Besok, Gong Kiai Surak Dijamasi di Pendapa Sitinggil Lor
SURAKARTA, iMNews.id – Setelah sekitar seminggu keramaian pasar malam Sekaten 2023 di Alun-alun Lor dan Pendapa Pagelaran Sasana Sumewa dibuka resmi Sinuhun PB XIII, rangkaian kegiatan berikutnya dalam rangka pelaksanaan upacara adat Sekaten Garebeg Mulud ada beberapa macam. Setelah jamasan sepasang gamelan pusaka Kiai Guntur Sari dan Kiai Guntur Madu di Bangsal Langen Katong, tadi pagi, akan dilanjutkan dengan jamasan instrumen gong Kiai Surak yang akan dilakukan di Pendapa Sitinggil Lor, Minggu (17/9) besok pagi.
“Ini tadi jamasan gamelan Sekaten di (Bangsal) Langen Katong. Besok (Minggu-Red) pagi, jamasan (gong-Red) Kiai Surak di (Pendapa) Sitinggil Lor. Terus, nanti, malam tanggal 21 atau Rabu malam 20 September, ada wilujengan di Sitinggil. Setiap mau mengeluarkan gamelan Sekaten ke kagungan-dalem Masjid Agung, malamnya pasti diadakan wilujengan,” tandas Gusti Moeng seusai memimpin upacara adat jamasan sepasang gamelan Sekaten itu, ketika dimintai konfirmasi iMNews.id, siang tadi. Sepasang gamelan Sekaten, akan dipikul seratusan abdi-dalem dari Bangsal Langen Katong ke Masjid Agung, Kamis pagi (21/9/2023).
Seperti media publikasi yang sudah direvisi setelah tim kreatif Sinuhun PB XIII ditegur Gusti Moeng (Pengageng Sasana Wilapa/Pangarsa Lembaga Dewan Adat), rangkaian agenda acara di bulan Mulud tahun Jimawal 1957 dalam rangka menyambut kelahiran Nabi Muhammad SAW tanggal 12 Mulud atau 12 Rabiul Awal (1445 H), dimulai dengan pembukaan pasar malam, beberapa waktu lalu (iMNews.id, 7/9). Setelah itu, agenda acara berlanjut Kamis (22/9) dengan pembukaan upacara adat berupa “ungeling gangsa” atau dibunyikan/ditabuh kali pertama sepasang gamelan, Kiai Guntur Sari dan Kiai Guntur Madu.
“Setelah ditabuh sekali itu, menjelang saat Luhur atau Dhuhur, berhenti dan tidak diperdengarkan lagi selama sehari Kamis (7/9) itu. Karena, sebagai aturan adat di kraton yang sudah menjadi tradisi, hari Kamis tidak diizinkan memperdengarkan gamelan dalam format apa saja. Karena, hari itu adalah persiapan menjalankan shalat Jumat keesokan harinya. Khusus untuk gelar Sekaten, karena hitungan kalendernya gamelan diturunkan di hari Kamis, ya hanya ditabuh pembukaan saja, lalu berhenti. perkecualian bulan Mulud di tahun Jimawal itu, memang hanya datang 8 tahun sekali. Selain itu, selalu jatuh hari Jumat,” tandas Gusti Moeng.
Secara terpisah, Dr Joko Daryanto selaku abdi-dalem dari Kantror Mandra Budaya yang dimintai konfirmasi menyatakan sudah mendapat dhawuh lisan dari Pengageng Sasana Wilapa untuk menjalankan tugas menabuh gamelan Sekaten mulai Kamis pagi, 21/9. Dosen pengajar di FKIP UNS itu membenarkan teman-teman seniman karawitan yang disebut Gusti Moeng (iMNews.id, 7/9) tinggal 14 orang, tetapi ketika nanti menjalankan tugas selama seminggu jumlah yang dibutuhkan untuk menabuh gamelan Kiai Guntur Sari di Bangsal Pradangga Kidul dan Kiai Guntur Madu di Bangsal Pradangga Lor halaman Masjid Agung, tetap bisa tercukupi.
“Kanjeng Lintang (KPH Raditya Lintang Sasangka) selaku ‘tindhih abdi-dalem’ penabuh gamelan Sekaten, bisa mengakomodasi teman-teman yang selama lima tahun lebih digunakan Sinuhun PB XIII tetap menjalankan tugasnya di dalam. Memang dikehendaki untuk bergabung saja, tetapi tetap dalam kontrolnya selaku sentana yang dituakan. Jadi, tidak perlu dibedakan dari mana asalnya. Intinya, selama kerjanya sesuai aturan adat yang berlaku, itu yang diharapkan. Tetapi, kekurangan memang ada ketika ada tiga jenis gamelan lain yang harus ditabuh berurutan,” jelas Dr Joko Daryanto.
Tiga gamelan selain Kiai Guntur Sari dan Kiai Guntur Madu di halaman kagungan-dalem Masjid Agung itu, adalah gamelan “Monggang Ageng” di Bangsal Pradangga halaman Pendapa Sasana Sewaka, gamelan Kodhok Ngorek Kadipaten Anom di Bangsal Pradangga kompleks Sitinggil Lor dan gamelan Cara Balen yang bergerak mengikuti barisan prosesi kirab hajad-dalem gunungan garebeg Mulud. Karena, di antara tiga gamelan itu ada yang ditabuh beriringan waktunya dengan keluarnya gunungan dan selama sepasang gamelan Sekaten ditabuh.
“Saya pernah harus berlari-lari, karena ndilalah abdi-dalem petugas ‘nabuh’ yang sowan hanya sedikit. Selesai menabuh klenengan ‘manguyu-uyu’ di teras Paningrat, langsung lari ke Bangsal Pradangga untuk menabuh gamelan Monggang. Tetapi sebelum ‘suwuk’ (berakhir-Red), saya harus lari menuju Masjid Agung untuk mengisi kekurangan penabuh gamelan Sekaten. Ini pengalaman sungguh menggelikan. Saya tidak kapok atau ‘ngresula’, tetapi sadar bahwa suwita di kraton di bagian apapun, yang kadang-kadang harus mengalami kondisi seperti itu. Tetapi itu dulu, jauh sebelum 2017,” sebut Dr Joko sambil tertawa geli.
Sementara itu, suasana keramaian pasar malam pendukung upacara adat Sekaten 2023 juga semakin tampak meriah di lokasi Alun-alun Lor, kompleks Pendapa Pagelaran Sasana Sumewa maupun lokasi-lokasi pendukung di sekitarnya. Lokas alun-alun, selalu menjadi pusat keramaian hiburan seperti tobong “gua mangleng” (rumah hantu-Red), tong setan, ombak-banyu dan sebagainya yang ditambah tobong hiburan musik dangdut. Stand aneka produk trerutama kuliner sudah bertebaran di alun-alun, begitu juga stand produk kerajinan grabah seperti celengan, kodok-kododkan, kapal-kapalan dan pecut yang khas Sekaten.
Stand aneka produk kuliner kelas UMKM dan sandang, juga banyak digelar di Pendapa Pagelaran Sasana Sumewa yang lebih representatif karena “indoor”. Tetapi stand dangdut yang memakan ruang paling luas di sisi barat ujung alun-alun, berbeda dengan sajian tobong dangdut pada keramaian pasar malam Sekaten di tahun 1990-an. Kini, tobong itu “outdoor”, menampilkan grup dangdut yang bisa berganti-ganti tiap periode hari tertentu dari 8 September hingga 8 Oktober, seperti OM Pallapa, OM Adella dan OM Romansa. Dulu, ada beberapa tobong “indoor” yang isinya grup berbeda, masing-masing menyajikan musik tiap sejam. (won-i1).