Malem Selikuran, Indikator “Kegagalan” dan Rusaknya Cara Pandang
IMNEWS.ID – SEORANG peneliti sejarah yang produktif membukukan hasil penelitian dan kajiannya pernah berujar kepada iMNews.id, tentang perenungannya soal ucapan seorang wayah-dalem Sinuhun PB XII. Karena, wayah-dalem yang hendak dipandu meghadiri upacara keagamaan di Magelang, beberapa tahun lalu, sudah datang terlambat tetapi tetap minta “privilege”.
“Saya ini anak Raja. Mosok disamakan dengan pengusaha”, demikian sergah figur wayah-dalem itu seraya minta dibedakan atau diistimewakan kehadirannya. Ilustrasi yang sederhana itu hanya peristiwa kecil, tetapi bisa melukiskan sebuah perubahan besar di kalangan keluarga inti Kraton Mataram Surakarta, baik cara pandang, perilaku, sikap, pemikiran dan sebagainya.
Ekspresi yang tumpah dalam peristiwa itu, mungkin kasuistik yang belum tentu mewakili keseluruhan figur secara general di dalam keluarga inti kraton, kalangan kerabat atau justru masyarakat adat secara keseluruhan. Tetapi publik perlu memahami, adanya dua bagian dari ketiga kategori yang terbelah itu sebelumnya berasal hanya satu entitas sebelum 2017.
Bahkan sejak suksesi tahun 2004, sebenarnya entitas keluarga inti, kalangan kerabat dan masyarakat adat itu sudah lebih dulu “teriris”. Karena, faktanya Pengageng Parentah Kraton (GPH Dipokusumo), Pengageng Keputren (GKR Alit) dan Pengageng Kusuma Wandawa (GPH Hadiprabowo) “memilih keluar” dari kraton untuk mendukung jumenengnya Sinuhun PB XIII Tedjowulan.

Dengan fakta seperti itu, patut dipahami bahwa sebenarnya sejak 2004 itu entitas kekerabatan dan masyarakat adat Kraton Mataram Surakarta sudah tidak utuh, karena “cuwil besar”. Dinamika politik yang berkembang di luar dan berpengaruh ke internal kraton, telah merubah komposisi entitas “cuwilan” atau “sempalan” dan “gumpalan besar” induknya dari kasus 2004.
Dinamika sosial-politik-budaya eksternal yang bisa menembus ke internal kraton dan berhasil mempengaruhi komposisi kekuatan entitas “sempalan” dan “gumpalan besar induknya” itu pada peristiwa insiden 2017, kembali merubah komposisi dua entitas itu. Dua entitas itu ternyata masih mengalami perubahan besar setelah “insiden damai” 3 Januari 2023 hingga kini.
Ketika dicermati lebih dalam dan dianalisis lebih jauh, ekspresi figur wayah-dalem yang ketus di depan seorang peneliti sejarah yang juga Ketua Lokantara (Pusat) Jogja, adalah contoh “korban” dinamika sosial, politik dan budaya dari luar yang membuat gejolak besar di internal kraton. Singkat kata, figur itu tidak siap menghadapi “realitas” perubahan.
Bila diurai kembali dan ditarik ke belakang, ekspresi yang tidak tepat atau salah tempat itu adalah bagian dari akibat terampasnya “rasa keadilan” yang menjadi hak konstitusional Kraton Mataram Surakarta bersama tiga elemennya sebagai warga/rakyat NKRI. Tetapi sebagi “rakyat”, sebagian besar dari dua entitas itu memang mengalami persoalan menghadapi realitas.

Tak hanya itu, kehidupan pribadi-pribadi setiap insan terutama keluarga inti dan kerabat terutama generasi mudanya, banyak yang “termakan” oleh dinamika sosial, politik dan budaya dari eksternal kraton. Cara pandang, proses berfikir, sikap, penalaran, perilaku dan cara mengambil keputusan mereka, sudah dirusak oleh pengaruh dari dinamika di luar kraton.
Faktanya memang banyak di antara entitas “sempalan” dan “gumpalan besar induknya”, bisa memandang dan menjalani proses kehidupan seperti warga peradaban umum. Yaitu, keasadaran untuk mendapatkan transfer knowlegde, science, technology and skill dalam porsi cukup, melalui lembaga sekolah formal dari SD hingga perguruan tinggi, untuk mendukung “modal dasarnya”.
Karena asumsi publik secara umum menyebut, setiap insan keluarga inti Raja (kraton), kalangan kerabat dan masyarakat adat dalam dua entitas itu, pasti memiliki kapasitas pengetahuan dan ketrampilan di bidang seni, budaya dan sejarah cukup dan lebih baik dibanding masyarakat awam. Beberapa hal itulah yang seharusnya menjadi “modal dasar” mereka.
Tetapi, fakta yang demikian itu nyaris tidak terdapat di antara para figur yang bergabung di entitas “sempalan” yang berada di “seberang”. Sebaliknya, kapasitas “modal dasar” itu justru semakin dimiliki entitas “gumpalan besar induk” yang dipimpin Gusti Moeng selaku pimpinan Bebadan Kabinet 2004, Pengageng Sasana Wilapa maupun Pangarsa Lembaga Dewan Adat.

Ketika “modal dasarnya” tipis atau bahkan sama sekali awam, apalagi tidak punya pengalaman pendidikan yang cukup dalam sikll, technology, science and knowledge, maka “selesailah” sudah riwayatnya. Pelan-pelan, figur-figur seperti itu akan tersingkir dari entitas besar yang bisa menempatkan diri di manapun, kapanpun dan dengan segala kapasitas modal dasarnya.
Figur-figur yang tak punya “modal dasar” tetapi sudah “rusak” motor pengatur cara pandang, bersikap, perilaku dan cara penalarannya, kira-kira seperti yang berkumpul dalam “atraksi” ritual “Malem Selikuran” yang “ditanggap” Dinas Pariwisata Pemkot di Sriwedari, Rabu malam (20/3) itu. Mereka tidak bisa berpikir jernih, di mana seharusnya menggelar upacara adat?.
Dengan mencermati cara pandang, berperilaku, bersikap dan berpenalaran seperti itu, maka “aksi duplikasi sumbangan” Malem Selikuran itu sangat memenuhi sarat sebagai indikator telah mengalami kerusakan berat. Terlebih, bila dikaitkan dengan surat klarifikasi yang diterbitkan Gusti Moeng, Rabu (26/3), guna meluruskan banyak asumsi keliru yang berkembang di medsos.
Dalam situasi dan kondisi yang masih terbatas, entitas “gumpalan besar induk” yang dipimpin Gusti Moeng, masih mending karena ada kesadaran, kepedulian dan semangat kolektif untuk memperkuat “modal dasarnya”. Di saat itu, kalangan wayah-dalem punya peluang terbuka untuk “nyantrik” pada figur-figur tokoh expert di bidang-bidang yang jadi “modal dasar” itu.

Tetapi mengapa tidak mereka gunakan atau mengambil kesempatan terbuka dan bebas itu?. Jawabnya kembali pada pribadi-pribadi figur para wayah-dalem itu sendiri. Yaitu tergantung pada motor pengatur cara pandang, bersikap, perilaku dan cara penalarannya, apakah masih bisa melihat peluang itu dengan jelas, bijaksana dan melihat tantangan jauh ke depan.
Kalau ternyata yang dilihat dan diharapkan hanya “privilege” tapi lupa dirinya berada di mana dan dalam situasi apa, maka terjerumuslah, tersesatlah dan pelan-pelan “tamatlah riwayat mereka”. Tetapi, mereka inilah kelompok atau figur-figur pribadi yang justru dicari pihak eksternal kraton, karena “asal dibayar” mereka rela membakar habis “habitatnya” sendiri. (Won Poerwono – habis/i1)