Abdi-dalem Prajurit, Aset Ikonik Mahal, Simbol Kebesaran Mataram Surakarta (seri 4 – bersambung)

  • Post author:
  • Post published:April 11, 2025
  • Post category:Budaya
  • Reading time:8 mins read
You are currently viewing Abdi-dalem Prajurit, Aset Ikonik Mahal, Simbol Kebesaran Mataram Surakarta (seri 4 – bersambung)
UPACARA ADAT : Kedelapan Bregada Prajurit kraton saat menggelar apel dalam upacara adat kebesaran tingalan jumenengan di halaman Pendapa Sasana Sewaka, beberapa waktu lalu. Prajurit yang tampil full team, minus Prajurit Panyutra, sekitar 70-an. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Butuh Biaya Besar untuk Memobilisasi “Seni Pertunjukan” Prajurit Kraton

IMNEWS.ID – KETIKA aset Bregada Prajurit khas Kraton Mataram Surakarta tak lagi menjadi elemen “alat perang” atau bagian sistem pertahanan-keamanan (Hankam), maka kraton juga berusaha menyesuaikan perubahan paradigmanya. Yaitu sebagai lembaga pelestari tradisi, adat, seni dan Budaya Jawa yang aset prajuritnya menjadi “objek pertunjukan” yang sangat menawan.

Sayang, perubahan paradigma dan aset prajurit yang berada dalam paradigma baru sebagai “objek pertunjukan”, tak disertai perubahan perangkat atau elemen lain yang bisa menunjukkan eksistensi dan kebesarannya. Berbagai peristiwa, situasi dan kondisi telah membuat kraton “tiba-tiba” (nyaris) kehilangan SDM yang bisa menunjukkan berbagai aset kraton itu.

Seperti disebutkan pada seri tulisan sebelumnya, berbagai peristiwa, situasi dan kondisi yang terjadi di luar dan di dalam kraton, langsung atau tidak langsung, telah membuat ruang gerak kraton serba terbatas. Pada saat yang bersamaan, ada skala prioritas yang diambil untuk mempertahankan eksistensi kraton, tetapi prioritasnya bukan aset bregada prajurit.

Aset bregada prajurit mungkin dianggap sama dengan elemen bangunan yang jumlahnya banyak di kawasan kraton seluas 90 hektare itu, yang memerlukan biaya sangat besar. Oleh sebab itu, urutan penangan kedua elemen itu, misalnya revitalisasi, berada pada prioritas belakangan, revitalisasi yang lengkap, menyeluruh dan tuntas dibutuhkan biaya yang sangat besar.

RITUAL NYADRAN : Dalam jumlah dan komposisi “ringkas” sekitar 20-an orang, dua atau tiga bregada prajurit kraton ditampilkan untuk memandu kirab dalam rangka ritual Nyadran di makam Ki Ageng Selo, Desa Selo, kecamatan Tawangharjo, Grobogan, beberapa waktu lalu. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Sebagai ilustrasi, upaya penyelamatan simbol-simbol representasi kraton yang sangat ikonik dan “mahal” itu, memang sudah banyak dan lebih sekali dilakukan. Terutama, renovasi kecil-kecilan yang dilakukan secara swadaya mandiri oleh Bebadan Kabinet sejak terbentuk di tahun 2004. Begitu pula yang sifatnya bantuan proyek dari pemerintah, seperti belum lama ini.

Tetapi penyelamatan simbol-simbol ikonik lain yang tak kalah “mahalnya” seperti sejumlah Bregada Prajurit, misalnya, terkesan sangat berat bisa diwujudkan secara menyeluruh dan tuntas. Karena, penyelamatan simbol-simbol ikonik berupa prajurit kraton, tentu menyentuh unsur manusianya atau “human-man behind the soldier” yang jelas beda jauh dengan benda.

Penyelamatan bangunan sisa peradaban Kraton Mataram Surakarta yang jumlahnya sangat banyak dan berada dalam kawasan seluar 90 hektare lebih itu, idealnya butuh waktu rutin 20-an tahun untuk mendapat sentuhan renovasi berat. Renovasi rutin tiap tahun seperti memperbarui wajah yang kusam dengan cat ulang, sudah bisa dilakukan walau belum bisa menyeluruh.

Tetapi seperti diketahui, renovasi berat yang seharusnya rutin tiap 20 tahunan dilakukan setelah peristiwa 1945, data yang ada tak banyak menunjukkan upaya itu karena sejak bergabung ke NKRI, kraton kehilangan berbagai sumber ekonomi. Tetapi, sampai kini bukan berarti kraton sama sekali belum tersentuh renovasi berat, karena ada data yang menunjuk itu.

SECARA SIMBOLIK : Walau tak memenuhi aspek komposisi keragamannya, hadirnya beberapa bregada prajurit kraton di event Grebeg Suro Hari Jadi Ponorogo, beberapa tahun lalu, secara simbolik sudah kelihatan dan menjadi perhatian semua yang menyaksikan sepanjang jalan menuju makam Bathara Katong. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Ilustrasi di atas hanya untuk memberi gambaran bahwa bangunan yang kondisinya rusak parah bahkan sudah banyak yang ambruk di dalam kawasan sakral kedhaton, memang baru sebagian kecil yang bisa tersentuh renovasi berat atau revitalisasi. Itu saja, tidak terjadi setiap 20 tahun sekali, melainkan sampai lebih 30 tahun seperti yang dialami Panggung Sangga Buwana.

Dalam skala prioritas yang tak termasuk urgen untuk direvitalisasi itu, sepertinya sama posisinya dengan eksistensi 9 Bregada Prajurit kraton. Walau bukan bangunan yang rata-rata serba “jumbo” dan menggunakan material kayu jati super kelas tinggi, tetapi unsur manusia atau “human-man behind the soldier” para prajurit, tak kalah besar biaya yang dibutuhkan.  

Kedelapan bregada prajurit yang ditinggalkan Sinuhun PB X (1893-193) dan masih utuh walau melewati masa PB XI (1939-1945) dan PB XII (1945-2004) hingga kini, juga butuh biaya besar kalau ingin memenuhi pertimbahan kepantasan atau standar minimal. Yaitu harus bisa menampilkan rata-rata 10 personel untuk tiap-tiap bregada prajurit, termasuk petugas pembawa vandel.

Dalam formasi barisan pasukan yang berisi Bregada Prajurit Tamtama, Bregada Korsik Drumband Tamtana, prajurit Prawira Anom, Jayeng Astra, Jaya Sura, Darapati, Sorogeni (Soroh-geni/Red), Panyutra dan Prajurit Baki, citra visual indah dan “sempurna” akan terpenuhi. Syaratnya, komposisi itu harus didukung 10 personel untuk masing-masing bregada prajurit.

SENTUHAN KRATON : Walau dalam format “ringkes” karena berkait “biaya”, hadirnya beberapa bregada prajurit kraton di sebuah acara yang digelar sebuah perguruan silat di Kota Madiun, sudah memberikan sentuhan estetika dan etika lembaga kraton pada acara di tengah masyarakat setempat. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Kalau asumsinya komposisi yang ideal dan pantas itu masing-masing bregada didukung 10 personel, maka untuk keseluruhan pasukan sedikitnya harus ada 80 orang. Faktanya, menurut KRT Darpo Arwantodipuro (penanggung-jawab prajurit), kini kraton punya 105 prajurit, tetapi entah mengapa yang selalu aktif hadir dalam tugas rutin dan acara resmi hanya 55 orang.

Bila 105 prajurit itu selalu aktif dalam berbagai kegiatan, termasuk giliran tugas piket jaga di Kori Kamandungan rutin tiap hari, maka sebenarnya dari sisi kepantasan dan kebutuhan komposisi ideal sudah bisa terpenuhi. Bahkan dalam catatan iMNews.id, jumlah Bregada Prajurit Tamtama ada 20-an orang dan Korsik Drumbandnya juga bisa mencapai 20-an orang.

Tetapi faktanya, antara jumlah 105 dengan tingkat kehadiran mereka, tidak bisa berbanding lurus, belum lagi faktor keterbatasan lain. Karena “pertunjukan” aneka ragam prajurit kraton itu juga sulit disajikan secara rutin periodik. Bahkan ketika diminta tampil oleh pihak eksternal di luar kraton-pun, soal jumlah personel menjadi kalkulasi serius.

Karena biayanya sangat besar untuk memobilisasi prajurit dalam jumlah yang pantas sesuai komposisi ideal, maka panitia atau pihak pengundang juga banyak menggunakan pertimbangan. Mungkin ingin mengutamakan potensi lokal, hanya butuh formalitas simbol kraton, atau mungkin menganggap sama sekali tidak perlu karena anggaran terbatas atau oleh sebab lain.

BISA DIPAHAMI : Hadirnya beberapa bregada prajurit secara ringkas, menjadi simbol eksistensi Kraton Mataram Surakarta di acara kirab hari jadi Kabupaten Nganjuk, beberapa waktu lalu. Sekaligus menjadi genomena untuk mengenal asal-usul kabupaten itu untuk bisa dipahami dengan benar. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Karena situasi dan kondisi seperti itu akibat berbagai alasan di atas, yang terjadi selama ini tentu sering membuat prihatin siapa saja yang menyaksikan penampilan prajurit kraton dan memahami situasi dan kondisi latar-belakangnya. Karena, sering hanya tampil dalam format “minimalis”, yaitu sekitar 20-an orang dan hanya ditampilkan Bregada Tamtama.

Penampilan Bregada Prajurit Tamtama dan Bregada Korsik Drumbandnya, ketika sudah tampil di depan formasi barisan seluruh peserta kirab, memang sangat mencolok mewarnai, dan kehadirannya membanggakan sebagai representasi kraton yang menawan. Tetapi, komposisi warna dan keragaman jenis bregada jadi tantangan besar, karena mengganggu “estetika pertunjukannya”. (Won Poerwono-bersambung/i1)