Semangat Kebesaran Mataram Islam untuk Melindungi Seluruh Kehidupan
IMNEWS.ID – PERINGATAN Hari Raya Waisak ke-2567 BE yang dipusatkan di kompleks Candi Borobudur, Minggu (4/6) dan berbagai rangkaian kegiatan pendukungnya yang digelar beberapa hari menjelang dan sesudahnya di beberapa tempat, termasuk kompleks Candi Mendut di tahun 2023 ini, pasti akan dikenang dan menjadi catatan penting publik secara luas. Terlebih, peristiwa keagamaan yang digelar secara nasional itu, berlangsung dalam suasana yang sudah bebas dan kembali normal selepas berbagai pembatasan aktivitas dan mobilitas selama pandemi Corona berlangsung, tahun 2020-2022.
Kenangan dan catatan penting tentang itu, salah satunya dimiliki warga peradaban secara luas dan khususnya masyarakat adat Kraton Mataram Surakarta yang terlibat langsung dalam rangkaian kegiatan pendukung menyambut Hari Raya Waisak ke-2567 BE, khususnya Sabtu dan Minggu (3-4/6) itu. Karena bisa disebut, peran Kraton Mataram Surakarta dalam menyemarakkan perayaan Hari Waisak itu, adalah kali pertama dilakukan selama usia republik ini berdiri atau sejak peristiwa bergabungnya Kraton Mataram Islam menjadi bagian dari NKRI pada tanggal 17 Agustus 1945 itu.

Adalah lompatan yang begitu jauh dilakukan Kraton Mataram Surakarta, yang karena belum ada catatan atau data dokumen peristiwanya, telah mencatat perjalanan sejarah benar-benar mewujudkan tugas dan kewajibannya menjadi Mataram Islam yang “rahmatan lil ‘alamin”. Karena, secara proaktif benar-benar ingin mencoba mewujudkan peran kebesarannya dalam melindungi semua kehidupan tanpa kecuali, termasuk di dalamnya keragaman kebhinekaan yang menjadi ciri bangsa ini, termasuk keragaman agama yang diakui resmi di Tanah Air.
Kraton Mataram Surakarta sebagai lembaga peradaban yang kini hanya berkecimpung dalam pelestarian seni budaya dan kehidupan berkesenian dan berbudaya Jawa untuk peradaban sepanjang zaman, memang bukan menjadi bagian dari pihak yang menginisiasi dan menggelar periayaan Hari Waisak itu. Bahkan, dalam kirab budaya yang diikuti oleh 30-an prajurit dari beberapa Bregada Prajurit kraton, Minggu (5/6), keberadaannya tidak disebut dalam kelompok/kontingen barisan peserta, karena yang disebut MC hanya yang tertulis dalam spanduk yang dibawa prajurit, yaitu “Pawai Budaya Padmastana; Majlis Umat Nyingma Indonedia (MUNI)”.

Sebagian generasi dari publik warga peradaban sekarang ini boleh saja belum mengenal atau tidak diperkenalkan oleh MC tentang keberadaan rombongan prajurit Kraton Mataram Surakarta menjadi peserta kirab budaya “atas nama” Majlis Umat Nyingma Indonedia (MUNI)” seperti tertulis pada selembar spanduk yang dibawa. Tetapi, pasti banyak yang bisa mengenal dari atribut yang dikenakan, vandel panji-panji kraton yang berlogo “Sri Radya Laksana” dan sebagainya ketika menatap langsung dengan indera mata Minggu pagi (4/6), mulai dari samping kompleks Candi Mendut hingga sepanjang jalan menuju kompleks Candi Borobudur.
Teknologi informatika khususnya plaform medsos dan lebih khusus lagi Youtube, tentu juga sudah banyak memperkenalkan ciri-ciri fisik eksistensi Kraton Mataram Surakarta, khususnya melalui kostum dan segala atribut yang dikenakan para prajuritnya. Terlebih, melalui teknologi yang memiliki platform medsos itu, sejak abad milenial dimulai, sangat banyak mengeksplorasi berbagai potensi wisata di Tanah Air, khususnya di kawasan Kraton Mataram Surakarta dengan berbagai jenis aset pemandangan dan objek benda bersejarah di dalamnya.

Maka, peristiwa “terselipnya” simbol-simbol Kraton Mataram Surakarta di dalam rangkaian acara peringatan Hari Raya Waisak ke-2567 BE selama dua hari terutama kirab budaya, Minggu (4/6) itu, benar-benar merupakan lompatan besar dalam perjalanan sejarah kraton dalam upaya mewujudkan tugas dan kewajibannya serta kebesarannya sebagai Kraton mataram Islam yang “rahmatan lil ‘alamin”. Dalam kebutuhan peribadatan sebuah agama yang harus diayominya, kraton bisa menjadi bagian dari sebuah kegiatan penyemarak perayaannya, tetapi sebagai lembaga pemelihara peradaban, kraton duduk pada posisinya sebagai pengayomnya.
Dalam pola hubungan seperti itulah, kini dan ke depan merupakan keniscayaan yang bisa saling membesarkan, saling memuliakan dan saling melindungi, tetapi bisa bersama-sama menjadi kekuatan luar biasa dalam memelihara peradaban sepanjang masa, agar cita-cita dan harapan seperti disebut dalam “Tri Prasetya” yang pernah ditandaskan Sultan Agung Prabu Hanyakrakusuma benar-benar bisa diwujudkan bersama. Hal itulah yang menjadi esensi penting kehadiran kraton ikut menyemarakkan perayaan Hari Waisak, seperti yang dijelaskan secara singkat oleh Gusti Moeng di acara tanam bersama pohon “Sarwa Becik”, Sabtu (3/6).

Dan itulah makna yang menjadi esensi kehadiran Kraton Mataram Surakarta, lompatan jauh yang dinisiasi Gusti Moeng selaku Pengageng Sasana Wilapa sekaligus Ketua Lembaga Dewan Adat itu, ketika berada di tengah rangkaian perayaan dan ikut mewarnai kegiatan perayaan Hari Raya Waisak itu. Dalam kesempatan memberi pidato sambutan pada upacara bhakti sosial dengan tanam bersama bibit pohon “Sarwa Becik” di Taman Maha Bodhi, Desa Majaksingi, Kecamatan Borobudur, sekitar 3 KM arah selatan Candi Borobudur itu, Gusti Moeng menjelaskan esensi dari “Nyebar Kabecikan” yang disimbolkan dengan pohon “Sawo Kecik”.
Peristiwa serupa dalam rangka mewujudkan semangat kebesaran Mataram Islam untuk Melindungi seluruh kehidupan, pernah dialami di saat-saat terakhir Sinuhun PB XII jumeneng nata, awal tahun 2000-an. Tetapi, peristiwa sejarah yang dialami Kraton Mataram Surakarta saat itu, bukan dalam bentuk peribadatan perayaan hari besar agama. Tetapi sebuah ritual yang diinisiasi seorang tokoh Hindu dari India bernama Sri Chinmoy, yang memilih Kraton Surakarta dari serangkaian perjalanannya keliling dunia untuk menebar perdamaian. (Won Poerwono-bersambung/i1)