“Bukti Utang-Piutang” Sudah Jelas, Siapapun Presiden dan Pemerintahannya Wajib Membayar
IMNEWS.ID – “MAKLOEMAT SP Pakoe Boewana (PB) XII yang diterbitkan pada 1 September 79 tahun lalu, yang juga sama isi dan tanggalnya yang diterbitkan SP (KGPAA) Mangkunagara (MN) VIII, adalah balasan Sinuhun PB XII (juga SP MN VIII) atas “Piagam Kedoedoekan” yang diterbitkan Presiden Soekarno tanggal 19 Agustus 1945. Isinya, menegaskan kedudukan Surakarta.
Selengkapnya, “Makloemat Sri Padoeka (SISKS) Pakoe Boewana XII”, 1 September 1945 itu berisi 4 butir sekaligus penegasan pengumuman untuk menjawab “Piagam Kedoedoekan” yang diterbitkan Presiden Soekarno, 19 Agustus. Dua buku yang ditulis (kini Doktor-Red) Julianto Ibrahim (UGM) dan Dr Sri Juari Santosa (UGM) menyebut tegas bukti “utang-piutang” itu.
Empat butir isi “maklumat” itu adalah : “Makloemat Sri Padoeka Ingkang Sinoehoen Kandjeng Soesoehoenan (SISKS-Red) kepada seloeroeh Pendoedoek Negeri Soerakarta Hadiningrat. (1) Kami Pakoe Boewana XII, Soesoehoenan Negeri Soerakarta Hadiningrat menjatakan, Negeri Surakarta Hadiningrat jang bersifat keradjaan, adalah daerah istimewa dari…..”.
“…Negara Repoeblik Indonesia dan berdiri di belakang Pemerintah Poesat Negara Repoblik Indonesia. (2) Kami menjatakan bahwa pada dasarnya segala kekoeasaan dalam daerah negeri Soerakarta Hadiningrat terletak di tangan Soesoehoenan Hadiningrat dan oleh karena itoe, berhoeboeng dengan keadaan pada dewasa ini, maka kekoeasaan-kekoeasaan jang …”.
“…sampai kini tidak di tangan kami dengan sendirinya kembali ke tangan kami. (3) Kami menjatakan bahwa perhoeboengan antara Negeri Soerakarta Hadiningrat dengan Pemerintah Poesat Negara Repoblik Indonesia ‘bersifat langsoeng’. (4) Kami memerintahkan dan pertjaja kepada seloeroeh pendoedoek Negeri Soerakarta Hadiningrat, mereka akan bersikap…”.
“…sesoeai dengan Sabda Kami terseboet di atas”. Soerakarta Hadiningrat, 1 September 1945. Tulisan “Pakoe Boewana XII” ada di bagian paling bawah sebagai tanda pihak/orang yang bertanggung-jawab seperti layaknya surat/dokumen/makloemat ditulis. Mungkin masih banyak lagi data sejarah seperti ini, sepanjang masih ada kejujuran untuk “mengakui” apa adanya.
Sedangkan “Piagam Kedoedoekan” yang diterbitkan Presiden Soekarno tanggal 19 Agustus 1945, sebagai jawaban/balasan atas telegram ucapan selamat dan dukungan terhadap Proklamasi Kemerdekaan RI, yang dikirim Sinuhun (SISKS) PB XII pada 18 Agustus 1945, yang isinya terdiri dua kalimat. Data ini tertulis di dua buku itu, tetapi mungkin ada banyak lagi.
Piagam kedudukan itu tertulis judul “Piagam Kedoedoekan” dan di bawahnya tertulis Republik (Repoeblik) Indonesia. Isi selengkapnya adalah : “Kami, Presiden Repoeblik Indonesia, menetapkan : Ingkang Sinoehoen Kandjeng Soesoehoenan Ing Ngalaga Abdoerrahman Sajidin Panatagama Ingkang Kaping XII, ing Soerakarta Hadiningrat pada kedudukannya”.
“Dengan kepertjajaan bahwa Seri Padoeka Kandjeng Soesoehoenan akan mentjurahkan segala pikiran, tenaga, jiwa dan raga untuk keselamatan daerah Soerakarta, sebagai bagian dari pada Repoeblik Indonesia”. Piagam itu ditutup dengan tulisan yang berada di pojok kiri bawah, yang terdiri tanggal 19 Agustus 1945 dan Presiden RI Ir Soekarno.
Dengan merangkai tiga dokumen bersejarah yang terjadi atas peristiwa Proklamasi Kemerdekaan RI pada 17 Agustus 1945 itu dan kemudian mencermatinya, tentu menjadi jelas dan tegas apa yang dimaksud. Makna yang jelas dan tegas itu adalah, lahirnya sebuah janji dan keputusan yang “diucapkan” (ditulis-Red) seorang pemimpin negara sebagai pemimpin tertinggi.
Janji yang tertuang pada “Piagam Kedudukan” itu, bisa disebut sebagai sikap “legawa” Sinuhun PB XII rela menggabungkan Kraton Mataram Surakarta ke dalam NKRI. Dan untuk menggenapi jawabannya, Sinuhun menyatakan berdiri di belakang republik, yang bisa disebut siap menjadi daya dukung penting dan mendesak berkait segala kebutuhan atas lahirnya NKRI.
Berkait dengan rangkaian peristiwa di atas, tanggal 1 September Sinuhun PB XII mengeluarkan “Makloemat” (bersama SP MN VIII-Red), untuk mengartikulasi, menegaskan dan menandaskan apa yang dijanjikan Presiden Soekarno melalui “Piagam Kedoedoekan”. Inilah rangkaian peristiwa yang dalam bahasa bersayap bisa disebut “utang-piutang janji”.
Tetapi, peristiwa “utang-piutang janji” itu bukan sekadar ucapan kosong yang tidak ada makna dan konsekuensinya, karena ada pasal 18 ayat 2 UUD 45 yang mencatat sebagai fakta dan bukti hukum tertinggi di Tanah Air. Karena UUD 45 penentu arah bangsa dan konstitusi yang harus dipatuhi sebagai landasan dan pedoman menjalankan pemerintahan.
Dengan kata lain, “utang-piutang janji” itu sudah menjadi fakta “de facto” dan “de jure” prosesnya, karena tetulis sakral dalam konstitusi negara. Di sana juga sudah dijelaskan mekanisme prosedur untuk menyelesaikan sengketa utang-piutang. Uji materi UU No 10/1950 di Mahkamah Konstitusi (MK) tahun 2012, adalah cara bermartabat untuk menagih utang.
Tetapi, mungkin hanya para “pengkhianat” konstitusi yang berani mempermainkan ayat 2 pasal 18 UUD 45 itu. Sehingga cara beretika dan paling tepat untuk melepas Surakarta dari Provinsi Jateng, itu kandas. Tetapi, siapapun presiden dan pemerintahannya wajib membayar utang itu kapan saja, sesegera mungkin mengembalikan status Daerah Istimewa Surakarta.
(Won Poerwono-habis/i1)