Animo Masyarakat Adat yang Menonton Besar, Walau Sebenarnya Upacara Adat Terbatas
SURAKARTA, iMNews.id – Pentas seni pertunjukan wayang kulit purwa dalam rangka peringatan 10 Sura atau “Suran” yang digelar Jumat malam (28/7) di Bangsal Smarakarta, menggenapi ritual dalam rangka menyambut Tahun Baru Jawa Jimawal 1957 mulai 1 Sura secara perdana bagi GKR Wandansari selaku Pengageng Sasana Wilapa dan “Bebadan Kabinet 2004” beserta jajarannya. Pentas seni pedalangan malam itu, memberi kesan positif dan sensasi khusus karena disajikan benar-benar dalam format klasik konvensional segala macam komponen pelengkap dan pendukung pementasan dalam nuansa upacara adat itu.
Tempat yang dijadikan pementasan adalah Bangsal Smarakata, yang terhitung sangat jarang dipakai untuk keperluan pentas ringgit wacucal, karena tempat yang paling dekat dengan pintu keluar Kori Kamandungan itu lebih banyak digunakan untuk gladen tari, forum-forum rapat, pendadaran dan praktik beberapa sanggar seperti pasinaon pambiwara dan pasinaon paes pengantin, wisuda lulusan sanggar, paring kekancingan gelar sesebutan dan sebagainya. Jumat malam itu, Bangsal Smarakata menjadi tempat sangat istimewa karena menjadi ajang gelar wayang kulit serba klasik secara perdana setelah peristiwa 17 Desember 2022.
“Biasanya, pentas wayang 10 Sura di Pendapa Pagelaran atau Pendapa Sitinggil Lor. Kali ini kita gelar di Bangsal Smarakata dulu. Biar benar-benar bisa ngematke pementasannya. Karena, lakon dan perlengkapan yang digunakan benar-benar format klasik khas kraton. Selama lima tahun lebih terpaksa tidak bisa menggelar pentas wayang khas kraton. Pentas yang ada justru sak-karepe, ora karuan. Tadi sudah diawali dengan doa dan tahlil. Mudah-mudahan akan menjadikan kraton-dalem lestari ngantos sak-kukuting zaman,” ujar Gusti Moeng penuh doa pengharapan yang langsung dijawab semua yang hadir dengan kata Amin….amin….
Sambutan singkat Gusti Moeng selaku Pengageng Sasana Wilapa sekaligus Pengageng Lembaga Dewan Adat malam itu, adalah sambutan satu-satunya dari rangkaian peringatan 10 Sura yaitu peringatan gugurnya Sayyidina Husein yang merupakan cucu Nabi Muhammad SAW, Jumat malam (28/7) itu. Rangkaian itu dimulai dengan doa dan tahlil yang dipimpin abdi-dalem juru suranata MNg Irawan Wijaya Pujodiprojo di Bangsal Smarakata, pukul 19.15 WIB dan diteruskan dengan pentas wayang kulit, yang diawali dengan prosesi datangnya rebab pusaka Kiai Pamedharsih dan penyerahan tokoh Raden Janaka dari KGPH Hangabehi kepada dalang penyaji, Ki RT Suluh Juniarsah Nata Adipura SSn MA.
Menjelang pukul 21.00 WIB, putra mahkota KGPH Mangkubumi mendapat permintaan dari Gusti Moeng selaku Pengageng Sasana Wilapa untuk memberi dawuh kepada Ki RT Suluh Juniarsah agar segera memulai pentas ringgit wacucal sedalu natas dengan lakon “Wahyu Cakranagara”. Tetapi saat menerima tokoh wayang Raden Arjuna, dalang penyaji harus melengkapi persyaratan untuk memimpin gelar seni pedalangan secara adat, yaitu “sesumping kembang Gajah-ngoling” yang disematkan Gusti Moeng di telinga kiri Ki RT Suluh Juniarsah. Tak hanya dalang, semua seniman pendukung pentas juga harus mengenakan “sumping Gajah-ngoling”.
Tepat pukul 21.00 WIB konser karawitan iringan wayang yang menjadi pertanda wayang dimulai atau “talu” segera terdengar dari seperangkat gamelan Kiai Pamedharsih yang “larasnya Slendro” itu ditabuh, tanpa insrtrumen bonang dan di situ hanya tampak ada satu kendang yang ditabuh abdi-dalem karawitan KRT Suwito. Pentas wayang kulit malam itu benar-benar klasik, karena selain lakon yang diambil, segala peralatan yang dipakai terutama instrumen iringan benar-benar klasik khas kraton, kecuali blencong dan sound system, dua jenis simbol teknologi modern yang sulit ditinggalkan dalam pentas seni pertunjukan ini.
Ketika suasana apresiasi mulai terbangun, “bedhol kayon” segera dilakukan Ki RT Suluh Juniarsah dan “jejeran” pertama Pathet Enem (6) suasana Kraton Dwarawati segera dilakukan. Dalang penyaji yang merupakan dosen pengajar di ISI Surakarta berusaha menyajikan seklasik mungkin, karena sejak awal “talu”, Gusti Moeng tak beranjak dari tempat duduknya lesehan di belakang meja tempat menaruh perlengkapan kecilnya di sisi kiri tempat duduk dalang. Dengan fokus dan seksama mencermati penyajian Ki KRT Suluh yang juga berusaha tampil menyajikan lakon gaya Surakarta khas Kraton Mataram Surakarta itu seklasik-klasiknya.
Pentas wayang kulit malam itu, benar-benar mendapat perhatian secara khusus oleh para praktisi seni pedalangan, siswa dan mahasiswa serta pecinta wayang kulit dari mancanegara, karena malam itu ada sekitar 10 orang bule ikut menyaksikan pentas wayang kulit purwa gaya klasik malam itu. Animo masyarakat adat baik kalangan sentan maupun abdi-dalem serta warga Pakasa Cabang juga banyak yang hadir, hingga ruang Bangsal Smarakata berangsur-angsur penuh setelah pukul 21.00 WIB bahkan meluber sampai di luar bangsal yang diperkirakan lebih dari 100 orang.
Dalam momentum pentas wayang kulit 10 Sura perdana sejak “insiden Gusti Moeng kondur Ngedhaton” 17 Desember 2022 dan peristiwa “perdamaian” 3 januari 2023, benar-benar sudah ditunggu-tunggu, termasuk pengakuan abdi-dalem karawitan Dr Joko Daryanto (iMNews.id, 27/7/2023), yang malam itu menabuh instrumen “saron”. Banyak di antara kerabat keluarga inti yang hadir selain Gusti Moeng, KGPH Hangabehi dan GKR Timoer. KRMH Joyo Adilogo-pun tampak hadir bahkan bersama KGPH Hangabehi ikut mengajak para penonton merapat di atas lantai bangsal Smarakata.
Tak ketinggalan, KPH Raditya Lintang Sasangka yang selama ini dituakan oleh kalangan abdi-dalem karawitan Mandra Budaya-pun juga hadir bersama istri, walau sedikit terlambat. Bahkan KPH Edy Wirabhumi-pun (Ketua Umum) tampak mengajak beberapa pengurus DPP MAKN seperti Bunda Yani (Sekjen MAKN), ikut menyaksikan dari barisan kuris belakang. Pentas wayang kulit klasik khas Kraton Surakarta itu berakhir sekitar pukul 03.00 WIB. Dr Joko Daryanto berharap, pentas klasik itu terus diadakan rutin, hingga bisa benar-benar memberi pembanding yang mendidik atas maraknya pentas pakeliran di luar kraton yang sudah semakin “liar”. (won-i1).