“Makloemat SP Pakoe Boewana XII”, 1 September 79 Tahun Lalu Akan Tetap Menjadi Hutang Negara (seri 2 – habis)

  • Post author:
  • Post published:September 2, 2024
  • Post category:Budaya
  • Reading time:6 mins read
You are currently viewing “Makloemat SP Pakoe Boewana XII”, 1 September 79 Tahun Lalu Akan Tetap Menjadi Hutang Negara (seri 2 – habis)
TOKOH KUNCI : Sebuah lukisan sosok Sinuhun PB XII (1945-2004) tokoh kunci dalam "utang-piutang" NKRI dengan Kraton Mataram Surakarta, diserahkan oleh Dani Saptoni (Komunitas Societeit Solo) kepada KPH Edy Wirabhumi dalam sebuah diskusi sarasehan tentang "Makloemat SP PB XII" di Bangsal Smarakata, tahun lalu. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

“Bukti Utang-Piutang” Sudah Jelas, Siapapun Presiden dan Pemerintahannya Wajib Membayar

IMNEWS.ID – “MAKLOEMAT SP Pakoe Boewana (PB) XII yang diterbitkan pada 1 September 79 tahun lalu, yang juga sama isi dan tanggalnya yang diterbitkan SP (KGPAA) Mangkunagara (MN) VIII, adalah balasan Sinuhun PB XII (juga SP MN VIII) atas “Piagam Kedoedoekan” yang diterbitkan Presiden Soekarno tanggal 19 Agustus 1945. Isinya, menegaskan kedudukan Surakarta.

Selengkapnya, “Makloemat Sri Padoeka (SISKS) Pakoe Boewana XII”, 1 September 1945 itu berisi 4 butir sekaligus penegasan pengumuman untuk menjawab “Piagam Kedoedoekan” yang diterbitkan Presiden Soekarno, 19 Agustus. Dua buku yang ditulis (kini Doktor-Red) Julianto Ibrahim (UGM) dan Dr Sri Juari Santosa (UGM) menyebut tegas bukti “utang-piutang” itu.

Empat butir isi “maklumat” itu adalah : “Makloemat Sri Padoeka Ingkang Sinoehoen Kandjeng Soesoehoenan (SISKS-Red) kepada seloeroeh Pendoedoek Negeri Soerakarta Hadiningrat. (1) Kami Pakoe Boewana XII, Soesoehoenan Negeri Soerakarta Hadiningrat menjatakan, Negeri Surakarta Hadiningrat jang bersifat keradjaan, adalah daerah istimewa dari…..”.

BEBERAPA JUDUL : Ada beberapa judul buku karya penulisan sejarah yang tingkat kejujurannya mengungkap fakta sejarah mendekati 100 persen. Ini adalah salah satu bukti yang mencatat fakta terjadinya “perkara utang-piutang” antara NKRI dengan Kraton Mataram Surakarta di sekitar 17 Agustus 1945. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

“…Negara Repoeblik Indonesia dan berdiri di belakang Pemerintah Poesat Negara Repoblik Indonesia. (2) Kami menjatakan bahwa pada dasarnya segala kekoeasaan dalam daerah negeri Soerakarta Hadiningrat terletak di tangan Soesoehoenan Hadiningrat dan oleh karena itoe, berhoeboeng dengan keadaan pada dewasa ini, maka kekoeasaan-kekoeasaan jang …”.

“…sampai kini tidak di tangan kami dengan sendirinya kembali ke tangan kami. (3) Kami menjatakan bahwa perhoeboengan antara Negeri Soerakarta Hadiningrat dengan Pemerintah Poesat Negara Repoblik Indonesia ‘bersifat langsoeng’. (4) Kami memerintahkan dan pertjaja kepada seloeroeh pendoedoek Negeri Soerakarta Hadiningrat, mereka akan bersikap…”.

“…sesoeai dengan Sabda Kami terseboet di atas”. Soerakarta Hadiningrat, 1 September 1945. Tulisan “Pakoe Boewana XII” ada di bagian paling bawah sebagai tanda pihak/orang yang bertanggung-jawab seperti layaknya surat/dokumen/makloemat ditulis. Mungkin masih banyak lagi data sejarah seperti ini, sepanjang masih ada kejujuran untuk “mengakui” apa adanya.

UJI MATERI : Menjelang sidang uji materi UU No 10/1950 tentang pembentukan Provinsi Jateng sebagai sarana beretika untuk menagih utang negara kepada kraton. KPH Edy Wirabhumi sebagai pimpinan tim hukum Kraton Mataram Surakarta, saat diwawancarai para awak media di lobi gedung Mahkamah Konstitusi (MK), tahun 2012. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Sedangkan “Piagam Kedoedoekan” yang diterbitkan Presiden Soekarno tanggal 19 Agustus 1945, sebagai jawaban/balasan atas telegram ucapan selamat dan dukungan terhadap Proklamasi Kemerdekaan RI, yang dikirim Sinuhun (SISKS) PB XII pada 18 Agustus 1945, yang isinya terdiri dua kalimat. Data ini tertulis di dua buku itu, tetapi mungkin ada banyak lagi.

Piagam kedudukan itu tertulis judul “Piagam Kedoedoekan” dan di bawahnya tertulis Republik (Repoeblik) Indonesia. Isi selengkapnya adalah : “Kami, Presiden Repoeblik Indonesia, menetapkan : Ingkang Sinoehoen Kandjeng Soesoehoenan Ing Ngalaga Abdoerrahman Sajidin Panatagama Ingkang Kaping XII, ing Soerakarta Hadiningrat pada kedudukannya”.

“Dengan kepertjajaan bahwa Seri Padoeka Kandjeng Soesoehoenan akan mentjurahkan segala pikiran, tenaga, jiwa dan raga untuk keselamatan daerah Soerakarta, sebagai bagian dari pada Repoeblik Indonesia”. Piagam itu ditutup dengan tulisan yang berada di pojok kiri bawah, yang terdiri tanggal 19 Agustus 1945 dan Presiden RI Ir Soekarno.

RANGKAIAN DISKUSI : Serangkaian diskusi, seminar dan sarasehan yang mengangkat tema perkara “hubungan utang-piutang” antara NKRI dan Kraton Mataram Surakarta, sudah banyak dilakukan untuk mengembalikan status Provinsi Daerah Istimewa Surakarta. Di antaranya, yang berlangsung di Bangsal Smarakata sebelum tahun 2012. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Dengan merangkai tiga dokumen bersejarah yang terjadi atas peristiwa Proklamasi Kemerdekaan RI pada 17 Agustus 1945 itu dan kemudian mencermatinya, tentu menjadi jelas dan tegas apa yang dimaksud. Makna yang jelas dan tegas itu adalah, lahirnya sebuah janji dan keputusan yang “diucapkan” (ditulis-Red) seorang pemimpin negara sebagai pemimpin tertinggi.

Janji yang tertuang pada “Piagam Kedudukan” itu, bisa disebut sebagai sikap “legawa” Sinuhun PB XII rela menggabungkan Kraton Mataram Surakarta ke dalam NKRI. Dan untuk menggenapi jawabannya, Sinuhun menyatakan berdiri di belakang republik, yang bisa disebut siap menjadi daya dukung penting dan mendesak berkait segala kebutuhan atas lahirnya NKRI.

Berkait dengan rangkaian peristiwa di atas, tanggal 1 September Sinuhun PB XII mengeluarkan “Makloemat” (bersama SP MN VIII-Red), untuk mengartikulasi, menegaskan dan menandaskan apa yang dijanjikan Presiden Soekarno melalui “Piagam Kedoedoekan”. Inilah rangkaian peristiwa yang dalam bahasa bersayap bisa disebut “utang-piutang janji”.

AKTIF BERPERAN : Peneliti sejarah yang juga Ketua Lokantara Pusat di Jogja, Dr Purwadi, adalah “satu-satunya” intelektual kampus yang sangat aktif dan pro-aktif berbicara pada forum seminar, diskusi dan sarasehan dalam membahas “utang-piutang” NKRI dengan kraton sebelum 2012, untuk menagih kembalinya Daerah Istimewa Surakarta. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Tetapi, peristiwa “utang-piutang janji” itu bukan sekadar ucapan kosong yang tidak ada makna dan konsekuensinya, karena ada pasal 18 ayat 2 UUD 45 yang mencatat sebagai fakta dan bukti hukum tertinggi di Tanah Air. Karena UUD 45 penentu arah bangsa dan konstitusi yang harus dipatuhi sebagai landasan dan pedoman menjalankan pemerintahan.

Dengan kata lain, “utang-piutang janji” itu sudah menjadi fakta “de facto” dan “de jure” prosesnya, karena tetulis sakral dalam konstitusi negara. Di sana juga sudah dijelaskan mekanisme prosedur untuk menyelesaikan sengketa utang-piutang. Uji materi UU No 10/1950 di Mahkamah Konstitusi (MK) tahun 2012, adalah cara bermartabat untuk menagih utang.

Tetapi, mungkin hanya para “pengkhianat” konstitusi yang berani mempermainkan ayat 2 pasal 18 UUD 45 itu. Sehingga cara beretika dan paling tepat untuk melepas Surakarta dari Provinsi Jateng, itu kandas. Tetapi, siapapun presiden dan pemerintahannya wajib membayar utang itu kapan saja, sesegera mungkin mengembalikan status Daerah Istimewa Surakarta.
(Won Poerwono-habis/i1)