Melahirkan Semangat Perbaikan di Lingkungan Makam
IMNEWS.ID – ROMBONGAN “Caos Bhekti Tahlil Nyadran” dari Kraton Mataram Surakarta yang dipimpin Gusti Moeng selaku Pengageng Sasana Wilapa sekaligus Ketua Lembaga Dewan Adat (LDA) pada Rabu, 1 Maret, mendatangi makam Sultan Hadiwijoyo (Hadiwidjaja-Red) yang ada di kompleks Astana Pajimatan Butuh, Desa Gedongan, Kecamatan Plupuh, Kabupaten Sragen.
Di kompleks astana itu, juga ada makam Kebo Kenanga dan makam KP Tedjowulan dan banyak lagi tokoh terkenal dari keluarga Kraton Pajang (1550-1587). Kompleks astana itu terkesan menjadi “pamijen” makam keluarga Kebo Kenanga, ayah Sultan Hadiwijoyo dan saudaranya, KP Tedjowulan.
Sebagai ilustrasi, dari satu sisi silsilah raja-raja yang dimulai dari Sinuhun Prabu Brawijaya V (1468-1478), raja Kraton Majapahit yang “escape” ke arah barat, tertulis punya salah seorang anak perempuan yang bernama Retno Pembayun. Setelah menikah dengan Pangeran Sri Makurung Handayaningrat, melahirkan tiga anak, salah satunya adalah Ki Ageng (KA) Kebo Kenanga.
Ki Ageng Kebo Kenanga mempunyai anak tertua yaitu Mas Karebet yang setelah dewasa berganti nama Djaka Tingkir (Joko Tingkir-Red). Tokoh ini kemudian menjadi raja di Kraton Pajang bergelar Sultan Hadiwijoyo (1550-1582). Namanya menjadi terkenal karena banyak cerita yang muncul dari ketokohannya, salah satunya dikutip menjadi lirik lagu “…Joko Tingkir ngombe dawet…” yang oleh kalangan masyarakat adat dianggap tidak sepantasnya.
Ketenaran nama masa muda Sultan Hadiwijoyo itu, sudah banyak memberi manfaat bagi kehidupan warga peradaban pada abad 20-21. Di antaranya, menjadi tokoh sentral dalam buku pelajaran sejarah SD dalam versi berbeda dari riilnya. Juga menjadi tokoh sentral yang diperagakan dalam puncak acara menyambut Idhul Fitri di Taman Satwa Taru Jurug, dengan tajuk “Gethek Joko Tingkir; Pekan Syawalan TSTJ”, antara tahun 1990 hingga lepas tahun 2000-an.
Seni pertunjukan ketoprak pada era 1980-1990-an, juga banyak menampilkan patriotisme heroik Mas Karebet alias Joko Tingkir saat dihadang 40 ekor buaya, dalam perjalanan menuju Kraton Pajang sebelum akhirnya menjadi raja Kraton Pajang, bergelar Sultan Hadiwijoyo.
Terlepas dari “kreativitas menyimpang” dari kalimat seorang “raja” yang di masa mudanya bernama Joko Tingkir dirangkai dalam kalimat peribahasa “ngombe dawet” untuk menemukan kalimat jawaban “.. yen dipikir marakne mumet…”, Astana Pajimatan Butuh semakin dikenal publik secara luas sebagai makam Joko Tingkir atau Sultan Hadiwijoyo.
Mohammad Husen Aziz A selaku abdidalem juru kunci Astana Pajimatan Butuh saat ngobrol dengan iMNews.id di sela-sela berlangsungnya ritual “Caos Bhekti Tahlil Nyadran” yang dilakukan Gusti Moeng bersama rombongan, Rabu (1/3) itu, menyebutkan bahwa sedikit demi sedikit tata ruang kompleks astana sedang ditata. Karena, peziarah dari berbagai wilayah yang luas, bahkan dari luar provinsi, banyak berdatangan dengan konvoi bus-bus besar.
Mendengar penjelasan abdidalem juru kunci itu, ada beberapa hal positif yang lahir dari tengah warga peradaban. Setidaknya, lahir kesadaran kolektif untuk melacak asal-usul jati dirinya sebagai bagian dari warga peradaban. Kemudian mencoba mencari lokasi tokoh-tokoh leluhur peradaban yang dianggap sangat berjasa dalam kehidupan warga peradaban, terutama yang berkait dengan penyebaran Islam.
Dari titik simpul inilah, tidak aneh kalau Astana Pajimatan Butuh yang lokasi jauh di dalam pedesan dan harus menempuh perjalanan sekitar 20 KM melalui jalan-jalan desa yang sempit dan rata-rata belum siap dilalui bus-bus besar, justru sedang dicari para peziarah dari tempat yang jauh.
Seperti saat rombongan dari Kraton Mataram Surakarta yang dipimpin Gusti Moeng “nyadran”, pukul 09.00 WIB sudah ada dua busa besar parkir di depan makam. Dan mengingat kompleks makam maupun halaman yang sempit, di makam ditulis pengumuman jelas, para peziarah dibatasi waktu doanya rata-rata sejam, karena di bulan Ruwah banyak rombongan peziarah yang mengantre.
Ketika rombongan lebih dari 30 orang, maka kelebihannya harus mengirim doa, dzikir dan tahlil dari luar “cungkup” makam, atau justru sepenuhnya menggunakan halaman dalam pagar makam. Maka abdidalem juru kunci ketika berbincang dengan Gusti Moeng, mengungkapkan gagasan-gagasan pemugaran konstruksi bangunan cungkup dan pendukungnya, termasuk ruang parkir.
Apa yang diungkapkan abdidalem M Husen Aziz A, adalah realitas kondisi makam dengan daya dukungnya, berbagai tantangan menghadapi gelombang peziarah, upaya mencari solusi dan sekaligus potensi secara ekonomis yang bisa lahir dari pengelolaan kompleks Astana Pajimatan Butuh. Dari situlah, sisi manfaat akan datang bersamaan dengan semakin banyaknya gelombang peziarah.
Setidaknya, manfaat untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat di lingkungan kompleks astana, karena para peziarah pasti butuh makan, minum, paturasan (kamar kecil), sesuatu yang khas (cinderamata) dan kebutuhan-kebutuhan lain. Maka dengan begitu, semangat perbaikan lingkungan kompleks astana juga akan lahir, setidaknya kepedulian Pemkab Sragen untuk memperbaiki infrastruktur di rute objek wisata religi itu, baik jalan, jembatan dan sebagainya.
Posisi Kraton Mataram Surakarta yang memiliki kaitan erat dengan sejumlah banyak kompleks astana pajimatan tokoh-tokoh leluhur Dinasti Mataram, dari zaman sejarah berjalan pada masa tokoh-tokoh itu hidup, hingga kinipun tetap sangat berkepentingan. Setidaknya, bisa menjadi payung bagi masyarakat di lingkungan yang memelihara makam, menjaga objek fisik dan tatacara adat “pemeliharaannya” khas Mataram Islam, termasuk ritual pemuliaannya, misalnya “Nyadran”. (Won Poerwono-bersambung/i1)