Maklumat Klarifikasi Media, Solusi Tuntas Friksi dan Dualisme “Insiden 2017” (seri 1 – bersambung)

  • Post author:
  • Post published:April 1, 2025
  • Post category:Budaya
  • Reading time:8 mins read
You are currently viewing Maklumat Klarifikasi Media, Solusi Tuntas Friksi dan Dualisme “Insiden 2017” (seri 1 – bersambung)
MELEMPAR SINYAL : Gusti Moeng selaku Pengageng Sasana Wilapa/Pangarsa LDA, sejak menggelar ritual Malem Selikuran, Rabu (20/3) sudah melempar sinyal penting, yang antara lain sudah disosialisasikan KPH Edy Wirabhumi (Pimpinan Eksekutif LHKS) melalui konferensi pers, Rabu (26/3). (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Perlawanan Nyata Terhadap “Niat Jahat” yang Menginginkan “Kraton Mati Pelan-pelan”

IMNEWS.ID – Rabu Pahing (26/3) lalu, Lembaga Hukum Kraton (Mataram) Surakarta (LHKS) menggelar konferensi pers di sebuah “warung wedangan” di kawasan Kartopuran, Serengan, Surakarta. KPH Edy Wirabhumi (Pimpinan Eksekutif LHKS), menjelaskan Surat Klarifikasi Media dari Pangarsa Lembaga Dewan Adat (LDA) yang dilanjutkan dengan tanya-jawab dengan 30-an wartawan.

Konferensi pers dengan para wartawan berbagai media platform sambil berbuka puasa bersama itu, pada intinya berupa penjelasan dan penegasan atas surat yang ditandatangani Gusti Moeng, baik selaku Pengageng Sasana Wilapa maupun Pangarsa LDA. Surat atau “maklumat” dimaksud, untuk meluruskan berita media dan ekspresi pribadi di beberapa platform medsos.

Berita media yang diluruskan, menyangkut pernyataan beberapa figur tokoh di sekitar Sinuhun PB XIII yang mengatasnamakan  lembaga yang sudah “hangus” atau “tak berlaku” sejak ada peristiwa eksekusi putusan MA. Seperti diketahui (iMNews.id, 8/8/2024), di “gedhong” Sasana Handrawina, telah dilakukan eksekusi putusan PK Mahkamah Agung RI No. 1006/PK/Pdt/2022.

Peristiwa eksekusi oleh tim yang dipimpin Dr Asep Dedi Suwasta SH MH selaku Panitera PN Surakarta pada 8 Agustus 2024 itu, adalah peristiwa eksekusi yang baru bisa dilakukan setelah beberapa kali gagal karena dihadang kelompok Sinuhun PB XIII. Namun, peristiwa penegasan keputusan hukum tertinggi, final dan mengikat itu, agaknya hanya “dianggap angin lalu”.

MENYINGGUNG SINYAL : Di acara berbuka puasa bersama dan pembagian bingkisan Lebaran, Kamis (27/3), Gusti Moeng (Pengageng Sasana Wilapa/Pangarsa LDA) menyinggung sinyal yang sudah dilempar sebelumnya, antara lain penyelesaian hukum pengembalian Bebadan Kabinet 2004 memakan waktu cukup lama. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Karena peristiwa eksekusi putusan MA yang juga disebut “Dekrit LDA” itu hanya disikapi “acuh tak acuh” atau “dianggap angin lalu” oleh kelompok Sinuhun PB XIII, maka pimpinan Bebadan Kabinet 2004 yang juga Pangarsa LDA menerbitkan surat klarifikasi media. “Maklumat” itu ternyata memiliki tujuan tegas banyak hal, utamanya meluruskan pemberitaan yang keliru.

Tujuan yang tegas dan tandas untuk menjekaskan bahwa Lembaga Dewan Adat (LDA) telah dikembalikan posisinya sebagai lembaga resmi, sah dan diakui secara hukum tertinggi dan final di Kraton Mataram Surakarta. LDA adalah lembaga yang resmi, sah dan berwenang mengelola kraton beserta seluruh aset-asetnya, baik yang bergerak maupun tidak.

KPH Edy Wirabhumi dalam penjelasannya di depan para wartawan itu juga megeaskan, LDA lembaga yang sah, resmi dan punya kewenangan mengelola kraton beserta aset-asetnya, baik yang berada di dalam lingkungan kraton maupun di luar kraton, di dalam negeri atau di luar negeri dan yang dalam penguasaan/pengelolaan kraton, maupun dikuasai/dikelola pihak lain.

Oleh sebab itu, sejak peristiwa eksekusi putusan MA ayau “Dekrit LDA” pada 8 Agustus 2024 itu, pihak-pihak di luar otoritas Lembaga Dewan Adat sudah tidak punya kewenangan secara hukum untuk menggunakan, mengelola dan menguasai aset-aset kraton. Bila diuraikan lebih jauh, hal yang tidak boleh digunakan/dikelola/dikuasai pihak lain, termasuk upacara adat.

JELASKAN “MAKLUMAT” : KPH Edy Wirabhumi (Pimpinan Eksekutif LHKS) menjelaskan “maklumat” atau surat klarifikasi media yang diterbitkan Pengageng Sasana Wilapa/Pangarsa LDA dan ditandatangani Gusti Moeng, yang intinya mengumumkan berlakunya kembali Bebadan Kabinet 2004 dan otoritas Lembaga Dewan Adat (LDA), Rabu (26/3). (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Berkiat dengan itu, kalau pihak lain di luar Lembaga Dewan Adat menggunakan/menguasai/mengelola upacara adat kraton, bisa dikategorikan telah melakukan “perbuatan melawan hukum” ganda. Karena, pihak-pihak itu mengaku “Pengageng Sasana Wilapa” dan “Pengageng Parentah Kraton” bentukan Sinuhun PB XIII, hasil penyalahgunaan SK Kemendagri No.430-2933 tahun 2017.

Namun sangat mungkin, peristiwa ritual hajad-dalem Garebeg Syawal yang akan digelar Selasa (1/4) besok siang, menjadi pengecualian untuk sebutan “”perbuatan melawan hukum”. Karena hasil rapat jajaran Bebadan Kabinet 2004 seperti disebutkan KPP Haryo Sinawung Waluyoputro (Wakil Pengageng Karti Praja) belum lama ini, Sinuhun PB XIII justru “diberi kesempatan”.

Yaitu “diberi kesempatan” untuk memenuhi janji sesuai kontrak kerjasama penggunaan dana hibah APBD Pemkot Surakarta, yang telah ditandatangani bersama. Karena biasanya, kerjasama penggunaan dana hibah untuk kegiatan upacara adat kraton yang diambil dari APBD, sudah disepakati untuk beberapa jenis upacara adat yang digelar selama setahun anggaran (2024-2025).

Dalam analisis lebih lanjut, penggunaan/pengelolaan/penguasaan upacara adat yang masuk kategori ganda tetapi “dimaafkan” karena diberi kesempatan “memenuhi janji” itu, tentu dalam hal penyelenggaraan dan pelaksanaan kegiatannya saja. Karena, penyebutan diri sebagai “Pengageng Sasana Wilapa” dan “Pengageng Parentah Kraton”, jelas dilarang oleh “maklumat” itu.

CONTOH PELANGGARAN : Sebuah baliho pengumuman event upacara adat di Kraton Mataram Surakarta, memperlihatkan contoh penyebutan diri yang disebut termasuk dalam “perbuatan melawan hukum”, karena tidak berdasar dan tidak sesuai dengan eksekusi putusan MA yang dilakukan pada 8 Agustus 2024. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

“Maklumat” yang berisi “peringatan keras” itu, bahkan tak hanya ditujukan kepada figur yang menyebut dirinya di media dengan “pengageng Sasana Wilapa” dan “Pengageng Parentah Kraton” berdasar “Bebadan” bentukan Sinuhun PB XIII yang sudah tak berlaku. Tetapi juga ditujukan untuk figur yang mengaku “GKR Pakubuwono” sebagai “permaisuri” Sinuhun PB XIII.

Karena, gelar dan posisi sebagai permaisuri itu tidak ada Kraton Mataram Surakarta sejak Sinuhun PB XIII jumeneng nata mulai 2004. Karena, Sinuhun PB XIII tidak pernah mengangkat permaisuri dan kraton tidak pernah menggelar upacara adat pengangkatan permaisuri. Begitu pula, kraton tidak pernah menggelar upacara adat penganugerahan gelar “GKR Pakubuwono”.

“Kalau itu semua produk SK Kemendagri No.430-2933 tahun 2017 yang sudah disalahgunakan Sinuhun PB XIII, berarti semua sudah gugur atau tidak berlaku dengan eksekusi putusan MA pada 8 Agustus 2024 lalu. Termasuk pengangkatan permaisuri dengan gelar GKR Pakubuwono dan putra mahkota Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Anom Hamangkunagoro, itu semua sudah gugur”.

“Itu semua sudah tidak berlaku, dengan adanya eksekusi putusan MA tersebut. Semua kembali ke posisi nol, dan mari sama-sama memulai lagi dari posisi awal (yang dipimpin Bebadan Kabinet 2004 dan dalam otoritas Lembaga Dewan Adat). Karena, pengangkatan keduanya tidak prosedural, serta tidak punya hak dan kapasitas untik itu,” tandas KPH Edy Wirabhumi.

LUAR BIASA : Selain dalam penyebutan dan penggunaan gelar serta nama yang dianggap melanggar karena tidak punya dasar hukum, juga ada pemandangan perilaku figur dalam upacara adat sekaligus pemilik gelar yang bukan haknya, yang dianggap pelanggaran paugeran adat luar biasa. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Bila dianalisis lebih jauh, eksekusi putusan MA yang menganulir semua produk Sinuhun PB XIII selama 2027-2022 itu, jelas punya kesalahan ganda pula. Karena, pengangkatan kedua figur itu dalam gelar dan posisi masing-masing, sama sekali tidak punya dasar hukum, baik hukum positif maupun hukum adat. Karena, keduanya memang tidak punya hak dan kapasitas untuk itu.

Tidak punya hak dan kapasitas, jelas merujuk pada paugeran adat karena yang memiliki gelar “GKR Pakubuwono” adalah figur yang sama sekali tidak punya asal-usul secara adat atau “nazab”. Sedang yang punya gelar “putra mahkota Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Anom Hamangkunagoro”, tak punya hak dan kapasitas karena anak lelaki kedua dari istri bukan “permaisuri”. (Won Poerwono – bersambung/i1)