kraton. Karena, beberapa tahun kemudian di tahun 1990-an itu pula, rezim pemerintahan Orde Baru menerbitkan Keppres No.28 tentang pembentukan Badan Pengelola Pariwisata Kraton Surakarta.

Di dalam badan pengelola pariwisata (BPP) itu terdapat sejumlah nama-nama penting yang sebagian besar putra/putri Sinuhun PB XII, termasuk Gusti Moeng, tetapi lembaga itu nyaris tak berkutik. Karena, badan itu hanya sebagai “siasat” penguasa untuk mendegradasi/menurunkan level lembaga Kraton Mataram Surakarta, menjadi sekadar “objek wisata” dan museum mati.
Keppres inilah yang kembali diungkit untuk diaktifkan, ketika skenario “merebut” rasa keadilan pada proses suksesi tahun 2004 juga gagal total. Dari peristiwa ke peristiwa yang berhasil diidentifikasi dan dianalisis, selalu menunjuk pada skenario besar upaya kekuasaan untuk “melumpuhkan” kemudian “menguasai” kraton agar menjadi museum “mati” secara total.
Dengan teridentifikasikan skenario di balik beberapa peristiwa itu, jelas sekali menjadi serumpun dengan potensi upaya “merampas rasa keadilan” yang selama ini terjadi. Intinya, kekuasaan selalu punya skenario besar untuk melumpuhkan kalau tidak bisa diruntuhkan, dialih-fungsikan menjadi sekadar “museum mati” kalau tidak bisa ditiadakan dalam “tempo singkat”.

Rupanya, “hukum ketuhanan” tetap lebih kuat dibanding hukum yang berlaku bagi manusia. Manusia boleh berencana “sekotor apapun”, tetapi Sang Khalik tetap berwenang membagi rasa keadilan bagi semua “titahnya”. Karena, semua “rencana” jahat mengkianati amanat konstitusi, yaitu pasal 18 UUD 45 itu selalu kandas, walau tidak sedikit yang menjadi korban.
Sejarah telah melahirkan seorang GKR Wandansari Koes Moertiyah untuk memimpin perjuangan menghadapi “kesewenang-wenangan” yang merampas rasa keadilan Kraton Mataram Surakarta, sebagai hak konstitusionalnya sebagai warga NKRI. Pengageng Sasana Wilapa/Pangarsa LDA yang akrab disapa Gusti Moeng itulah, yang menjadi “pemimpin pinilih” di saat “Raja” sedang lemah.
Dalam proses perjuangan panjang pada peristiwa demi peristiwa di kraton sejak muncul gagasan mendirikan hotel di tahun 1990-an, dialah wanita Mataram satu-satunya yang berani tampil “melawan”. Siasat memberi kedudukan di Badan Pengelola Pariwisata pada dekade yang sama, faktanya tak berkutik karena sangat disadari potensi bahaya besar di balik siasat itu.

Gusti Moeng mungkin tak pernah bercita-cita menjadi sosok figur seperti sekarang ini. Tetapi, dia sangat sadar menjadi salah seorang yang harus peduli untuk “menyelamatkan” Kraton Mataram Surakarta. Karena suasana kehidupan di alam republik semakin “tidak ramah”, selalu menghimpit dan mendorong kraton menuju ke jurang kehancuran, dari waktu ke waktu sejak lama.
Dari sederetan peristiwa “perampasan rasa keadilan” itu, ada yang terlupakan karena nyaris tak terungkap ke ruang publik. Yaitu, “bujuk-rayu” pejabat tangan panjang pemerintah sebelum Presiden Jokowi, yang ingin agar semua keluarga besar 35 putra-putri Sinuhun PB XII yang tersisa, tinggal di luar kraton “menikmati” ganti rugi yang akan “dibagikan” pemerintah.
Tawaran dari seorang pejabat Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata ditolak mentah-mentah oleh Gusti Moeng. Inilah upaya terakhir sebelum insiden 2017 terjadi. Wanita Mataram yang pernah mendapat sebutan “Putri Mbalela” itu, tetap berada di depan “melawan”. Sementara, para lelaki putra-dalem yang jumlahnya separo dari 35 orang itu, “entah di mana” sembunyinya. (Won Poerwono – habis/i1)