“Membangkang” untuk Menyelamatkan dari “Potensi Kehancuran”
IMNEWS.ID – DALAM konteks ikatan kerja sebuah kelompok besar atau kecil yang berlandasakan “ideologi” apapun, ketika ada seseorang atau lebih melakukan tindakan yang bertentangan dengan garis kebijakan sebagai landasan yang mengikat kelompok, bisa dikategorikan “menentang” atau “membangkang”. Kalau tindakan seperti itu dilakukan dalam ikatan sebuah keluarga besar yang berlandasakan kekerabatan seperti di kraton (negara monarki), bisa disebut “membangkang” atau “mbalela” seperti yang sering kita dengar dari panggung drama ketoprak atau wayang “wong” atau pertunjukan wayang kulit, yang disiarkan melalui media apapun sebelum tahun 2000-an.
Dalam sejarah perjalanan Kraton Mataram Surakarta selepas tahun 1945, pasti banyak figur tokoh yang bisa dikategorikan “pembangkang” atau “mbalela”, tergantung terminologi soal apa yang bisa disebut diingkari, dibangkang atau ditentang. Kalau terminologinya adalah sistem tata-nilai adat atau paugeran adat, mungkin tidak begitu banyak atau hanya beberapa figur tokoh saja bisa disebut “membangkang” atau “mbalela”, karena ada situasi dan kondisi “luar biasa” yang dihadapi Kraton Mataram Surakarta di “masa transisi” dari suasana “nagari” Mataram Surakarta yang sebelumnya “merdeka” dan “berdaulat” penuh, ketika ada peristiwa 17 Agustus 1945 harus memulai membiasakan diri menjadi bagian dari NKRI.
Beberapa catatan dari buku “Suara Nurani Kraton Surakarta” (Dr Sri Juari Santosa-FMIPA UGM), buku “Propinsi Daerah Istimewa Surakarta” (Dr Julianto Ibrahim-FIB UGM) dan sejumlah judul karya penelitian Dr Purwadi (Ketua Lokantara Pusat di Jogja) khusu tentang ‘Mataram” dan “Surakarta”, banyak menyebut dengan jelas tentang situasi dan kondisi pada masa transisi yang dihadapi Sinuhun PB XII. Dari berbagai catatan hasil penelitian dan penulisan itu, mengesankan bahwa Sinuhun PB XII berada pada saat-saat yang sangat berat dan sulit untuk mengambil keputusan pada masa transisi, bahkan sampai jauh sesudah itu ketika rezim pemerintahan berganti-ganti.
Dalam situasi dan kondisi seperti itu, jelas bisa dipastikan “Raja” Mataram yang dikenal dengan sebutan “Sinuhun Hamardika” itu menjadi tidak berdaya ketika mendengar atau menyaksikan ada kerabatnya yang benar-benar masuk kategori “membangkang” atau “mbalela”. Tetapi, ketika dalam perjalanan kemudian setelah melewati masa transisi posisi Kraton Mataram Surakarta sudah semakin jelas sebagai bagian dari NKRI, bentuk-bentuk tindakan pelanggaran benar-benar bisa diukur dan dikatagorikan, mana yang masuk kategori “membangkang” atau “menentang” dan mana yang bukan atau tidak termasuk itu, karena yang dijadikan landasan hanyalah sistem tata-nilai paugeran adat.
Karena perangkat alat kontrol, kendali dan untuk menakarnya hanyalah sistem tata-nilai paugeran adat, maka hanya tindakan pelanggaran yang bisa dikatagorikan bertentangan atau melanggara konstitusi Dinasti Mataram itulah yang bisa disebut melanggar, yang dalam bahasa “seram” atau “ekstrem” disebut “membangkang” atau “mbalela”. Oleh karena itu pula, hanya ketika ada pelanggaran sistem tata nilai paugeran adat itulah yang bisa ditakar atau dinilai di dalam internal masyarakat adat Kraton Mataram Surakarta, meskipun sudah tidak memungkinkan menjatuhkan hukuman maksimal terhadap figur tokoh atau kelompok yang melanggar konstitusi itu.
Dan faktanya, pelanggaran sistem tata-nilai paugeran adat yang begitu menonjol di atas permukaan setelah era Sinuhun PB XII (1945-2004), adalah peristiwa yang terjadi pada proses alih kepemimpinan di tahun 2004 saat KGPH Hangabehi hendak jumeneng nata menjadi Sinuhun PB XIII dan pascasuksesi itu. Di situ ada pelanggaran sistem tata nilai paugeran adat secara jelas dan tegas, yaitu ketika adik lelaki lain ibu dari KGPH Hangabehi bernama KGPH Tedjowulan, mendahului naik tahta sebagai Sinuhun PB XIII di luar kraton, yang dibiayai seorang kerabat sebagai “cukong” dan malah “didukung” oleh rezim pemerintahan SBY.
“Kalau peristiwa seperti itu terjadi sebelum 1945, pasti sudah diadili di Panti Pidana dan tersangka pelanggar adat dihukum berat. Kalau melihat sejarah ke belakang di zaman Mataram atau sebelumnya, siapapun yang membangkang atau merongrong kekuasaan atau berusaha ‘njongkeng kawibawan’, pasti ditangkap, diadili dan biasanya dihukum mati. Hak-hak secara adat juga dicabut dan tidak diberikan. Misalnya hak atas gelar kekerabatan. Kalau kraton sudah berada di zaman republik, ya sudah tidak seperti itu. Paling hanya tidak dipakai, setelah ada tawaran pengampunan atau rekonsiliasi,” ujar Gusti Moeng dalam serangkaian wawancara khusus dengan iMNews.d hingga kini, bahkan sejak penulis masih bergabung dengan harian umum Suara Merdeka (1982-2018).
Dalam berbagai kesempatan ngobrol dengan iMNews.id dan wawancara bersama kalangan awak media, anak ke-25 dari 35 putra/putri Sinuhun PB XII yang lahir dari enam istri yang bernama lengkap GKR Wandansari Koes Moertiyah itu tak pernah menyebut dirinya yang pernah mendapat “marah besar” dari Sang Ayah (Sinuhun PB XII-Red) di tahun 1990-an karena dianggap “pembangkang” dalam terminologi melawan “penguasa” seperti yang terjadi pada zaman kerajaan sebelum 1945. Meskipun, Sang Ayah sempat menyebut Gusti Moeng dengan predikat “Putri Mbalela” karena dianggap “menentang” gagasan Sinuhun PB XII yang hendak memberi kesempatan kepada seorang investor, untuk membangun hotel di kawasan Tursinapuri yang jaraknya sekitar seratusan meter di selatan Pendapa Sasana Sewaka.
Namun, “membangkang” dalam konteks permasalah seperti itu rupanya dianggap positif oleh publik secara luas yang waktu itu mendengar beritanya yang cepat tersebar luas walau hanya oleh media koran dan radio, hingga mendatangkan dukungan luas dari berbagai pihak, utamanya kalangan aktivis yang semakin banyak bermunculan untuk menentang setiap ada peristiwa “penindasan” yang berlatarbelakang kekuasaan dan “kroni-kroninya”. Meski tidak pernah dipublikasikan secara resmi, tetapi analisis dari rangkaian peristiwa itu menyebut bahwa publik yakin Sinuhun PB XII pasti menyadari “langkah”-nya keliru dan memilih mendukung keputusan Gusti Moeng, seperti diwujudkan dalam peristiwa perubahan rezim kekuasaan di bulan Mei 1998 dan “merestui” langkah-langkah memperjuangkan kraton setelah itu.
Setelah melewati pergantian rezim pemerintahan dari era Orde Baru ke Orde Reformasi, banyak hal yang bisa membuat segala bentuk upaya memarginalkan Kraton Mataram Surakarta atau apapun yang berlabel “Mataram” menjadi semakin kelihatan. Karena peristiwa “khilafnya” Sinuhun PB XII yang nyaris “menjual” sebagian “wilayah sakral” di Kraton mataram Surakarta, sangat kental sekali merupakan bagian dari upaya marginalisasi “Mataram” dari kehidupan peradaban setelah 1945, dan sebaliknya menempatkan “Sang Putri Mbalela” pada garis perjuangan yang “direstui” para leluhur Dinasti Mataram karena senantiasa menjadi pelopor pejuang penegak paugeran adat atau konstitusi Dinasti Mataram. (Won Poerwono-bersambung/i1)