Aksi “Duplikasi” Ritual Sumbangan, Lanjutan “Kerjasama” yang “Berbahaya”
IMNEWS.ID – AKSI “duplikasi” ritual hajad-dalem Malem Selikuran “yang disumbangkan” Kraton Mataram Surakarta kepada Pemkot (Dinas Pariwisata) pada waktu yang sama (Kamis, 20/3), adalah kegiatan lanjutan dari yang sudah “terbentuk” selama tahun (April 2017-Desember 2022). Ada beberapa jenis ritual lain hasil kerjasama “dua pihak”, yang selama ini masih berlanjut.
“Kerjasama” antara Pemkot dan sekelompok kerabat di luar struktur kraton dan di luar tanggung-jawab Lembaga Dewan Adat (LDA) itu, sebenarnya sudah berhenti saat putusan MA No.87/Pdt.G/2019/PN Ska (29 Agustus 2022) dieksekusi pada 8 Agustus 2024 lalu. Tetapi, Pemkot Surakarta terkesan “tak mengakui” putusan hukum tertinggi itu, dan terus melanjutkan “kerjasamanya”.
“Kerjasama” seperti itu, berlangsung sejak Lembaga Dewan Adat dianggap “tidak punya kewenangan”, yang ditandai dengan tindakan “mirip operasi militer”, melibatkan 2000 personel polisi dan 400 personel TNI pada April 2017. “Kerjasama” yang dimaksud adalah membiayai event beberapa upacara adat di kraton dengan dana hibah dari APBD, termasuk Malem Selikuran.
Untuk semua event upacara adat yang dibiayai dengan APBD itu, mungkin bisa dipilah antara sekelompok kerabat kraton yang “menyumbang” event atau Pemkot yang sepenuhnya hanya membiayai dengan dana hibah. Seperti mekanisme prosedur keluarnya dana hibah dari APBD, harus ada proposal dari lembaga berbadan hukum sebagai pengguna anggaran yang harus membuat “LPJ”.

Termasuk yang terjadi pada event “duplikasi” Malem Selikuran “sumbangan” untuk Pemkot yang menggelar Maleman Sriwedari, Kamis (20/3). Sangat diyakini, penyaluran dana hibah APBD melalui lembaga berbadan hukum yang sebagai pengguna dan yang akan mempertanggungjawabkan penggunaan anggaran dari Pemkot dalam bentuk “Laporan Pertanggungjawaban” atau “LPJ”.
“LPJ” itu mutlak harus dibuat oleh penerima anggaran, lembaga berbadan hukum, bukan sekelompok kerabat yang jelas tidak punya badan hukum atau legal standing dan legal formal. Bila tidak ada pertanggung-jawaban atau ada kekeliruan dalam pembuatan LPJ akibat penyalahgunaan anggaran, jika membuat kerugian negara pasti masuk kategori perbuatan melawan hukum.
Undang-undang anti korupsi yang dipakai KPK dan kalangan penegak hukum lain pasti sudah jelas, yang harus dipatuhi semua pihak, termasuk dalam pemberian dana hibah yang bersumber dari APBD hingga APBN. Dan soal pemberian dana hibah untuk upacara adat yang dijalankan sekelompok kerabat itu, perlu menjadi perhatian khusus bagi “masyarakat anti korupsi”.
Karena soal dana hibah untuk upacara adat di kraton itu, mengingatkan pada kasus yang terjadi di kraton pada periode 2017-2022. Yaitu kasus hilangnya mobil Mitsubishi Pajero milik Sinuhun PB XIII, yang ternyata (diduga) “digelapkan” adik iparnya sendiri dan kemudian ditemukan polisi di wilayah Kabupaten Sragen. Kasus itu “menguap”, tak ada proses hukumnya.

Beberapa waktu setelah kasus itu, masih di antara periode 2017-2022, terdengar berita heboh keluar dari kraton, karena Gusti Moeng selaku Pengageng Sasana Wilapa/Pengarsa LDA diminta harus mempertanggungjawabkan dana hibah dari APBN senilai Rp 1,8 M. Ternyata, dana hibah itu menjadi satu paket SK Kemendagri yang diserahkan Tjahyo Kumolo kepada KGPH Tedjowulan.
Oleh Kemendagri, KGPH Tedjowulan sebagai warga sipil pribadi di luar struktur pemerinatahan mendapat SK No 430-2933 Tahun 2017, tentang penetapan statusnya sebagai “Maha Menteri” dan pengelolaan Kraton (Kasunanan) Surakarta. SK Kemendagri itu “disalahgunakan” Sinuhun PB XIII untuk membentuk Bebadan baru, menobatkan “GKR” dan menobatkan “Putra Mahkota”.
SK Kemendagri itu, lalu digugat secara perdata oleh beberapa “wayah-dalem” Sinuhun PB XII, dan semua yang tercantum sebagai pihak tergugat, dinyatakan bersalah melakukan perbuatan melawan hukum oleh putusan. Vonis seperti itu sama mulai dari pengadilan tingkat pertama (PN), pengadilan banding (PT) maupun putusan peninjauan kembali (PK) di Mahkamah Agung.
Yang berkait dengan reaksi Gusti Moeng kaget saat “ditagih” agar menyerahkan “LPJ” ke BPK, karena Sinuhun PB XIII telah menerima dan menggunakan dana hibah APBN senilai Rp 1,8 M yang diterima dari Wantimpres Wiranto atau Kemendagri Tjahyo Kumolo. Karena, Sinuhun PB XIII dan kelompoknya tidak segera membuat LPJ, salah satunya karena tak punya badan hukum.

Sementara, yang punya badan hukum sebagai payung besar pelindung Kraton Mataram Surakarta, adalah Lembaga Dewan Adat (LDA) yang dipimpin Gusti Moeng selaku “Pangarsanya”. Permintaan LPJ yang dialamatkan ke LDA itu tepat dan benar sekali, jika memang menerima hibah itu, karena LDA adalah lembaga berbadan hukum yang bertanggungjawab atas kelembagaan kraton.
Tetapi sangat tidak tepat atau “salah alamat”, karena LDA tidak berdiri sebagai penerima dana hibah, apalagi sebagai pengguna bantuan APBN tersebut. Namun, dari kejadian ini justru terbongkar banyak tindakan menyimpang yang masuk kategori melakukan perbuatan melawan hukum, seandainya kalangan aparat penegak hukum tegas bertindak dan tidak diskriminatif.
Tindakan menyimpang yang sulit dijelaskan dalam lembar-lembar “LPJ” itu, adalah dugaan berkait dengan “barang bukti” mobil Mithubishi Pajero yang sangat mungkin dibeli dari dana hibah APBN 2018 sebesar Rp 1,8 M itu. Bila dugaan ini benar, wajar saja akan mengalami kesulitan ketika menulis pada lembar-lembar LPJ untuk menjelaskan alasan-alasannya.
Bila benar dugaan bahwa mobil yang nyaris “digelapkan” itu dibeli dari uang hibah APBN itu, berarti para petugas Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang kemudian datang ke Sinuhun PB XIII menagih LPJ, telah menemukan sejumlah angka yang disebut telah membuat kerugian negara. Tetapi anehnya, heboh soal ini tak berlanjut, namun tidak diketahui penyebabnya.

Kalangan aparat penegak hukum, “tak satupun tertarik” untuk melacak indikasi-indikasi korupsi dari mobil Pajero yang diduga dibeli dari dana hibah APBN. Dugaan itu muncul, akibat tersangka yang “menggelapkan” mobil tertangkap. Namun, antara 2018-2020, ada peristiwa wisuda di kraton dan beberapa figur anggota BPK itu adalah di antara penerima gelar itu.
Kalau indikasi-indikasi korupsi sudah muncul dan kalangan aparat penegak hukum tak ada satupun yang bertindak akibat kasusnya “buntu demi hukum”, maka wajar saja kalau “kerjasama” pemanfaatan dana hibah APBD terus berlanjut. Bukan soal pemanfaatan yang bisa disiasati dengan lembaga berbadan hukum apapun, tetapi “duplikasi” yang terjadi patut “dipahami”. (Won Poerwono – bersambung-i1)