Pengageng Sasana Wilapa/Pangarsa LDA “Melempar Sinyal” Penting
IMNEWS.ID – Kamis (20/3) malam Jumat Pahing, jajaran “Bebadan Kabinet 2004” Kraton Mataram Surakarta menggelar upacara adat “Malem Selikuran”, untuk menyambut hari besar keagamaan “Lailathul Qadar”. Ritual Nabi Muhammad SAW yang turun membawa Wahyu Illahi dari Gunung Jabal Nur itu, digelar kraton di tahun ketiga sejak bisa bekerja penuh mulai 2023.
Sebagai ilustrasi, selama 5 tahun lebih mulai April 2017, jajaran Bebadan Kabinet 2004 yang dipimpin Gusti Moeng selaku Pengageng Sasana Wilapa/Pangarsa LDA, “tersingkir” keluar kraton oleh insiden “mirip operasi militer” hingga 2022. Sejak “Bebadan Kabinet” terbentuk di tahun 2004, semua jenis upacara adat digelar rutin oleh kraton, termasuk Malem Selikuran.
Walau di luar kraton, ada beberapa upacara adat yang masih bisa digelar secara “swadaya” oleh Bebadan Kabinet 2004. Misalnya itual Wilujengan Nagari Mahesa Lawung, pengetan adeging Kraton Mataram Surakarta tiap 17 Sura dan Malem Selikuran. Pada akhir 2022, melalui insiden “Gusti Moeng kondur Ngedhaton”, semua Bebadan bisa berkerja penuh di kraton.
Selama tiga tahun berturut-turut hingga bulan Ramadhan 1446 Hijriyah atau Pasa tahun Je 1958 di tahun 2025 ini, jajaran “Bebadan Kabinet 2004” bisa menggelar berbagai ritual yang menjadi aset kraton, rutin tiap tahun. Bahkan, semua upacara adat yang sedikitnya ada 9 jenis tiap tahun itu, bisa dibiayai secara mandiri atau swadaya murni, seperti sebelumnya.

Gelar upacara adat hajad-dalem “Malem Selikuran” pada Kamis malam (20/3) belum lama ini, bisa terwujud secara mandiri dan swadaya murni, karena dukungan legitimasi semua elemen masyarakat adat yang dipayungi Lembaga Dewan Adat (LDA). Selain kalangan kerabat sentana trah darah-dalem yang tersisa dan menjadi anggota LDA, juga berbagai elemen lain yang dihimpun LDA.
Memang menjadi realitas, jumlah sentana trah darah-dalem, sentana garap dan abdi-dalem garap jumlahnya semakin menipis. Tetapi, LDA masih punya elemen Putri Narpa Wandawa, elemen Sanggar Pasinaon Pambiwara bersama Pasipamartanya, elemen Sanggar Pawiyatan Paes-Tata Busana Gagrag Surakarta dan elemen Pakasa cabang yang tersebar di lebih 40 kabupaten/kota.
Oleh sebab itu, ritual hajad-dalem Malem Selikuran yang digelar “Bebadan Kabinet 2004” di “tempat asalnya” kagungan-dalem Masjid Agung malam itu, tetap mendapat dukungan legitimatif yang membanggakan. Setidaknya ada seribuan orang yang hadir, gabungan dari berbagai elemen, terutama warga utusan 22 Pakasa cabang, utusan takmir masjid dan mushola se-Baluwarti.
Dari lebih 40 pengurus Pakasa cabang yang pernah dibentuk pengurus Pakasa “punjer”, memang ada beberapa yang “lumpuh” dan tak jelas arahnya. Tetapi banyak di antara mereka yang masih punya tokoh panutan dan mengkoordinasi dukungan untuk setiap upacara adat yang digelar kraton. Misalnya, pengurus Pakasa di wilayah Surakarta, Demak, Sidoarjo, Tegal dan Grobogan.

Kalau melihat daftar jumlah utusan yang dibuat panitia bagian logistik sebelumnya, tercatat 22 cabang Pakasa seperti yang disebut Gusti Moeng saat memberi sambutan tunggal, menutup rangkaian upacara adat “Malem Selikuran” di Masjid Agung, Kamis malam (20/3) itu. Tetapi, jumlah itu hanya separo dari keseluruhan pengurus Pakasa yang pernah dibentuk Punjer.
Cabang pengurus yang mengirim utusan adalah Pakasa Kabupaten Jepara, Boyolali, Magelang, Sukoharjo, Karanganyar, Klaten, Pati, Kudus, Grobogan, Sragen dan cabang-cabang dari Provinsi Jatim seperti Kabupaten Ngawi, Nganjuk, Ponorogo, Magetan, Pacitan, Trenggalek dan Kediri. Tiga cabang yang “belum ada kabarnya”, masing-masing Madiun, Malang dan cabang Wonogiri.
Di berbagai kesempatan, Gusti Moeng memang sering menegaskan, semua abdi-dalem baik yang menjadi warga Pakasa maupun berada di luar organisasi cabang itu, punya kewajiban hadir dalam “pisowanan” berbagai upacara adat yang digelar kraton. Kewajiban itu, setidaknya sekali saja dalam setahun sudah baik, agar gelar sesebutan yang disandangnya tidak “sia-sia”.
Mencermati hal itu, sangat mungkin semua abdi-dalem yang berada di dalam dan di luar Pakasa cabang sudah memenuhi kewajiban minimal itu, sehingga terasa “ada giliran” hadir tiap ritual yang digelar kraton. Gelagat itu terasa pada saat hajad-dalem Malem Selikuran digelar, yang jumlah kehadiran berbagai elemen yang ada, jauh di bawah tingalan jumenengan.

Bersamaan dengan itu, ada sebuah pemandangan yang bisa menjadi pembandingnya. Yaitu berlangsungnya prosesi ritual serupa yang keluar dari dalam kraton, tetapi arahnya menuju Pendapa Sitinggil Lor dan Pendapa Pagelaran Sasana Sumewa. Prosesi arak-arakan untuk perayaan religi yang sama, melanjutkan perjalanan menuju Sriwedari dan berupacara di sana, malam itu.
Barisan arak-arakan yang membawa uba-rampe hajad-dalem itu, termasuk panjang karena ada sejumlah elemen, para prajurit yang dipimpin Korsik Drumband Prjurit Tamtama. Masyarakat adat yang mengikuti di belakang, juga termasuk panjang. Mereka berangkat sekitar pukul 19.30 WIB dan disiapkan beberapa truk Brimob untuk mengangkut saat mereka kembalin ke kraton.
Suara Korsik Drumband Prajurit Tamtama itu tentu saja sangat mengejutkan dan agak membingungkan, karena pada pukul 19.30 WIB itu banyak abdi-dalem terutama warga Pakasa cabang dari daerah yang jauh, sedang berdatangan. Banyak di antara mereka sedang berdandan, tetapi banyak pula yang sudah siap di Bangsal Smarakata, meskipun pisowanan ditentukan pukul 20.00 WIB.
Keberangkatan prosesi arak-arakan ritual serupa yang ternyata sebagai bentuk “sumbangan” kepada Pemkot Surakarta yang menggelar ritual itu di Sriwedari dengan biaya APBD, tentu menjadi catatan penting. Terutama bagi Lembaga Dewan Adat (LDA) yang sudah ditegaskan keabsahan dan legalnya kelembagaan, melalui eksekusi putusan Mahkamah Agung, 8 Agustus 2024.

Pada satu sisi, memang seperti itulah dinamika sosial dalam strata adat secara internal masih terjadi dan menjadi sebuah keniscayaan. Tetapi seperti yang sudah banyak terbukti, melalui dinamika itu pula diyakini akan ada solusinya secara natural. Meskipun, ada “campur-tangan” pihak eksternal yang memang sudah punya skenario besar untuk “meniadakan” kraton.
Aksi duplikasi yang “disumbangkan” agar bisa berbagi pundi-pundi dari APBD itu, suatu saat pasti akan “menuai” hasil dari “perbuatannya sendiri”. Dinamika setajam apapun tidak boleh menyurutkan semangat berswadaya dan mandiri, untuk menjaga kelangsungan kraton dan melestarikan Budaya Jawa. Karena, sinyal penting ultah “Istana Mataram”, justru sudah dilempar. (Won Poerwono – bersambung/i1)