Kunjungan Mahasiswa, Selalu Mengingatkan Nasib Kraton Mataram Surakarta Pasca 1945 (seri 2 – bersambung)

  • Post author:
  • Post published:May 9, 2024
  • Post category:Regional
  • Reading time:10 mins read
You are currently viewing Kunjungan Mahasiswa, Selalu Mengingatkan Nasib Kraton Mataram Surakarta Pasca 1945 (seri 2 – bersambung)
MENYERAHKAN HASIL : Mujahidah Syakhiyyatul Karimah dan Fayza Fitrianetha di antara beberapa mahasiswa progam KMP dari Unair Surabaya, saat diterima KP Siswanto Adiningrat (Wakil Pengageng) di kantor Pengageng Sasana Wilapa, Rabu (8/5) kemarin. Mereka menyerahkan hasil wawancaranya dengan Gusti Moeng yang dilakukan Selasa (7/5). (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Sering Ditanya Dari Mana Kraton Bisa Menggaji Para “Pegawainya” dan Membiayai Operasionalnya?

IMNEWS.ID – LIMA mahasiswa PKM dari Fakultas Psikologi Universitas Airlangga (Unair) Surabaya yang melakukan studi lapangan dengan mewawancarai tiga nara-sumber terutama Gusti Moeng (iMNews.id, 7/5), memang memiliki tema tugas yang berbeda dengan gelombang studi lapangan yang dilakukan para mahasiswa dari beberapa universitas lain sebelumnya.

Kali ini, tema tugasnya adalah konsep “Sapa Sira, Sapa Ingsun” yang menjadi tema sentral dari yang terurai dalam sejumlah pertanyaan yang diajukan kepada Gusti Moeng Pengageng Sasana Wilapa/Pangarsa Lembaga Dewan Adat), KPP Wijoyo Adiningrat (
Wakil Pengageng Mandra Budaya) dan Dr Purwadi (abdi-dalem peneliti sejarah dari Lokantara Pusat di Jogja).

Konsep “Sapa Sira, Sapa Ingsun” yang terurai dalam sekitar 10 pertanyaan itu, kalau diambil garis besarnya adalah bagaimana konsep itu diterapkan secara nyata (fungsional) untuk diri seorang Raja di Kraton Mataram Surakarta, secara vertikal terhadap para pejabat bawahan, keluarga dan rakyatnya, serta secara horisontal bagi khalayak luas.

BERTEMU PELAKUNYA : Para mahasiswa program PKM dari Fakultas Psikologi Unair Surabaya, bisa bertemu Gusti Moeng sebagai “pelakunya” sendiri, Selasa (7/5). Baik pelaku seni (koreografer), budaya dan tokoh wanita Mataram yang sangat menjunjung tinggi adat, sekaligus pemimpin beberapa lembaga yang sangat kaya pengalaman. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Konsep yang menjadi tema itu sangat menarik, mengingat seni panggung ketoprak atau sejenisnya yang sering mengangkat tema itu melalui lakon-lakon yang dimainkan sudah “nyaris punah”. Perihal “tidak lakunya” seni drama berbahasa Jawa ini karena banyak faktor, di antaranya kalah oleh tayangan “Drama Korea” (Drakor-Red) dan berbagai jenis tontonan menarik lainnya.

Tetapi, ketika tema konsep “Sapa Sira, Sapa Ingsun” ditanyakan para mahasiswa kepada Kraton Mataram Surakarta, di situlah letak hal yang lebih menarik yang perlu dipahami. Karena, memang Kraton Mataram Surakarta yang memiliki produk budaya dan peradaban paling lengkap dan sudah sampai pada puncaknya, tak hanya berkaliber nasional, tetapi kaliber dunia.

Karena, Kraton Mataram Surakarta punya produk budaya dan peradaban yang mencapai puncak tertinggi hingga menjadi supremasi estetika. Supremasi estetika ini seakan melengkapi supremasi di bidang lain yang dicapai masyarakat adat serupa di tempat lain, bangsa-bangsa lain yang berbasis logika (teknologi dan sebagainya) dan etika (hukum dan sebagainya).

“Betul. Kraton-kraton lain, bangsa-bangsa lain termasuk kalangan pemerintahannya, masing-masing punya keunggulan di bidang supremasi logika dan etika. Tetapi, rata-rata mereka tidak memiliki keunggulan di bidang estetika. Kraton Mataram Surakarta, memiliki ketiganya secara lengkap. Supremasi estetikanya menonjol, lebih gampang terlihat,” tunjuk Dr Purwadi.

Memang benar pandangan Dr Purwadi, potensi kekayaan yang dimiliki Kraton Mataram Surakarta yang telah menjadi supremasi estetika ini, lebih tampak dan lebih gampang dikenali publik secara luas. Karena sudah menjadi kewajaran dalam realitas kehidupan, sesuatu yang tampak indah akan menjadi daya tarik yang lebih dulu tertangkap indera visual.

Sesuatu yang lebih dulu terlihat karena tampak indah, akan lebih banyak terekam dan lama tersimpan dalam memori publik serta gampang dikenali secara luas. Rupanya, Kraton Mataram Surakarta sering diirikan banyak pihak termasuk kalangan penguasa, karena ridak memiliki kekayaan estetika seperti yang dimiliki kraton, sejak ratusan tahun lalu hingga kini.

“TEROR KEILMUAN” : KPH Edy Wirabhumi terpaksa memberikan “pembelaan” dan “perlawanan”, karena forum sarasehan yang dibiayai dengan dana “keistimewaan” oleh kraton yang selalu menempatkan diri sebagai “pesaing” dalam Perjanjian Giyanti, tekanan dan “teror keilmuan” yang merugikan Kraton Mataram Surakarta. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Potensi kekayaan estetika yang menjadi supremasi keberadaan Mataram sejak didirikan Panembahan Senapati dan diaktualisasi Sultan Agung dalam ciri Islam yang sangat akulturatif, kemudian diperkaya pada zaman Mataram Kartasura, “disempurnakan” hingga sampai pada puncaknya selama Mataram Surakarta (1745-1945) yang masih berdiri tegak, megah dan indah higga kini.

Salah contoh supremasi estetika itu, adalah karya tari Bedhaya Ketawang yang diiringi (karawitan) gendhing Bedhaya Ketawang. Di sanalah, sabda Panembahan Senapati yang berisi intisari percakapannya dengan Kanjeng Ratu Kencanasari (Kanjeng Ratu Kidul), diabadikan oleh cucunya, Sultan Agung, dalam syair atau “cakepan” gendhing Bedhaya Ketawang itu.

Tari Bedhaya Ketawang yang diciptakan Sultan Agung Prabu Hanyakrakusuma, menjadi karya tari level tertinggi. Selain mengakomodasi pesan kepemimpinan (etika) dan paugeran adat (logika), di situ ada nilai estetika sangat tinggi. Supremasi estetikanya juga terletak pada kostum tarian ini, hingga menjadi busana idaman calon pengantin wanita sampai abad ini.

POSITIF DAN DAMAI : Kehadiran para siswa dari sejumlah TK di wilayah Kecamatan Pasakliwon yang mengunjungi di Museum Kraton Mataram Surakarta, beberapa waktu lalu, membuat kesan positif dan suasana damai. Karena yang ingin didapat adalah edukasi tentang kebersahajaan kraton, untuk kemanfaatan publik secara luas. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Potensi kekayaan yang menjadi supremasi estetika yang dicapai Kraton Mataram Surakarta, juga terletak pada hampir semua karya yang pernah dihasilkan. Di dalam berbagai jenis dan ragam tari karya para Raja dan Empu tari di kraton, tak hanya memperlihatkan gerak tari dan struktur serta formasinya, melainkan juga mengedukasi berbagai unsur lain pendukungnya.

Bagaimana para tokoh yang dilukiskan sedang berseteru dan terlibat perang, dalam tarian karya kraton pasti direduksi dengan unsur-unsur gerak bersama segala atributnya yang digunakan yang selalu mengedepankan unsur estetika. Bagaimana perseteruan dalam pertunjukan tari, tetap dilukiskan dengan sikap hormat yang indah, yaitu sikap “menyembah”.

Bagaimana unsur estetika beberapa macam bunga, bisa menjadi daya dukung penampilan dan pertunjukan bahkan karakter para peraganya, hingga yang tampak menonjol tetap dimensi estetikanya. Selain gerak dan atribut pendukung, masih ada elemen “wicara” atau dialog yang menggunakan bahasa Jawa “krama” madya, bahkan “inggil”, di situlah puncak estetikanya pula.

Selain melalui beberapa simbol yang ikonik seperti logo Sri Radya Laksana, nama “Sura” dan “Karta” (Surakarta), struktur bangunan kraton mulai dari Gapura Gladag hingga Gapura Gading, pohon kembar “Ringin Kurung”, satu-kesatuan Alun-alun Lor, Masjid Agung dan kraton, masih banyak simbol supremasi estetika yang ada di berbagai karya para tokohnya.

Karya-karya sastra sejumlah Pujangga Jawa yang hanya dimiliki Mataram Surakarta, kemudian berbagai karya gendhing, karawitan, tari, pedalangan dengan berbagai komponen/elemen pendukung masing-masing, adalah wujud supremasi estetika. Bahkan aset prajurit kraton, adalah elemen kekuatan pertahanan yang lebih menonjol supremasi estetikanya.

“Walau waktunya singkat, saya tidak pernah membayangkan bisa belajar dari nama besar Kraton Mataram Surakarta. Saya merasa beruntung bisa belajar langsung dari orang-orang hebat seperti Gusti Moeng dan Dr Purwadi. Karena saya tidak hanya mendapat pengetahuan sesuai bidang tugas. Tetapi saya banyak mendapat pengetahuan tentang makna kehidupan”.

KURANG INFORMASI : Pemandangan di foto itu, adalah suasana pembagian gaji abdi-dalem yang rata-rata hanya Rp 100 ribu sampai Rp 500 ribu/orang per-bulan, sebelum 2017. Maka, para mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi yang mengadakan studi lapangan di Kraton Mataram Surakarta, pasti terkejut dan tidak percaya melihat realitas itu. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

“Kami dan teman-teman mahasiswa yang melakukan program ini, sangat berterimakasih atas pesan-pesan moral yang diberikan Gusti Moeng dan para nara sumber lain. Makna filosofi (tema) ‘Sapa Sira, Sapa Ingsun’ bisa dijelaskan dengan baik dan mudah kami pahami. Bahkan, ada nilai-nilai dari makna kehidupan yang kami terima dari tema itu,” ujar Dhita Adsa Adani.

Dhita Adsa Adani bersama empat temannya yaitu A’ida Faizya Fitrianetha, Mujahidah Syakhsiyyatul Kharimah, Aulia Nuurin Mahfudloh dan Mohamad Abrar Putera Redian, semalam masih melanjutkan kegiatannya di Kraton Mataram Surakarta. Tetapi, kegiatan di luar tugasnya yang sudah selesai, untuk memenuhi undangan Gusti Moeng, untuk megikuti doa tahlil.

Doa tahlil yang digelar tiap Kamis malam di teras Nguntarasana itu, baru dimulai pukul 21.00 WIB lebih seperti jadwal yang
sudah diundangkan Gusti Moeng. Namun karena besok pagi sudah harus berangkat pulang ke Surabaya, rencana mengikuti doa tahlil dibatalkan, tetapi mereka sempat menikmati latihan seni Laras Madya, sebelum berpamitan kembali ke penginapan.

KAYA RAYA : Kraton Mataram Surakarta dikenal kaya-raya, tetapi itu dulu. Ketika melihat antrean para abdi-dalem yang hendak mengambil gaji seperti ini, banyak mahasiswa yang bertanya saat studi lapangan di kraton. Untuk menggaji mereka yang hanya Rp 100 ribu sampai Rp 500 ribu/orang per-bulan, uang dari mana?. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Kehadiran para mahasiswa Fakultas Psikologi Unair Surabaya itu memang hanya bertanya soal “Sapa Sira, Sapa Ingsun”. Tetapi gelombang kehadiran kalangan kampus dari beberapa universitas yang silih-berganti sejak Januari 2023, seakan selalu mengingatkan tentang nasib Kraton Mataram Surakarta yang selama ini nyaris tidak pernah baik-baik saja.

Kondisi dan situasi yang nyaris tidak pernah menguntungkan itu selalu kembali terungkap, ketika mereka mengajukan pertanyaan yang polos tetapi menggelitik. Karena, rata-rata kalangan mahasiswa tidak tahu perjalanan panjang Kraton Mataram Surakarta. Kalangan kampus banyak yang tidak paham bagaimana nasib kraton setelah mendukung berdirinya NKRI.  

Pertanyaan dari mana (dana/biaya) didapat kraton untuk membiayai operasional rumah-tangga, gaji para pegawai (abdi-dalem) dan pemeliharaan semua aset bangunannya? Pertanyaan menggelitik berikut adalah, apa untungnya bergabung dengan NKRI, kalau kenyataannya hampir semua bangunan kraton tampak kusam, rusak dan terkesan tidak terawat?. (Won Poerwono-bersambung/i1).