Ritual Malem Selikuran di Sriwedari, Kini Mirip “Seni Jalanan”
IMNEWS.ID – POSISI “Taman Sriwedari” yang nyaris kehilangan sifat-sifat sakralitas, fungsi dan makna filosofi karena sengketa kepemilikannya sejak tahun 1970-an, telah merubah peta spiritual kebatinan dan sakralitasnya sebagai tempat menggelar upacara adat Malem Selikuran. Marwahnya bahkan hilang sejak menjadi “agunan politik” pada Pilkada Surakarta.
Sengketa bermula ketika kalangan ahli waris KRT Wirjodiningrat menggugat perdata kepemilikan atas tanah HP 10-11 yang sebelumnya dikenal sebagai sebidang tanah bernama Kebon Raja, pada tahun 1970-an. KRT Wirjodiningrat adalah abdi-dalem Sinihun PB X yang tugasnya mengurus lalu-lintas adiministratif lembaga “Raja”, termasuk merawat akta/sertifikat tanah.
Belum ada data jelas yang menjadi alasan gugatan itu dilakukan, tetapi gugatan itu berdasarkan dokumen kepemilikan semacam sertifikat atas tanah (HP 10-11) yang pernah dibuat pada zaman Sinuhun PB X (1893-1939). Pada zaman “Raja” yang kaya-raya ini, hampir semua tanah aset “negara” atau “kagungan-dalem” didaftar secara administratif dan “disertifikasi”.
Seperti pernah diungkapkan KRA Gunadi, yang pernah menjadi juru-bicara ahli waris di awal tahun 2000, tanah itu dibeli Sinuhun PB X dari seorang Belanda sebagai pemiliknya. Sebidang tanah itu lalu dimanfaatkan untuk membuat sarana rekreasi umum yang diberi nama “Kebon Raja”, yang pada perjalanannya kemudian diisi binatang dan namanya disebut Taman Sriwedari.

Sejak berada di alam republik, lokasi itu menjadi taman rekreasi terkenal yang berisi kebon-binatang dan lebih dikenal dengan nama Taman Sriwedari. Selain “bon-bin” dan “hutan kota”, sarana rekreasi ikon Kota Surakarta yang dikenal sangat luas saat itu, karena ada telaga atau “Segaran” untuk wisata air dan saat Ramadhan ada keramaian “Maleman Sriwedari”.
Namun, di antara tahun 1970-1980-an Pemkot Surakarta memiliki kebijakan untuk “menata-ulang” Kota Surakarta, yang antara lain menciptakan taman rekreasi baru yang “diklaim” lebih memadai. Yaitu membangun Taman Satwa Taru Jurug setelah merubah sirkuit motocross di sana, lalu memindahkan sepasang gajah Taman Srwedari beranama Kiai dan Nyai Anggara ke Jurug.
Sementara, proses hukum gugatan para ahli waris di Pengadilan Negeri Surakarta tak kunjung berkeputusan hingga tahun 2000-an. Pada tahun-tahun berikutnya dalam dua dekade terakhir, pihak ahli waris berupaya “melancarkan” jalannya proses hukum, dan putusan MA menguatkan gugatan para ahli waris yang menang di tingkat Pengadilan Negeri maupun banding di PT.
Dalam waktu beberapa tahun kemudian setelah terbit putusan MA, lalu terbit surat penetapan PN yang sudah bersiap-siap akan melaksanakan eksekusi putusan MA. Tetapi, ditunggu hingga sekitar lima tahun eksekusi itu tidak kunjung terwujud, tetapi yang terjadi justru terbit sertifikat hak pakai (HP) baru yang bisa dianggap sebagai pengganti HP 10-11.

Hingga kini, proses hukum yang tinggal pelaksanaan eksekusi putusan MA itu tak ada wujudnya. Yang terjadi, setelah terbit HP baru pengganti HP 10-11, di antara tahun 2010-2015, terdengar kabar di Sriwedari akan dibangun sebuah masjid. Penyebutan kata-kata itu menjadi semakin keras ketika disuarakan sebagai janji kampanye untuk Pilkada Surakarta 2015.
Sriwedari yang menjadi janji kampanye atau “agunan politik” saat Ahmad Purnomo diangkat menjadi Wakil Wali Kota menggantikan FX Hadi Rudyatmo, malah langsung diwujudkan. Pembangunan masjid di Sriwedari yang antara lain “menggusur” lahan THR Sriwedari, terus berlangsung selama FX Hadi Rudiyatmo meneruskan jabatan Jokowi sebagai Wali Kota mulai tahun 2012.
Kini, proses pembangunan masjid di lahan yang sedang “bermasalah ganda” itu macet total, bahkan sejak awal pandemi Corona tahun 2020. Selama itu, bahkan jauh sebelumnya, kegiatan ritual “Malem Selikuran” di arena “Maleman Sriwedari” tidak muncul. Ritual ini baru muncul kembali tahun 2023, ketika di internal kraton terjadi perubahan besar buntut insiden 2017.
Sebelum 2017, Sriwedari jelas sudah tidak menjadi ajang ritual “Malem Selikuran”, karena Bebadan Kabinet 2004 yang dibentuk bersama Sinuhun PB XIII, menarik kembali ritual itu ke kraton. Berarti, sudah sangat panjang Sriwedari tanpa Malem Selikuran, meskipun belum lama ini ada warga Magelang mengaku di medsos masih menikmati Maleman Sriwedari di tahun 1968.

Kalau ada warga yang punya pengalaman pernah menikmati “Malem Selikuran” digelar di arena “Maleman Sriwedari” tahun 1968 itu, memang bisa dipahami karena hampir segala daya dukung “habitat”nya masih ada. Setidaknya, masih ada “Kupel Segaran” yang menjadi pusat ritual hajad-dalem Malem Selikuran itu, kemudian aneka macam keramaian pengisi Maleman Sriwedari.
Tetapi, karena “Kupelnya” sudah hilang dan “Segaran” ditutup bangunan restoran, hadirnya Taman Hiburan Rakyat (THR) Sriwedari secara berangsur-angsur dan masif sejak 1985, membuat Taman Sriwedari kehilangan fungsi spiritual sakralitas Taman Sriwedari. Berbagai kepentingan yang hadir itu, bahkan bertolakbelakang dengan daya-dukung spiritual kebatinan di situ.
Maka benar penegasan Gusti Moeng di beberapa kesempatan sampai saat berpidato memberi sambutan di akhir ritual hajad-dalem Malem Selikuran di Masjid Agung, Kamis (20/3) malam. Ritual yang pernah dipindahkan Sinuhun PB X untuk meramaikan objek wisata Taman Sriwedari itu, ditarik kembali ke Masjid Agung karena Taman Sriwedari sudah “tidak ada” marwahnya.

Oleh sebab itu menjadi rasional, kalau ada sekelompok kerabat kraton yang “melayani” permintaan Dinas Pariwisata Pemkab Surakarta menggelar ritual Malem Selikuran di Sriwedari, disebut sebagai “aksi duplikasi sumbangan”. Apa lagi, “sekelompok kerabat” itu lalu disebut sebagai “pengamen jalanan” yang bebas “ditanggap siapapun” dan di “manapun”. (Won Poerwono – bersambung/i1)